MoneyTalk,Jakarta – Situasi yang dihadapi Presiden Prabowo Subianto mengingatkan saya pada Sisyphus. Dalam mitologi Yunani, Sisyphus adalah raja yang harus menderita dalam hukuman abadi dengan mendorong batu besar ke atas bukit yang curam tanpa henti, hanya untukbmenggelindingkannya ke bawah setiap kali dia mendekati puncak. Sisyphus punya makna metafora untuk menggambarkan tugas yang tidak ada akhirnya, atau tugas sia-sia tanpa hasil.
Sisyphus harus menderita karena dia memerintah dengan zalim. Saya hakulyakin Prabowo orang jujur dan punya niat tulus memajukan bangsanya dan memakmurkan rakyatnya. Tapi saya tidak percaya ia akan berhasil. Penyebabnya, ia menerima dan menjalankan kerangka berpikir koruptif Mulyono. Juga harus menerima orang-orang bermasalah dan tidak kompeten yang didesakkan Mulyono untuk diberi kursi di kabinet.
Mereka itu membawa agenda oligarki yang bersekongkol dengan Mulyono untuk menyelamatkan kepentingan sendiri. Bagaimana mungkin Prabowo bisa memberantas korupsi bila ia menerima begitu saja calon pemimpin dan calon anggota dewan pengawas KPK yang dipilih Mulyono menjelang habis masa tugasnya? Terlebih, para capim dan calon dewas itu diragukan integritasnya. Menurut keputusan MK dan UU KPK, yang berhak mengajukan nama-nama capim dan dewas KPK ke DPR untuk disetujui haruslah presiden baru.
Prabowo tak mau memanfaatkan kesempatannya untuk memilih sendiri panitia seleksi yang bebas dari unsur Mulyono yang, pada gilirannya, memilih capim dan dewas KPK yang kredibel untuk memberantas korupsi. Situasi ini meyakinkan publik bahwa mustahil Prabowo bisa memberantas korupsi. Juga memperlihatkan Prabowo masih di bawah pengaruh Mulyono. KPK dan Dewasnya memang harus di bawah kendali Mulyono agar KKN yang dilakukan putera-puteri, menantu, dan kroninya aman terkendali.
Prabowo pernah menegaskan akan mengejar koruptor sampai ke Antartika. Tapi bagaimana kita bisa yakin kalau menteri-menterinya yang terlibat isu tindak pidana korupsi tidak tersentuh? Yang dijadikan pesakitan justru Tom Lembong, tokoh yang dikenal jujur. Ini bukan atas perintah Prabowo. Tapi dengan membiarkannya menyadarkan kita bahwa ada negara di dalam negara. Tom Lembong adalah langkah awal Mulyono menggerogoti wibawa Prabowo. Ada wacana di publik bahwa pada saatnya Prabowo akan menyingkirkan loyalis Mulyono saat posisinya sudah kuat.
Sebagian orang percaya pada diskursus ini. Saya tidak. Bukan lantaran Prabowo tidak tulus memberantas korupsi, tapi karena ia tidak mampu melakukannya. Pertama, ia terobsesi merangkul semua kekuatan politik ke dalam pemerintahannya untuk menciptakan stabilitas. Dalam pandangannya, stabilitas yang tanpa oposisi akan membuat pemerintahannya lebih efektif. Pemikiran ini keliru karena mengandaikan oposisi sebagai pengganggu.
Padahal, kehadiran oposisi penting untuk menjaga pemerintah tetap berjalan dalam koridor hukum, inklusif, dan meningkatkan kualitas kebijakan yang dikeluarkannya. Kedua, lembaga-lembaga penegak hukum dipimpin oleh loyalis Mulyono, yang menjadi alat penjaga status quo. Bahkan menghadirkan ancaman terhadap Prabowo. Kasus Lembong adalah contohnya. Contoh lain, pemerintah seperti tak berdaya menghadapi kasus Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi, loyalis Mulyono, yang diduga kuat terlibat kasus judi online.
Besarnya pengaruh Mulyono terhadap Prabowo dapat dilihat pada contoh dua kasus berikut. Pertama, soal susunan kabinet. Beredar luas di kalangan kaum terpelajar bahwa seminggu sebelum Prabowo dilantik, Mulyono mengadakan pertemuan dengannya di Solo. Di sana, Mulyono menyodorkan nama-nama loyalisnya untuk diakomodasi Prabowo dalam kabinetnya. Kendati kecewa, Prabowo patuh pada desakan Mulyono. Desakan lain, kasus Fufufafa menghina Prabowo dan keluarganya tidak dijadikan masalah. Desakan ini disertai ancaman serius bila Prabowo mengabaikannya.
