Daulat Curigai Kartel Lama Masih Bercokol di Kontrak PIMD dan PPPI
MoneyTalk, Jakarta – Dugaan kuat adanya persekongkolan dalam kontrak antara Pertamina International Marketing and Distribution Pte. Ltd. (PIMD) dan Phoenix Petroleum Philippines, Inc. (PPPI) masih terasa bau amis pemain kartel lama hal ini menjadi perhatian serius Koordinator Daulat Energi, Ridwan Hanafi. Saat ditemui oleh *MoneyTalk* di Jakarta pada Minggu (25/08), Ridwan menyampaikan kekhawatirannya terhadap potensi kerugian besar yang bisa dialami oleh PIMD akibat kontrak tersebut.
“Izin sangat bagus sekali, tetapi orang-orang yang ada di PIMD ini (hanya mengganti baju dari sebelumnya di PETXXL) masih terkait erat dengan kartel lama,” ujar Ridwan.
Ridwan menegaskan bahwa kepemimpinan di PIMD didominasi oleh individu-individu yang memiliki misi tertentu, bukan visi untuk kebaikan perusahaan. Menurutnya, pengambilan keputusan di PIMD tampak sembrono karena tidak adanya jaminan seperti Bank Guarantee (BG) atau Standby Letter of Credit (SBLC) untuk melindungi nilai minyak atau komoditas yang dipasok. “Ini sama saja dengan penyertaan modal tanpa jaminan, dan jelas melanggar prinsip tata kelola perusahaan yang baik,” tegasnya.
Ridwan juga menyebutkan bahwa entitas seperti PIMD, PETXXL (yang kini telah mengganti nama), Patra Niaga, dan Kilang Pertamina Internasional (KPI) adalah lembaga yang sarat dengan arus kas harian dari impor minyak, yang nilainya bisa mencapai lebih dari 800 juta dolar per hari. “Jika ada diskon atau komisi 2 dolar per barel, berarti ada sekitar 2 juta dolar per hari atau sekitar 60 juta dolar per bulan yang mungkin mengalir ke pihak-pihak tertentu,” ungkapnya.
Koordinator Daulat Energi ini kemudian mengkritisi mekanisme penjualan non-tunai dengan skema open account 60 hari tanpa jaminan yang diterapkan PIMD dalam kontraknya dengan PPPI. “Ini menunjukkan bahwa PIMD mengambil risiko besar tanpa ada evaluasi kredit yang memadai, seperti credit scoring atau penetapan credit limit,” tambah Ridwan.
Menurut Ridwan, keputusan untuk menjalankan transaksi tanpa jaminan tersebut sangat berisiko, terutama jika PPPI tidak memenuhi kewajibannya. “Ini adalah bentuk kecerobohan yang bisa berdampak buruk pada kondisi keuangan PIMD,” katanya.
Ridwan juga menyerukan kepada BPK dan BPKP untuk melakukan audit investigasi terkait kontrak PIMD dengan PPPI. Ia juga meminta Kejaksaan Agung dan KPK untuk menyelidiki dugaan konspirasi dalam kontrak tersebut. “PIMD harus bertanggung jawab untuk mengevaluasi pihak-pihak yang terlibat dan melaporkannya kepada penegak hukum,” ujarnya dengan nada geram.
Ridwan mempertanyakan kompetensi PIMD dalam menangani kontrak tersebut. “Bagaimana bisa terjadi kecolongan seperti ini? Apakah PIMD tidak memiliki konsultan atau SDM yang mumpuni untuk menilai risiko sebelum membuat kontrak?” tanya Ridwan dengan penuh keheranan.
Untuk memastikan keberlanjutan kerja sama ini, Ridwan menyarankan agar PIMD menerapkan mekanisme penilaian kredit yang lebih ketat dan syarat pembayaran yang lebih aman di masa depan. Ia juga mengingatkan bahwa PPPI, sebagai pihak yang berutang, bisa saja memperlambat pembayaran karena tidak adanya jaminan, yang pada akhirnya dapat merusak reputasi bisnis mereka di pasar internasional.
“Kerja sama ini sangat berisiko dan penuh aroma konspirasi. Tanpa manajemen risiko yang baik, kontrak ini sangat berpotensi menimbulkan kerugian besar,” tutup Ridwan.
Ridwan Hanafi mencurigai bahwa orang-orang yang saat ini memegang kendali di PIMD masih terkait dengan kartel lama yang sebelumnya beroperasi di perusahaan yang bernama PETXXL. “Mereka hanya berganti baju, tetapi misinya masih sama, yakni tidak memiliki visi untuk memajukan perusahaan,” ujarnya.
Ridwan juga menyoroti keputusan PIMD yang tidak meminta bank garansi (BG) atau standby letter of credit (SBLC) sebagai jaminan dalam kontrak-kontrak besar ini. “Ini sama saja dengan penyertaan modal tanpa jaminan, yang jelas-jelas melanggar prinsip tata kelola perusahaan yang baik,” tegasnya.
Piutang Besar dan Risiko Kredit
PIMD, anak perusahaan PT Pertamina Patra Niaga (PT PPN), memiliki piutang jatuh tempo kepada PPPI sebesar USD 124.534.382,23. Piutang ini terkait dengan pasokan bahan bakar yang diatur melalui delapan kontrak/award sejak tahun 2020. Pada tender pertama yang dilaksanakan pada Juli 2020, syarat pembayaran yang disepakati adalah open account tanpa jaminan, dengan jangka waktu pelunasan selama 30 hari. Pada tender kedua pada Oktober 2020, syarat pembayaran diperpanjang menjadi 60 hari tanpa jaminan.
Ridwan Hanafi mengkritisi mekanisme penjualan non-tunai ini, yang dilakukan tanpa evaluasi kredit yang memadai, seperti credit scoring, credit rating, penetapan credit limit, atau jaminan yang sesuai. “Keputusan untuk menjalankan transaksi tanpa jaminan ini berpotensi merugikan PIMD, terutama jika PPPI tidak memenuhi kewajibannya untuk membayar,” jelasnya.
Pentingnya Evaluasi Risiko Kredit
Ridwan juga menjelaskan perbedaan antara credit scoring dan credit rating, dua konsep penting dalam evaluasi kredit. Menurutnya, credit scoring digunakan untuk menilai kelayakan kredit individu atau entitas kecil, sedangkan credit rating lebih relevan untuk entitas besar seperti perusahaan dan pemerintah.
“Credit scoring umumnya digunakan oleh lembaga keuangan untuk keputusan cepat terkait pinjaman, sementara credit rating digunakan untuk menilai risiko kredit dari obligasi atau instrumen utang lainnya,” tambahnya.
Desakan untuk Audit dan Investigasi
Ridwan Hanafi mendesak agar Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) segera melakukan audit investigasi terkait kontrak antara PIMD dan PPPI. Ia juga meminta Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyelidiki dugaan adanya konspirasi dalam kontrak tersebut.
“PIMD harus bertanggung jawab untuk mengevaluasi pihak-pihak yang terlibat dalam proses kontrak ini dan melaporkannya kepada penegak hukum,” tegas Ridwan.
Menurutnya, keputusan-keputusan yang diambil oleh manajemen PIMD mencerminkan tindakan serampangan yang tidak memperhitungkan risiko jangka panjang. “Bagaimana bisa mereka kecolongan seperti ini? Apakah PIMD tidak memiliki konsultan atau SDM yang mumpuni untuk menilai risiko sebelum menandatangani perjanjian kontrak?” tanyanya dengan penuh keheranan.
Saran Daulat Energi kedepan
Ridwan menekankan pentingnya bagi PIMD untuk menerapkan mekanisme penilaian kredit yang lebih ketat dan syarat pembayaran yang lebih aman di masa depan. “Kerja sama ini berpotensi besar masuk ke ranah perselisihan jika tidak dikelola dengan baik. Ada aroma konspirasi yang kuat, dan tanpa manajemen risiko yang lebih baik, dampaknya bisa sangat merugikan,” pungkasnya.
(c@kra)