AL-ZAYTUN, Kapal “TITANIC” Yang Tengah Tenggelam

  • Bagikan

Jakarta,MoneyTalk – Pada tahun 1911, Thomas Andrews, menyaksikan maha karyanya sendiri, sebuah kapal laut seberat 52.310 ton, berkapasitas 2.200 orang, diberi nama RMS Titanic, merupakan kapal terbesar dan tercanggih di masanya. Thomas dengan sombong mengatakan, “Tuhan-pun tidak akan sanggup menenggelamkan kapal terbesar buatanku”. Kapal yang dibangun dengan biaya $12 juta itu nyatanya, tenggelam di Samudra Atlantik, menabrak gunung es dalam perjalanan dari Southampton ke NewYork. Kapal Titanic tenggelam oleh kesombongan penciptanya sendiri.

Jika kesombongan Thomas dinyatakan dengan ungkapan, maka kesombongan Panji Gumilang dinyatakan dengan perbuatan; perlakuannya terhadap Islam sangat sembrono, Islam dibuatnya hanya sebagai mainan.

Pesantren Al-Zaytun pimpinan Panji Gumilang itu kini tengah menabrak– “gunung es”–negara; Yayasan Pesantren Indonesia (YPI) pemilik Al-Zaytun itu terbelit kasus hukum, sebentar lagi mungkin akan tenggelam oleh kesombongannya sendiri.

Negara melalui Bareskrim Polri tengah memperkarakan Al-Zaytun dalam kasus TPPU– tindak pidana pencucian uang, penggelapan dan penyimpangan BOS dan zakat ratusan miliar rupiah. Sebanyak 132 rekening atas nama Yayasan sudah diblokir. Kata Kapolri, kami sedang mendalami penyidikan dan penyelidikan secara hati-hati, cermat dan menyeluruh. Semua tuduhan akan dibuktikan di pengadilan. Nasib Al-Zaytun akan ditentukan oleh pengadilan tanpa suap, Jaksa dan hakim yang lurus, dan doa para santri yang didzolimi; tangan-tangan Tuhan kini sedang bekerja.

Panji Gumilang sangat sadar, posisinya terpojok, nama baiknya “terjun bebas” akibat dosa yang dibuatnya selama hampir dua puluh tujuh tahun sejak pesantren berdiri tahun 1996. Ketua YPI itu kini bermanuver mengenakan topeng dan bersilat lidah untuk mendapat dukungan publik.

Mengaku bermazhab Soekarno itu cuma topeng, seakan-akan Islam dianggapnya mainan. Dia kira bisa menutupi borok di wajahnya yang mulai membusuk dan bernanah.

Panji Gumilang berlindung dibalik topengnya bermanis-manis muka dihadapan rezim penguasa saat ini–yang dilihatnya terafiliasi ke Soekarno. Diapun mengaku komunis, bahkan mengundang Ilham Aidit dalam sebuah acara, itupun cuma topeng. Ini berarti, Panji Gumilang sudah menuduh rezim sekarang adalah rezim komunis. Ini seirama dengan suara kalangan militer pro-orde baru.

Bagaimana mungkin Panji Gumilang berkhidmah kepada Soekarno, wong selama ini dia dekat dengan Soeharto? Bagaimana bisa dia menjadi komunis, wong dia menumpuk-numpuk kekayaan pribadinya sampai triliunan? Panji Gumilang sejatinya seorang petualang keuangan,–meminjam istilah John Maynard Keynes–seorang “spiritus animalis”.

Menurut saya, Ilham Aidit tidak mengerti persoalan–seperti ayahnya yang kurang cerdas melihat situasi. Dia tidak sadar sedang diperalat oleh Al-Zaytun. Ilham Aidit seorang anak biologis Aidit, tapi bukan anak ideologis komunis. Dia tidak memahami psiko-sosial umat Islam dan komunis secara baik.

Isu menyatunya rezim Soekarno dan komunis itu sudah konsumsi sehari-hari kalangan militer pro-orba. Panji Gumilang mencoba bersenyawa memasuki rezim sekarang yang–menurutnya–antitesa dengan rezim dulu yang membesarkannya.

