RUU Perampasan Aset, Hantu Menakutkan bagi Koruptor

  • Bagikan
Liku-liku Perjalanan RUU Perampasan Aset
Liku-liku Perjalanan RUU Perampasan Aset

MoneyTalk, Jakarta – Diskusi mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset telah menjadi salah satu isu paling hangat dalam beberapa tahun terakhir. Ir. Johan Budi, mantan juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam wawancara di kanal YouTube SPASI, pada Rabu (13/11), mengungkapkan berbagai tantangan dan ketakutan di kalangan elit politik, pejabat, dan pengusaha terkait RUU ini. Tidak hanya menyasar anggota DPR, RUU ini dipandang menakutkan bagi pejabat negara dan pengusaha yang terindikasi mengemplang pajak.

Johan Budi menjelaskan RUU Perampasan Aset memiliki kekuatan hukum yang mampu menjerat tidak hanya pejabat di parlemen tetapi juga pejabat pemerintahan serta pengusaha swasta. Hal ini karena RUU tersebut memungkinkan penegak hukum untuk menyita aset yang diperoleh dengan cara ilegal, bahkan tanpa proses pengadilan yang panjang.

Sebagai contoh, selama ini perangkat hukum yang ada di Indonesia seperti Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, memang memberikan landasan hukum untuk menyita aset. Namun, prosesnya memerlukan pembuktian di pengadilan, yang seringkali membutuhkan waktu lama dan menghadapi berbagai hambatan teknis.

Johan Budi menegaskan bahwa efektivitas undang-undang yang sudah ada masih kurang memadai. Misalnya, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, tidak mengatur sanksi pidana bagi pejabat yang tidak melaporkan kekayaannya. Dampaknya, banyak pejabat yang tidak melaporkan harta kekayaan dengan lengkap, dan tidak ada tindakan tegas terhadap mereka.

RUU Perampasan Aset juga muncul di tengah kondisi di mana transparansi kekayaan pejabat negara dipertanyakan. Johan Budi mengungkapkan bahwa, seringkali, pejabat dengan penghasilan yang relatif kecil memiliki harta yang sangat besar. Fenomena ini menimbulkan kecurigaan bahwa kekayaan tersebut diperoleh dengan cara tidak sah.

Selama bertahun-tahun, penegak hukum di Indonesia, termasuk KPK, hanya mampu melakukan klarifikasi atas Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Klarifikasi ini meliputi pengecekan apakah aset yang dilaporkan memang milik penyelenggara negara, tetapi tidak menyentuh aspek legalitas dan kewajaran sumber harta tersebut.

Sebagai contoh, Johan Budi mengingatkan kembali pada kasus yang menimpa seorang mantan Dirjen Pajak, di mana sejumlah besar kekayaan yang dimiliki dilaporkan sebagai hibah. Hal ini menimbulkan polemik karena besarnya jumlah hibah yang dilaporkan melebihi pendapatan resmi yang diterima, namun tetap tidak bisa ditindaklanjuti secara pidana karena terbatasnya instrumen hukum.

Johan Budi menyoroti, selain menakutkan bagi para koruptor, RUU ini juga berpotensi menimbulkan kekhawatiran terhadap penegak hukum. Dikhawatirkan bahwa jika RUU ini disahkan, tanpa reformasi di internal aparat penegak hukum, maka potensi penyalahgunaan kewenangan akan semakin besar. “Butuh penegak hukum yang benar-benar memiliki integritas. Jika tidak, ini bisa menjadi lahan baru untuk penyalahgunaan kekuasaan,” ungkapnya.

RUU Perampasan Aset sudah lama menjadi topik perdebatan, bahkan sejak masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Hingga kini, pengesahannya masih terkatung-katung. Hal ini menimbulkan spekulasi di publik bahwa terdapat resistensi dari berbagai pihak yang merasa terancam oleh penerapan undang-undang ini.

Presiden Prabowo Subianto yang baru menjabat telah mengeluarkan pernyataan keras terkait pemberantasan korupsi, dengan janji mengejar koruptor hingga ke “kutub utara” sekalipun. Ini memberikan secercah harapan bahwa di bawah pemerintahannya, langkah konkret bisa diambil untuk mendorong pengesahan RUU Perampasan Aset.

Mahasiswa dan akademisi diharapkan terus menyuarakan dukungan terhadap pengesahan RUU ini. Johan Budi menekankan bahwa suara dari kalangan kampus sangat penting.

“Mahasiswa perlu terus bergerak, seperti yang dilakukan dalam berbagai isu penting lainnya. Mereka adalah harapan untuk mendorong agar hukum benar-benar ditegakkan,” ujarnya.

Pada akhirnya, pengesahan RUU Perampasan Aset menjadi ujian bagi komitmen pemerintah dan DPR dalam memberantas korupsi. Jika disahkan dan dilaksanakan dengan baik, RUU ini bisa menjadi alat yang ampuh untuk membersihkan birokrasi dan menegakkan hukum dengan lebih efektif, sekaligus menimbulkan efek jera bagi pelaku korupsi dan kejahatan keuangan lainnya.(c@kra)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *