Kebijakan Moneter dan Surat Utang Negara

  • Bagikan
Kebijakan Moneter dan Surat Utang Negara
Kebijakan Moneter dan Surat Utang Negara

MoneyTalk, Jakarta – Dalam wawancara mendalam di kanal YouTube milik ekonom Awalil Rizky pada Kamis (14/11), Yanuar Rizky memberikan analisis yang komprehensif terkait kebijakan moneter Indonesia. Diskusi yang berlangsung mencakup topik mulai dari reformasi kebijakan utang, dampak kebijakan moneter Amerika Serikat terhadap ekonomi global, hingga strategi yang diharapkan dari pemerintahan baru di Indonesia. Pandangannya membuka wawasan mengenai kompleksitas ekonomi Indonesia dalam konteks dinamika global.

Yanuar Rizky dalam pandangannya menyinggung era reformasi kebijakan utang pada 2008. Menurutnya, pada periode tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani menginisiasi perubahan besar dengan memperkenalkan surat utang negara sebagai instrumen investasi yang diperdagangkan. Tujuannya adalah untuk mengurangi ketergantungan pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan memperluas basis pembiayaan negara melalui pasar keuangan.

Transformasi ini sejalan dengan harmonisasi kebijakan moneter di mana instrumen seperti surat utang negara (SUN) menjadi dominan. Langkah ini juga mendorong pergeseran dari SBI ke suku bunga BI Rate dan instrumen baru seperti repo 7 hari yang membantu mengatur likuiditas di pasar.

Lebih lanjut, Yanuar menjelaskan bahwa sejak 2008 hingga kini, pergerakan uang beredar di Indonesia sangat dipengaruhi oleh volatilitas surat utang negara. Kondisi ini menjadikan Indonesia sangat rentan terhadap kebijakan moneter Amerika Serikat, terutama kebijakan Federal Reserve (The Fed).

Yanuar menyoroti dampak dari kebijakan “quantitative easing” The Fed yang menyebabkan aliran modal masuk ke Indonesia pasca krisis 2008, tetapi kemudian berbalik arah ketika kebijakan moneter AS mengetat.

Menurutnya, Indonesia harus sangat berhati-hati terhadap potensi kebijakan agresif dari Amerika, terutama jika Donald Trump kembali terpilih. Kebijakan Trump yang cenderung proteksionis dapat memicu volatilitas di pasar keuangan global, yang akan berpengaruh langsung terhadap nilai tukar dan stabilitas fiskal Indonesia.

Yanuar Rizky juga menyoroti ketergantungan ekonomi Indonesia baik pada Amerika Serikat maupun Cina. Jika dari sisi pasar uang Indonesia lebih terpengaruh oleh kebijakan moneter Amerika, maka dari sisi perdagangan Indonesia sangat tergantung pada Cina sebagai mitra dagang utama. Menurutnya, Indonesia adalah pemasok bahan baku utama bagi Cina.

Jika Cina mengalami perlambatan ekonomi, seperti yang terjadi baru-baru ini akibat kebijakan “zero COVID” dan penurunan di sektor properti, Indonesia juga akan terkena dampaknya.

Yanuar memberikan pandangannya terkait langkah diplomatik Presiden terpilih, Prabowo Subianto, yang mulai melakukan pendekatan ke Cina dan Amerika Serikat. Menurutnya, strategi Prabowo yang berfokus pada industri berbasis bahan baku dengan Cina dan pendekatan monetaris dengan Amerika dapat menjadi strategi “balancing act” yang penting di tengah ketegangan geopolitik global.

Namun, Yanuar mengingatkan bahwa pendekatan ini harus dilakukan dengan bijak untuk menghindari risiko ketergantungan yang terlalu besar pada salah satu kekuatan global. Indonesia perlu membangun fondasi ekonomi yang lebih mandiri, khususnya dalam sektor pertanian dan industri manufaktur, untuk mengurangi dampak dari fluktuasi global.

Yanuar juga membandingkan situasi ekonomi saat ini dengan periode 1920-1930 yang diwarnai oleh krisis besar. Menurutnya, krisis global saat itu terjadi karena peran negara yang terlalu kecil dalam mengatur pasar. Kini, dunia kembali menghadapi dilema antara liberalisasi pasar dan peran negara dalam ekonomi. Tren wealth management dan “rentier capitalism” menjadi tantangan baru di mana kekayaan hanya berputar di kalangan tertentu tanpa mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

Yanuar Rizky menyampaikan harapan terhadap pemerintahan baru di bawah Prabowo Subianto. Ia menyarankan pendekatan “petani moneter” di mana kebijakan moneter tidak hanya fokus pada sektor finansial, tetapi juga pada sektor riil seperti pertanian. Hal ini dianggap penting untuk mengatasi ketimpangan ekonomi yang banyak terjadi di pedesaan.

Menurut Yanuar, Indonesia perlu memanfaatkan instrumen-instrumen keuangan seperti sekuritisasi aset untuk mengumpulkan dana yang dapat diinvestasikan kembali ke sektor pertanian dan desa. Dengan demikian, redistribusi kekayaan dapat lebih merata dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara luas.

Yanuar Rizky dalam wawancara ini menggarisbawahi pentingnya kebijakan ekonomi yang tidak hanya responsif terhadap dinamika global, tetapi juga berakar pada kebutuhan domestik. Indonesia perlu lebih mandiri secara ekonomi dengan strategi yang mampu menyeimbangkan kepentingan internasional dan lokal. Pemerintah baru diharapkan bisa memanfaatkan peluang ini untuk menciptakan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan.(c@kra)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *