MoneyTalk, Jakarta – Menata kota besar seperti Jakarta tidak hanya soal perbaikan infrastruktur fisik, tetapi juga pengelolaan utilitas kota. Pengelolaan ini termasuk jaringan kabel listrik, telekomunikasi, dan lainnya.
Saat ini pemerintah sedang merencanakan untuk memindahkan kabel utilitas yang bertebaran di udara ke dalam tanah. Ini bukanlah proyek kecil—baik dari segi teknis maupun finansial. Terlebih lagi, Jakarta sebagai ibu kota negara dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan lalu lintas yang sangat sibuk, menghadapi berbagai tantangan dalam mewujudkan visi ini. Namun, jika berhasil dilaksanakan, pemindahan kabel ke bawah tanah akan membawa dampak besar terhadap penataan kota, keselamatan, dan estetika urban.
Sebagai ibu kota negara, Jakarta memiliki peran penting dalam menunjukkan wajah kemajuan dan modernitas Indonesia. Salah satu aspek yang cukup mengganggu estetika kota adalah kabel utilitas yang menggantung di udara. Kabel listrik, kabel fiber optik, serta kabel lainnya sering kali terlihat tidak teratur dan membentuk kekumuhan visual. Bahkan dalam beberapa kasus, kabel-kabel tersebut tergantung terlalu rendah dan membahayakan keselamatan pengguna jalan.
Berdasarkan data yang ada, sekitar 90% dari jaringan kabel utilitas di wilayah Jabodetabek berada di DKI Jakarta. Meskipun kabel-kabel ini penting untuk berbagai layanan seperti telekomunikasi, internet, dan distribusi listrik, penataannya yang sembarangan kerap menyebabkan kemacetan, kecelakaan, bahkan gangguan pada layanan tersebut. Oleh karena itu, salah satu langkah strategis yang kini diprioritaskan adalah memindahkan kabel-kabel tersebut ke dalam tanah.
Proyek pemindahan kabel ke bawah tanah sudah menjadi perhatian pemerintah sejak beberapa tahun terakhir. Namun, salah satu hambatan terbesar adalah soal regulasi. Perda (Peraturan Daerah) Nomor 8 Tahun 1999 yang mengatur mengenai jaringan utilitas di Jakarta masih dianggap kurang memadai untuk menangani kebutuhan infrastruktur modern saat ini. Hal ini menyebabkan pembahasan mengenai revisi perda menjadi sangat krusial. Bahkan, badan legislasi daerah telah melakukan beberapa pembicaraan untuk merevisi perda ini agar lebih sesuai dengan kebutuhan kota Jakarta yang semakin berkembang.
Sebagai contoh, salah satu tantangan adalah pengaturan mengenai siapa yang bertanggung jawab dalam hal pemeliharaan dan pengelolaan infrastruktur utilitas tersebut setelah kabel dipindahkan ke bawah tanah. Tidak hanya itu, masalah pembiayaan juga menjadi isu utama, terutama mengingat banyaknya pihak yang terlibat dalam proyek ini, seperti operator utilitas, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Di Jakarta terdapat berbagai dinas yang terkait dengan infrastruktur dan pembangunan. Antara lain Dinas Bina Marga, Dinas Tata Air, serta badan usaha milik daerah (BUMD) seperti Jakarta Propertindo. Semua pihak ini harus bekerja sama secara harmonis agar proyek ini berjalan lancar.
Misalnya, Dinas Tata Air harus memastikan pemasangan kabel tidak mengganggu saluran air yang ada. Sementara Bina Marga harus memperhatikan kondisi jalan dan jembatan yang bisa terpengaruh oleh pembangunan jaringan utilitas bawah tanah.
Pengawasan dan koordinasi yang erat antar instansi pemerintah juga sangat dibutuhkan untuk menghindari bentrok antara proyek yang satu dengan yang lainnya. Salah satu contoh konkret dari masalah koordinasi ini adalah ketika pekerjaan penggalian jalan untuk kabel bertabrakan dengan pembangunan infrastruktur lain seperti pipa air atau bahkan jaringan listrik.
Pembangunan jaringan utilitas bawah tanah bukanlah proyek murah. Untuk menanam kabel-kabel ini, pemerintah harus membuat lubang atau manhole sepanjang ribuan kilometer. Mengingat panjang jalan di Jakarta yang mencapai 6.500 km, biaya untuk proyek ini bisa mencapai triliunan rupiah. Sejauh ini, baru sekitar 150 km kabel yang berhasil dipindahkan ke bawah tanah dari target 6.500 km, yang menunjukkan besarnya tantangan finansial dalam proyek ini.
Sebagai solusi, pemerintah berencana untuk melibatkan sektor swasta dan BUMD dalam proyek ini. Dalam hal ini, pembiayaan dari sektor swasta bisa menjadi salah satu alternatif untuk mempercepat proses pembangunan, meskipun ini tentu memerlukan kebijakan yang matang agar tidak memberatkan masyarakat.
Selain masalah teknis dan pembiayaan, tarif bagi operator utilitas juga menjadi isu penting. Operator yang memanfaatkan ruang bawah tanah untuk menanamkan kabel-kabel mereka akan dikenakan biaya sewa. Namun, penetapan tarif yang adil dan transparan masih menjadi perdebatan.
Pemerintah perlu menyesuaikan tarif sewa dengan potensi kontribusi terhadap pendapatan daerah, serta memastikan bahwa biaya yang dikenakan tidak membebani masyarakat atau menyebabkan tarif layanan yang lebih tinggi.
Beberapa pihak, seperti Ketua ABJATEL, Jerry Siregar, menyatakan bahwa pemerintah harus memperhatikan faktor keberlanjutan dalam tarif yang ditentukan. Dalam hal ini, aturan yang jelas dan tepat sangat diperlukan agar tidak menambah beban ekonomi bagi masyarakat dan industri.
Menurut Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Wibi Andrino, langkah pertama yang perlu diambil adalah mengkerimping atau menyatukan kabel-kabel yang ada. Ini adalah langkah sementara untuk mengurangi dampak visual dan meningkatkan keselamatan masyarakat. Setelah itu, perlu ada pembangunan infrastruktur dasar, seperti manhole atau lubang penampungan kabel, di sepanjang jalan-jalan utama Jakarta.
Proyek ini direncanakan untuk dilakukan secara bertahap. Beberapa ruas jalan utama di Jakarta, seperti Senopati, Cikajang, dan Patimura, sudah memiliki sjut (sistem jaringan utilitas bawah tanah) sepanjang 24 km. Pembelajaran dari proyek ini sangat penting untuk mengetahui apa saja tantangan teknis yang mungkin muncul, serta bagaimana mengelola koordinasi antar lembaga agar proyek berjalan lancar.
Untuk mewujudkan Jakarta bebas kabel di udara dan memiliki infrastruktur utilitas bawah tanah yang tertata rapi, kolaborasi antara berbagai pihak—baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat—adalah kunci utama. Proyek ini membutuhkan perencanaan yang matang, pendanaan yang cukup, serta kerjasama lintas sektor yang erat.
Pemerintah DKI Jakarta harus terus mendorong revisi peraturan daerah yang relevan, sementara pihak swasta harus bersedia berkontribusi dalam pembiayaan pembangunan infrastruktur. Selain itu, edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya proyek ini, serta manfaat jangka panjangnya, juga akan membantu memperlancar implementasi program.
Sebagai kesimpulan, meskipun proyek ini menghadapi banyak tantangan, pemindahan kabel utilitas ke bawah tanah di Jakarta merupakan langkah maju untuk menciptakan kota yang lebih modern, aman, dan estetis. Dengan sinergi yang baik antara pemerintah dan seluruh pihak terkait, bukan tidak mungkin Jakarta dapat mewujudkan impian menjadi kota global yang bebas dari kekumuhan kabel di udara.(c@kra)