Apakah Prabowo punya masalah besar yang dapat meruntuhkan pemerintahannya kalau dibongkar? Entahlah. Yang saya dengar, Mulyono mengemukakan konsekuensi-konsekuensi ekonomi, hukum, dan politik bila Prabowo tak patuh pada kehendaknya. Hal lain yang diminta Mulyono adalah Prabowo tidak boleh memasukkan PDI-P dalam koalisi pemerintahannya. Sangat mungkin Mulyono juga menekan Prabowo untuk melanjutkan pembangunan IKN. Itu terlihat dari perubahan sikap Prabowo terkait proyek mercusuar yang berbiaya besar ini.
Awalnya, Prabowo mengatakan, perlu waktu lama, sekitar 25-30 tahun, untuk menyelesaikannya. Hal ini masuk akal karena membangun ibu kota yang serba canggih butuh dana jumbo dan perancanaan matang. Tapi sekonyong-konyong Prabowo berubah dengan mengatakan ia akan menyelesaikan IKN hanya dalam waktu empat tahun. Tiongkok dan pengusaha domestik sanggup melakukannya. Mengapa tiba-tiba oligarki berubah pikiran dari sebelumnya ogah berpartisipasi menjadi bersemangat untuk mewujudkannya?
Masuk akal dugaan sementara bahwa oligarki dan Tiongkok bersedia mengerjakannya karena ada keuntungan lain yang mereka peroleh. Mulyono menjadikan proyek Pondok Indah Kapuk sebagai Proyek Strategis Nasional. Dengan begitu, negara berhak menggusur pemukiman dari lahan tempat proyek itu dibangun dengan membeli lahan penduduk dengan harga sangat murah sebagai kompensasi kesediaan oligarki membangun IKN. Tiongkok juga bersedia sebagai tukar guling “pengakuan” Indonesia bahwa Laut Natuna Utara sebagai wilayah sengketa dengan Tiongkok.
Isu terakhir ini bukan hanya menggemparkan publik tanah air, tapi juga menghebohkan negara-negara ASEAN yang punya klaim tumpang tindih dengan Tiongkok atas pulau-pulau di Laut China Selatan. Sebenarnya Indonesia tak punya klaim tumpang tindih dengan Tiongkok, tapi dengan menandatangani kesepakatan mengelola bersama Laut Natuna Utara secara tidak langsung RI mengakui Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia itu sebagai wilayah sengketa. Ini akan mengganggu stabilitas kawasan dan melemahkan posisi Vietnam, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Filipina vis a vis Tiongkok.
Sebagai seorang jenderal, mestinya Prabowo mengerti betul masalah ini karena terkait dengan teritori, kedaulatan, dan keamanan negara. Setelah menandatangani kesepakatan itu saat Prabowo berkunjung ke sana (8-10 November), Tiongkok menyatakan senang Prabowo akan melanjutkan program pembangunan Mulyono. Secara implisit, pernyataan Tiongkok ini bersentuhan dengan isu IKN. Dus, Prabowo menyatakan akan membangun IKN dalam waktu empat tahun sangat mungkin terkait dengan kesediaan oligarki dan Tiongkok menggelontorkan dana untuk IKN sebagai hasil kesepakatan dengan Mulyono.
Tiongkok juga akan membantu program makan bergizin gratis Prabowo. Bagaimanapun, dana yang dikeluarkan oligarki dan Tiongkok tidak seberapa dibandingkan keuntungan yang mereka peroleh dari proyek PIK dan Laut Natuna Utara. Sangat mungkin, AS juga akan menekan pemerintahan Prabowo untuk membatalkan kesepakatan pengelolaan Laut Natuna Utara dengan Tiongkok sebagaimana dilakukan Filipina. Memang berdasarkan hukum maritim internasional (UNCLOS), klaim Tiongkok atas pulau-pulau di Laut China Selatan berdasarkan sembilan garis putus-putus (nine dash line) tidak berdasar.
Yang saya tulis ini baru sebagian dari legacy Mulyono yang pasti menghambat program pembangunan Prabowo. Prabowo adalah Sisyphus dan batu besar adalah legacy Mulyono. Melihat kuat dan luasnya jejaring Mulyono di pemerintahan Prabowo dan kecenderungan Prabowo untuk menerima semua yang didesakkan Mulyono, saya tidak percaya Prabowo mampu mengantarkan negara ini ke gerbang Indonesia Emas. Seperti Sisyphus, pekerjaan pemerintahan Prabowo akan berakhir sia-sia. Ibarat ironi situasional, terjadi perbedaan mencolok antara apa yang diharapkan terjadi dan apa yang sesungguhnya terjadi.
Penulis : Smith Alhadar,Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)