Dengan mengatakan Al-Zaytun bermazhab “Soekarno”, maka Panji Gumilang sebenarnya tengah mengolok-olok Tuhan yang menyuruh hormat dan taat kepada para ulama, sebagaimana pesan Al-Quran. Saya bukan bermaksud mengecilkan arti Soekarno dalam berkhidmah bagi ke-Islaman dan kemanusiaan, namun Panji Gumilang telah membandingkan empat Imam mazhab;–Syafei, Hanafi, Maliki, Hambali–setara atau lebih rendah dari Soekarno, itu sama halnya mengolok-olok “sanad” keilmuan dalam Islam, itu sebuah kesombongan yang nyata. Dalam khasanah keilmuan Islam, Bung Karno tidak pernah disebut-sebut sejajar dengan para mufasir sekelas Imam Syafei Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Hambali, Al-Ghazali, Al-Kindi. Bung Karno tidak bisa dikelaskan dengan para Imam tersebut karena berbeda sirkuit pengabdiannya.

Bukan kesesatan, tapi kesombongan Panji Gumilang tengah saya persoalkan, karena menjajarkan Bung Karno dengan para Imam Mazhab sebagai sesama manusia itu menjadi persoalan tersendiri; bahwa dihadapan Allah semua manusia itu sama, seperti menjajarkan semua batu itu sama. Tetapi, tidak melihat bahwa setiap batu punya kadar kepadatan dengan nilai-nilai yang berbeda-beda; mutiara, blue sphire, merah delima, andesit, menhir, batu bara, atau batu koral apakah bernilai sama?

Sesat atau tidaknya seseorang bukan ditentukan oleh manusia, melainkan oleh Tuhan pemilik surga dan neraka, akan tetapi Tuhan telah menurunkan kisi-kisi agar manusia tidak tersesat ke jalan yang salah. Surat Al-fatihah sudah cukup menjelaskan hal itu; ‘ikhdinassirotul mustaqiem’, tunjukanlah jalan yang benar. Berkat kesombongannya tidak mau berma’mum kepada Imam mazhab, maka Panji Gumilang-pun akhirnya tersesat dan menyesatkan.

Keberadaan pesantren terbesar se-Asia Tenggara itu sangat kontroversial, didirikan di atas tanah 1.200 Ha atau 12,00 Km2, Itu hampir separuh luas kota Cirebon yang hanya 3.736 Ha atau 37,36 Km2. Didalam komplek terdapat asrama, masjid, supermarket, apotek, lapangan bola, lapangan basket, voli, badminton, peternakan, pertanian, perkebunan, heliped, bahkan galangan kapal.

Pembebasan tanah dari rakyat, dibeli dengan harga murah, dicicil bertahun-tahun, bahkan ada yang masih terkatung-katung. Ternyata sertifikat tanah atas nama pribadi Panji Gumilang.

Sebagai wujud konspirasi dengan Soeharto–nama “Al-Zaitun” merupakan pasangan masjid “At-Tin” di TMII, Jakarta. Maka, bukan kebetulan “At-Tin dan Al-Zaytun”–adalah comotan surat At-Tin dalam Al-Quran–, maka Al-Zaytun merupakan legacy keluarga Cendana.

Sebagaimana ramalan Gus Dur; Al-Zaytun tengah menggali liang kuburnya sendiri, kini moncong “Kapal Titanic” itu tengah menukik ke bawah. Rekening Banknya ditutup, kampus dan pesantren disegel. Pemerintah mencium bau tak sedap; ajarannya menyimpang dengan akumulasi asset pesantren yang fantastis; yang diperoleh secara tidak wajar.

Perputaran keuangan Pesantren mencapai 16 triliun pertahun, diperoleh dari berbagai macam usaha; pertanian, peternakan, perkebunan, dan para santri yang “dipalak” berupa dua ekor sapi; sebagai biaya pendaftaran dikalikan dalam ratusan ribu santri. Tambah lagi bantuan rutin pertahun dari Kementrian Agama dalam bilangan puluhan miliar rupiah.

Dalam kesempatan wawancara dengan orang tua santri, katanya, bahwa aturan pesantren menetapkan, zakat itu tidak mesti 2,5%, tapi bisa 20%, 30%, 50% atau seluruh hartanya bisa dizakatkan tergantung kesanggupan muzaki. Ini kekonyolan dalam pengelolaan zakat. Presentase zakat ditentukan oleh hawa nafsunya sendiri.

Kesombongan Panji Gumilang yang lain adalah meletakan Al-Zaytun tidak sejalan, bahkan berlawanan dengan mazhab keislaman yang sudah mapan di tanah air; Muhammadiyah, NU, Persis, Al-Wasliyah, Syiah, maupun wahabi. Hal ini sering menimbulkan benturan sosial di masyarakat; Al-Zaytun telah memutus benang merah ajaran orang tua santri di rumah. Dia anggap dirinya selevel dengan KH. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah, KH Hasyim Asy’ari pendiri NU, H. Hasan tokoh Persis? Preeeeet….

Menurut pengakuan alumni Al-Zaytun (lihat wawancara di TV One), para santri dicekoki obat terlarang sejenis narkoba yang dilegalkan–dijual di apotek pesantren– agar tunduk dan patuh kepada aturan pesantren. Dan karena itu, kata para orang tua, anak-anak sangat keras kepala, berkacamata kuda, enggak mau dibilangin.

Menempatkan perempuan di shaf terdepan bersama laki-laki saat shalat berjamaah, seperti shalat berhaji atau umroh melingkar di Masjidil Haram, sebagai dalih mengangkat derajat perempuan, itu ijtihad sembrono. Perempuan berada di shaf belakang adalah ijtihad sahabat Abu Bakar Siddiq, yang rasulullah sendiri membenarkan. Apakah Panji Gumilang sekelas sahabat Abu Bakar, bisa menentukan tatacara shalat? Apalagi shaf yang direnggangkan ke kiri dan kanan untuk menghindari bau keringat? Prikitiw.

Sepertinya adab shalat seperti itu diciptakan Panji Gumilang bukan hanya hawa nafsu dan kesombongannya belaka; akan tetapi, sebuah rancang bangun–secara sadar–supaya terjadi keresahan sosial dan perpecahan dikalangan umat Islam dalam jangka panjang.

Ada yang mengatakan Al-Zaytun bukan kumpulan kaum radikal NII, karena tidak terbukti alumni atau santrinya menjadi teroris. Saya bisa menjawab begini; bahwa Panji Gumilang aktivis NII, KW 9, tidak bisa dibantah. Sementara dokumen intelejen mencatat banyak para mantan aktivis NII bergiat disitu. Lalu, untuk apa mereka dihimpun tapi tidak menggunakan ke-NII-annya? Saya melihat dari teori konspirasi; musuhnya musuh adalah teman, temannya musuh adalah musuh.

Sejak kemerdekaan 1945 sampai saat ini, hubungan kaum nasionalis, –khususnya Bung Karno–dan Islam tidak pernah mulus. Aktifis DI/TII SM Kartosuwiryo, dan Masyumi yang kemudian memberontak pada 1950-an, disikat dan dibubarkan rezim Soekarno. Mereka menjadi “musuh” potensial yang berdiaspora ke berbagai lini; kelompok ini kemudian dikelola oleh rezim–“musuh”–Soeharto, melalui tangan Ali Murtopo. Maka, temannya musuh adalah musuh. Panji Gumilang memahami, bahwa Rezim Jokowi adalah anak ideologis rezim Soekarno.

Peran Panji Gumilang disini menampung para pejuang NII jebolan DI/TII itu,–tentu atas suport pimpinan Orde Baru–untuk dibina dan diberikan lapangan kehidupan, yang suatu saat bisa digerakan. Makanya jangan heran, mantan Kepala BIN, Jenderal Purn. A.M. Hendro Priyono disebut-sebut membekingi Al-Zaytun dalam rangka pembinaan ini. Yang menarik, disebut pula, Ketua KSP, Jenderal Purn. Moeldoko juga ikut nimbrung disitu. Sebuah kombinasi yang menarik, dua perwira orde baru dan “orde lama” bertemu di Al-Zaytun. Apakah mereka bertugas untuk kepentingan negara?

Kurnia P. Kusumah Wakil Ketua PWNU Jawa Barat

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *