MoneyTalk, Jakarta – Mardigu Wowiek muncul dengan narasi menarik tentang bagaimana dominasi ekonomi Tiongkok, melalui serangkaian strategi geopolitik dan soft power, mampu membuat barang-barang mereka menjadi sangat murah di pasar global. Bahkan, mengancam industri-industri besar seperti Sritex di Indonesia. Artikel ini akan mengulas dengan mendalam bagaimana Tiongkok mengatur pergerakan ini dan apa yang bisa dipelajari Indonesia dari pendekatan tersebut.
Soft power dalam konteks ini bukan hanya tentang pengaruh budaya atau diplomasi, melainkan strategi ekonomi di mana Tiongkok berhasil menyusup ke dalam sistem politik dan ekonomi negara lain melalui mekanisme korupsi dan suap. Tindakan ini dilakukan untuk mengubah regulasi agar menguntungkan Tiongkok dan merugikan industri lokal.
Misalnya, pejabat di negara tertentu disuap agar memberikan izin impor yang mempermudah masuknya barang Tiongkok dengan harga yang sangat murah. Akibatnya, pabrik-pabrik lokal seperti yang terjadi di sektor garmen, semen, dan produk rumah tangga berpotensi tutup karena tidak mampu bersaing dengan harga barang dari Tiongkok yang jauh lebih rendah.
Sritex yang pernah menjadi salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, menjadi contoh nyata dari dampak ini. Dengan masuknya produk tekstil dari Tiongkok yang dijual dengan harga sangat kompetitif, Sritex menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan pangsa pasarnya. Sistem perdagangan bebas dan lemahnya pengawasan terhadap praktik dumping membuat produk impor yang disubsidi oleh pemerintah Tiongkok semakin mendominasi pasar lokal. Ini mengakibatkan perusahaan dalam negeri harus menekan harga dan margin keuntungan mereka hingga tidak berkelanjutan.
Tiongkok memiliki strategi unik yang disebut subsidi ekspor, di mana pemerintah memberikan insentif 20-30% dari harga jual produk yang diekspor. Contohnya, mobil listrik yang diproduksi di Tiongkok dijual ke luar negeri dengan harga yang lebih rendah dari harga produksi. Hal ini dimungkinkan karena adanya subsidi langsung dari pemerintah, yang pada akhirnya mengurangi harga jual dan membuatnya sangat kompetitif dibandingkan mobil-mobil dari Eropa, Amerika, atau Jepang.
Subsidi ini bukan hanya sekadar keuntungan bisnis, tetapi merupakan bagian dari strategi makroekonomi Tiongkok yang menggunakan printing money (cetak uang) berbasis proyek ekspor. Dengan menghasilkan devisa melalui penjualan internasional, Tiongkok menjaga perputaran ekonomi tetap kuat dan mendukung pengusaha lokalnya untuk berkompetisi di pasar global dengan agresif.
Fenomena yang disoroti Mardigu mengenai harga mobil adalah contoh konkret bagaimana harga produk-produk tertentu dapat jatuh di masa depan. Dengan banyaknya suplai mobil Tiongkok di pasar global, harga mobil, baik baru maupun bekas, diprediksi akan mengalami penurunan. Produsen otomotif dari negara lain, termasuk Jepang dan Eropa, akan menghadapi tekanan besar untuk menyesuaikan harga atau mempertahankan daya saing mereka di pasar internasional.
Indonesia perlu meniru beberapa strategi inovatif Tiongkok, terutama dalam mengintegrasikan dukungan pemerintah dengan sektor swasta. Pemerintah Indonesia bisa mengevaluasi kebijakan terkait dengan subsidi ekspor, inovasi industri, serta kebijakan perdagangan yang melindungi produk dalam negeri dari persaingan yang tidak adil. Model Tiongkok menunjukkan bahwa keberhasilan dalam ekonomi global tidak hanya mengandalkan keterbukaan pasar, tetapi juga perlindungan terhadap industri strategis dan kebijakan proaktif yang dirancang untuk menjaga stabilitas dan perkembangan jangka panjang.
Mardigu Wowiek membuka mata tentang bagaimana kompleksitas hubungan antara geopolitik, kebijakan ekonomi, dan dampaknya pada industri lokal. Tiongkok, dengan kekuatan soft power dan strategi ekonomi cerdas, mampu memposisikan diri sebagai pemimpin dalam banyak sektor di pasar global. Bagi Indonesia, penting untuk segera mengevaluasi kebijakan ekonomi dan industrinya agar dapat bertahan dan berkompetisi di era dominasi Tiongkok.(c@kra)