Penyimpangan Sejarah Pesantren dan Upaya Mengembalikan Martabat Pendidikan Islam

  • Bagikan
Penyimpangan Sejarah Pesantren dan Upaya Mengembalikan Martabat Pendidikan Islam
Penyimpangan Sejarah Pesantren dan Upaya Mengembalikan Martabat Pendidikan Islam

MoneyTalk, Jakarta – Pendidikan pesantren telah lama menjadi pusat pembelajaran agama, budaya, dan karakter di Indonesia. Namun, sejarah mencatat sejak masa kolonial, pesantren mengalami berbagai upaya pembelokan yang sistematis oleh pemerintahan kolonial. Menteri Agama RI, Prof. Nasaruddin Umar, dalam sambutannya di acara peluncuran Sistem Layanan dan Informasi Majelis Masyayikh (Syamil) dan Stakeholder Meeting di Jakarta, mengungkapkan, akibat pembelokan sejarah tersebut, pesantren dianggap sebagai lembaga pendidikan “kelas dua” dibandingkan dengan institusi pendidikan formal lainnya seperti universitas.

Artikel ini akan menguraikan penyimpangan sejarah tersebut dan upaya yang perlu dilakukan untuk mengembalikan martabat pesantren sebagai lembaga pendidikan utama di Indonesia.

Sejak awal keberadaannya, pesantren menjadi fondasi penting dalam penyebaran ilmu agama dan moralitas di nusantara. Pesantren adalah tempat di mana santri tidak hanya belajar Al-Quran dan hadis tetapi juga memperoleh pengetahuan spiritual yang lebih mendalam. Pesantren mengajarkan santri untuk mencari “ilmunya Allah”, yaitu ilmu yang lebih mendalam daripada sekadar pemahaman intelektual yang diperoleh melalui pembelajaran formal.

Namun, kolonialisme yang bercokol selama berabad-abad di tanah air, memiliki agenda terselubung untuk melemahkan peran pesantren. Pemerintah kolonial menyadari bahwa pesantren memainkan peran kunci dalam menjaga semangat nasionalisme dan perlawanan terhadap penjajah. Oleh karena itu, mereka melakukan upaya sistematis untuk menggeser posisi pesantren menjadi lembaga pendidikan yang dipandang rendah.

Prof. Nasaruddin mengungkapkan, jika bukan karena pengaruh kolonial, maka lembaga-lembaga pendidikan ternama di Indonesia seharusnya adalah pesantren seperti Lirboyo, Termas, dan Tabuireng, bukan universitas modern seperti UI atau UGM.

Pemerintah kolonial membatasi kurikulum pesantren agar fokus pada pelajaran yang dianggap “aman” dan tidak membangkitkan semangat perlawanan. Penekanan pada studi agama yang tidak berkaitan dengan aspek sosial-politik membuat pesantren dianggap sebagai lembaga yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu “kuno” dan “kolot”.

Narasi kolonial menciptakan stigma bahwa pesantren adalah tempat pendidikan dengan kualitas rendah dan hanya relevan untuk masyarakat pedesaan. Ini berbeda dengan pendidikan formal barat yang dipromosikan sebagai jalur untuk mendapatkan pekerjaan bergengsi di lingkungan kolonial.

Pemerintah kolonial secara aktif memisahkan pesantren dari sistem pendidikan nasional yang mereka bangun. Dengan demikian, pesantren tidak mendapatkan pengakuan atau dukungan yang sama seperti sekolah-sekolah umum. Hal ini membuat pesantren seolah menjadi pilihan “kelas dua” di mata masyarakat.

Prof. Nasaruddin Umar menegaskan pentingnya mengembalikan posisi pesantren dalam pendidikan nasional. Beliau menyebut bahwa “pesantren seharusnya menjadi tuan rumah di Republik ini” dan bahwa pesantren memiliki keunggulan epistemologis yang berbeda dibandingkan dengan pendidikan formal lainnya. Pesantren tidak hanya mengajarkan ilmu dari aspek intelektual tetapi juga dari aspek spiritual dan pengembangan karakter.

Memperkuat kurikulum dengan tetap mempertahankan nilai-nilai spiritual dan moral yang menjadi ciri khas pesantren. Memastikan bahwa pengajaran di pesantren tidak hanya fokus pada pengetahuan formal, tetapi juga pada pengembangan makrifah (pengetahuan batin).

Pemerintah perlu memberi pengakuan dan dukungan lebih terhadap pesantren sebagai lembaga pendidikan utama yang setara dengan sekolah-sekolah dan universitas formal. Sistem akreditasi dan evaluasi mutu yang sesuai dengan prinsip-prinsip pesantren harus dikembangkan agar tidak terjebak dalam ukuran-ukuran yang hanya mengedepankan aspek formalitas.

Meningkatkan kualitas pengajar di pesantren serta menyediakan fasilitas yang mendukung proses pembelajaran. Seorang kiai atau ustaz tidak hanya berperan sebagai pengajar tetapi juga sebagai pembimbing spiritual (mursyid), yang perannya sangat penting dalam mendidik generasi santri.(c@kra)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *