BPK Bisa Dijudicial Review Karena Berdiam Diri dari Usaha Pemandulan Kewenangannya

  • Bagikan
Danantara: Ketika Aset Menjadi Liability
Danantara: Ketika Aset Menjadi Liability

MoneyTalk, Jakarta – Dalam Undang-Undang (UU) nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK), terdapat beberapa pasal yang mengatur kewenangan BPK dalam mengaudit keuangan negara yang dipisahkan, termasuk kekayaan negara dalam BUMN/BUMD. Pasal yang relevan terkait dengan hal itu adalah pasal 6 ayat (1), yang menyebut bahwa BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya, Bank Indonesia, BUMN, BUMD, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.

Selanjutnya, pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa BPK berwenang meminta keterangan yang wajib diberikan oleh setiap orang, unit organisasi pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya, Bank Indonesia, BUMN, BUMD, serta lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. Pasal 11 mengatur bahwa BPK melakukan pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu terhadap pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, sebut Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Senin, 24 Februari 2025.

Sementara itu, pasal 23E ayat (1) UUD 1945 sebagai dasar konstitusional BPK dengan tegas menyatakan bahwa untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara, diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri. Hal ini bermakna bahwa BPK tetap memiliki otoritas tertinggi dalam mengaudit keuangan negara, termasuk kekayaan negara yang dipisahkan. Termasuk jika definisi kekayaan negara yang dipisahkan tersebut kemudian disimpangkan secara berbeda hanya oleh produk setingkat UU, tambah Iskandar Sitorus.

Namun, Iskandar heran mengapa saat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memproses hingga mengesahkan perubahan ketiga atas UU nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam rapat paripurna pada 4 Februari 2025, di mana revisi UU BUMN tersebut ternyata merevisi definisi keuangan negara yang dipisahkan menjadi uang negara yang dipisahkan tetapi tidak lagi diaudit oleh BPK namun terlihat BPK sama sekali tidak hirau? Hal ini menjadi pertanyaan besar bagi publik. Terlihat anggota BPK mengabaikan perintah UUD 1945.

Iskandar Sitorus menegaskan bahwa dalam UU nomor 15 tahun 2006, meskipun tidak secara eksplisit disebutkan sanksi bagi BPK jika mendiamkan kewenangannya sehingga tidak berjalan, terdapat beberapa aspek yang dapat dikaitkan dengan konsekuensi hukum atau etik jika BPK tidak menjalankan tugas dan kewenangannya sebagaimana mestinya.

Dengan membiarkan DPR merevisi UU BUMN sehingga definisi uang negara yang dipisahkan menjadi berbeda dengan yang diatur dalam UUD 1945 dan UU BPK, maka BPK melalui badan yang diisi oleh pimpinan merangkap anggota dan tujuh anggotanya terlihat nyata diduga telah melakukan tindakan yang tidak terpuji secara kasat mata. Badan ini harus menelisik siapa oknum anggota BPK yang menjadi penyebab utama atau setidak-tidaknya pemicu “perlawanan kewenangan BPK melalui lahirnya definisi uang negara yang dipisahkan dalam UU BUMN,” sementara BPK hanya diam.

Akibat dari perilaku oknum tersebut, BPK terseret-seret dan bisa dikategorikan melakukan hal-hal seperti:

Pelanggaran terhadap konstitusi dan UU BPK, terutama pasal 6 ayat (1) UU BPK yang menyatakan bahwa BPK wajib memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, termasuk kekayaan negara yang dipisahkan. Jika kemudian BPK secara sengaja tidak menjalankan tugasnya, termasuk akibat UU BUMN tersebut, maka hal itu bisa dianggap melanggar pasal 23E ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan bahwa pengelolaan keuangan negara harus diawasi oleh BPK sebagai lembaga independen. BPK tidak menyadari bahwa konsekuensi dari hal ini dapat menjadi dasar bagi publik untuk mengajukan judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK) atau gugatan hukum terkait kelalaian BPK dalam menjalankan tugas konstitusionalnya. Kami sedang melakukan konsolidasi dengan elemen masyarakat lain untuk menempuh JR.

Potensi penyalahgunaan wewenang (Abuse of Power), jika merujuk pada pasal 20 UU BPK yang menyatakan bahwa anggota BPK harus menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab. Jika BPK secara sadar membiarkan kewenangannya tidak berjalan atau menjadi terkendala, maka hal itu dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang (abuse of power), sebagaimana diatur dalam UU nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Jika ditemukan unsur kesengajaan dalam pembiaran ini, maka badan atau lebih tepatnya oknum anggota dapat dikenai sanksi administratif atau pidana, termasuk melalui mekanisme hukum tindak pidana korupsi sesuai UU Tipikor pada pasal 3 tentang penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara.

Dikenai sanksi etik oleh Majelis Kehormatan Kode Etik BPK, sebagaimana diatur dalam pasal 30 UU BPK, yang menyatakan bahwa setiap anggota BPK harus mematuhi kode etik. Jika ada pembiaran yang disengaja terhadap kewenangan BPK, hal ini dapat dianggap melanggar kode etik penyelenggara negara, yang mewajibkan BPK menjaga transparansi dan akuntabilitas dalam pengawasan keuangan negara. Konsekuensinya, anggota BPK yang terbukti melanggar kode etik dapat dikenakan peringatan, pemberhentian sementara, atau bahkan pemecatan berdasarkan keputusan Majelis Kehormatan Kode Etik BPK.

Potensi impeachment atau pemberhentian anggota BPK, sebagaimana disebutkan dalam pasal 29 UU BPK, yang mengatur bahwa anggota BPK dapat diberhentikan jika tidak melaksanakan tugasnya dengan baik atau melanggar peraturan perundang-undangan. Pasal 14 UU BPK juga menyebutkan bahwa anggota BPK harus mengundurkan diri jika terbukti melakukan pelanggaran berat dalam menjalankan tugasnya. Jika ada bukti bahwa BPK secara sistematis mendiamkan kewenangannya, maka anggota BPK bisa diminta mundur atau diberhentikan oleh DPR berdasarkan evaluasi kinerja.

Dari kajian di atas, dapat disimpulkan bahwa meskipun UU BPK tidak secara langsung mencantumkan sanksi jika BPK mendiamkan kewenangannya, terdapat konsekuensi hukum, administratif, etik, dan bahkan pidana yang dapat dikenakan terhadap oknum anggota BPK yang terbukti mendiamkan upaya terhadap tindakan yang melahirkan kebijakan untuk mengurangi, mengubah mekanisme, atau bahkan mencegah BPK melaksanakan kewenangannya sebagaimana diperintahkan oleh UUD 1945.

Terlebih jika kemudian terbukti ada indikasi bahwa oknum anggota BPK secara sengaja membiarkan kewenangan BPK tidak berjalan, maka publik dan lembaga pengawas dapat menuntut pertanggungjawaban melalui mekanisme hukum dan politik yang ada.

Kami yakin mata hati publik tidak buta dalam mencermati kinerja dan perilaku oknum anggota BPK bersama pegawai-pegawai di sana selama ini bertendensi kinerja buruk, sehingga merendahkan harkat dan martabat BPK.

Bukti permulaan untuk mengoreksi perilaku tidak terpuji oknum anggota BPK itu sudah terlihat secara kasat mata, yang secara tegas dilakukan oleh DPR bersama dengan Kementerian BUMN yang mengorganisir BUMN, karena kemungkinan mereka kerap diposisikan menjadi auditi yang tidak sepatutnya, tutup Iskandar Sitorus.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *