MoneyTalk, Jakarta – Defiyan Cori, seorang ekonom konstitusi, memberikan pandangan yang kritis dan mendalam tentang peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam perekonomian Indonesia. Dalam perspektifnya, BUMN memiliki posisi penting sebagai pelaksana mandat konstitusi yang tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945. Namun, menurutnya, pembahasan mengenai BUMN kerap kali dilakukan secara parsial tanpa landasan yang kuat, sehingga diperlukan kajian lebih mendalam terkait urgensi pembentukan super holding BUMN. Artikel ini akan mengupas secara rinci pandangan Defiyan Cori mengenai sejarah, mandat konstitusional, serta tantangan dan peluang dalam membentuk super holding BUMN.
BUMN tidak dapat dipisahkan dari sejarah panjang kolonialisme di Indonesia. Menurut Defiyan Cori, kehadiran BUMN merupakan bagian dari sejarah sistem kapitalisme-liberalisme yang dibawa oleh korporasi Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di bawah pemerintahan kolonial Belanda. VOC adalah korporasi multinasional pertama di dunia yang menjalankan kegiatan ekonomi dengan pendekatan kapitalis di wilayah jajahan, termasuk Hindia Belanda.
VOC tidak hanya mengeksploitasi sumber daya alam tetapi juga membentuk sistem ekonomi yang bertujuan memperkaya korporasi dengan mengorbankan kesejahteraan rakyat lokal. Sejarah panjang penjajahan ini meninggalkan bekas yang mendalam pada struktur ekonomi Indonesia, yang pada akhirnya mendorong para pendiri bangsa untuk merumuskan sistem ekonomi yang lebih berkeadilan.
Atas pengalaman pahit dari kolonialisme, Pasal 33 UUD 1945 lahir sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem ekonomi kapitalis yang eksploitatif. Pasal ini menjadi dasar dari sistem ekonomi Indonesia yang lebih berorientasi pada keadilan sosial.
Defiyan Cori menegaskan bahwa pemikiran yang melandasi Pasal 33 UUD 1945 berakar dari budaya dan nilai-nilai asli Nusantara sebelum kedatangan VOC. Ayat 2 dan 3 Pasal 33 menyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara, serta bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
BUMN sebagai entitas ekonomi negara merupakan implementasi dari ayat-ayat tersebut. Namun, di samping BUMN, koperasi juga diamanatkan sebagai salah satu pelaku ekonomi penting. Hal ini menunjukkan bahwa sistem ekonomi Indonesia tidak sepenuhnya diserahkan pada BUMN, tetapi juga pada bentuk usaha lain yang berbasis pada kearifan lokal dan partisipasi masyarakat.
Defiyan Cori melihat BUMN sebagai pemegang mandat konstitusional untuk menjalankan ayat 2 dan 3 dari Pasal 33 UUD 1945. Namun, perlu dipahami bahwa BUMN tidak ditujukan untuk menguasai semua sektor ekonomi. BUMN seharusnya fokus pada sektor-sektor strategis yang berdampak langsung pada hajat hidup orang banyak. Dengan demikian, sektor-sektor lain dapat dikelola oleh koperasi, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), serta swasta dalam koridor ekonomi kerakyatan.
Defiyan menyoroti ketiadaan payung hukum yang komprehensif untuk menjalankan sistem ekonomi konstitusi di Indonesia. Menurutnya, derivasi dari ayat 2 dan 3 Pasal 33 UUD 1945 harus dirumuskan dalam bentuk undang-undang yang bersifat sistemik sebagai panduan menjalankan perekonomian bangsa.
Indonesia saat ini belum memiliki Sistem Ekonomi Nasional atau Sistem Ekonomi Konstitusi yang terstruktur, berbeda dengan kapitalisme dan komunisme yang memiliki panduan ideologis dan struktural yang jelas. Tanpa rujukan hukum yang kuat, penafsiran terhadap peran BUMN seringkali diserahkan pada kebijakan sektoral yang terfragmentasi, sehingga rawan terhadap kepentingan politik dan ekonomi yang tidak sejalan dengan tujuan kesejahteraan sosial.
Pembahasan mengenai peran dan fungsi BUMN sering kali terhambat oleh keterbatasan hukum yang ada. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, menurut Defiyan, masih memiliki banyak kelemahan. Salah satu masalah utama adalah ketiadaan common denominator atau landasan bersama yang bisa menjadi rujukan untuk menentukan arah kebijakan BUMN secara nasional.
Tanpa landasan yang kuat, implementasi kebijakan BUMN dapat bersifat at will atau sesuai kehendak para pengambil kebijakan yang memiliki kepentingan sektoral. Hal ini berdampak pada ketidakstabilan dan ketidakpastian dalam pengelolaan aset dan sumber daya BUMN.
Defiyan Cori juga menyinggung tentang gagasan pembentukan super holding BUMN. Konsolidasi kekayaan dan aset BUMN dalam kerangka super holding diharapkan dapat membuat gerakan operasional BUMN lebih lincah dan efisien. Super holding diharapkan mampu mengelola portofolio bisnis BUMN secara strategis, meningkatkan daya saing, serta mengurangi ketergantungan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Namun, Defiyan menekankan bahwa sebelum pembentukan super holding, perlu dilakukan kajian akademik yang mendalam. Transformasi ini tidak hanya terkait dengan perubahan undang-undang yang ada, tetapi juga memerlukan perubahan pola dan budaya manajemen. Jika tidak disiapkan dengan baik, pembentukan super holding justru bisa memperparah masalah yang sudah ada, seperti tumpang tindih kewenangan dan inefisiensi birokrasi
Pendapat Defiyan Cori membuka ruang diskusi yang lebih luas tentang peran BUMN dalam sistem ekonomi Indonesia. Sebagai pelaksana mandat konstitusi, BUMN harus diarahkan untuk fokus pada sektor-sektor strategis yang berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat. Namun, untuk mencapai tujuan tersebut, Indonesia memerlukan landasan hukum yang komprehensif, yaitu Sistem Ekonomi Nasional atau Sistem Ekonomi Konstitusi yang berlandaskan pada Pasal 33 UUD 1945.
Selain itu, pembentukan super holding BUMN harus didahului oleh kajian mendalam agar transformasi ini benar-benar dapat memperkuat daya saing dan kemandirian ekonomi nasional tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasar yang diamanatkan oleh konstitusi.(c@kra)