Kejari Bojonegoro Kurang cermat Dalam Perkara Pengadaan Mobil Siaga Desa
MoneyTalk, Jakarta – Kasus dugaan Korupsi Proyek pengadaan mobil siaga desa dianggarkan dalam APBD Perubahan Kabupaten Bojonegoro Tahun Anggaran 2022 sebesar Rp 96,5 miliar untuk 386 desa mendapat sorotan khusus Cak Tain selaku ketua Kelompok Diskusi Anti 86 (Kodat86) dijakarta pada (28/08)
Dalam perkara tersebut cak Tain menyampaikan para tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan Mobil Siaga Desa Pemkab Bojonegoro untuk mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Bojonegoro.
Dari penilaian Cak Ta’in jaksa dianggap salah tafsir penerapan pasal-pasal yang digunakan untuk menjerat para tersangka.
“Ada indikasi bahwa jaksa gagal memahami alat bukti dan pasal-pasal dalam pemberantasan korupsi, atau bahkan mungkin sengaja ingin mengorbankan pihak-pihak yang lemah untuk kepentingan tertentu. Semua tersangka yang ditetapkan berasal dari unsur di luar pemerintahan, sementara UU Tipikor itu pada dasarnya ditujukan kepada penyelenggara negara,” ujar Cak Ta’in.
Menurut Cak Ta’in, untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka, penyidik harus memiliki dua alat bukti awal yang kuat.
Selain itu cak Tain dalam Penerapan pasal-pasal juga harus tepat dan saling berkaitan, agar penegakan hukum benar-benar efektif.
Ia menekankan bahwa tidak ada tindak pidana korupsi di sektor swasta, melainkan yang ada adalah penggelapan.
“Sebagai langkah awal, sebaiknya para tersangka menguji hukum melalui praperadilan. Hal ini penting untuk menilai apakah dua alat bukti yang dijadikan dasar penetapan tersangka benar-benar sah dan kuat, atau hanya dianggap sebagai alat bukti”, ungkap Cak Tain
“Daripada menunggu proses pembuktian di persidangan Tipikor yang memakan waktu lama, sementara para tersangka sudah ditahan,” imbuhnya.
Lebih lanjut, mantan jurnalis, dosen, dan staf ahli pimpinan DPRD ini menjelaskan bahwa praperadilan digunakan untuk membuktikan apakah alat bukti yang digunakan penyidik sudah memenuhi syarat.
Termasuk dalam hal ini, mempertanyakan asal-usul kerugian negara yang disebutkan sebesar Rp 1 miliar di PT SBT dan Rp 4,2 miliar di PT UMC. “Bagaimana mungkin ada kerugian negara melekat pada perusahaan swasta?
Apakah ini hasil audit BPKP atau hanya asumsi penyidik? Praperadilan adalah cara untuk membuktikannya,” tambahnya.
Seharusnya, lanjut Cak Ta’in, penyidik memulai kajian hukum dari proses penganggaran proyek pengadaan mobil siaga tersebut. Pertama, apakah penganggarannya sudah benar? Kedua, apakah ada pelanggaran prosedural yang merugikan keuangan negara? Audit formal oleh BPKP perlu dilakukan untuk memastikan ada atau tidaknya kerugian negara serta pelanggaran prosedural.
Proyek pengadaan mobil siaga desa dianggarkan dalam APBD Perubahan TA 2022 sebesar Rp 96,5 miliar untuk 386 desa. Anggaran ini langsung diserahkan kepada para kepala desa sebesar Rp 250 juta per desa untuk pengadaan kendaraan. Mereka kemudian bekerja sama dengan dealer mobil untuk pengadaan kendaraan jenis Wuling Confero dan Suzuki APV Arena melalui PT SBT (68 unit) dan PT UMC (288 unit).
Cak Tain menyampaikan Fakta dilapangan bahwa harga mobil tersebut bervariasi, Wuling Confero berkisar Rp 180 juta-an dan Suzuki APV Arena sekitar Rp 218 juta.
Sedangkan Anggaran yang diberikan Pemkab Bojonegoro berlebih, sehingga para kepala desa mengembalikan sisa anggaran tersebut ke kas daerah.
Dari harga mobil yang ditetapkan oleh dealer, setiap kepala desa juga menerima cashback karena adanya diskon, dengan nilai sekitar Rp 15-20 juta.
Di sinilah dugaan tindak pidana korupsi mulai mencuat pada pertengahan tahun 2023. Dana cashback ini dipertanyakan.
apakah boleh diambil oleh para kepala desa atau tidak? Apakah tindakan tersebut termasuk suap, gratifikasi, atau bukan? Dalam pemerintahan yang baik, dana cashback semestinya diserahkan kepada kas daerah karena kepala desa, sebagai penyelenggara negara, tidak boleh menerima hadiah atau gratifikasi terkait tugas dan jabatannya.
Selama proses penyelidikan dan penyidikan, para kepala desa mengembalikan uang cashback tersebut kepada penyidik Kejari Bojonegoro. Berdasarkan keterangan Kasi Pidsus, Aditya Suleman, total pengembalian uang cashback mencapai sekitar Rp 4 miliar.
Namun, Kejari Bojonegoro telah menetapkan lima orang tersangka, yakni Ida (sales Suzuki dealer Surabaya), Ivi (brand manager PT SBT), IK (brand manager PT UMC Bojonegoro), HS (ASN dari Pemkab Magetan), dan AW (Kepala Desa Wotan, Kecamatan Sumberrejo, Bojonegoro).
Kelimanya langsung ditahan setelah ditetapkan sebagai tersangka; Ida dan Ivi sejak 15 Agustus, HS dan IK sejak 19 Agustus, serta AW pada 20 Agustus. Kelima tersangka berasal dari luar unsur penyelenggara negara.
“Menurut saya, jika dalam seminggu ke depan penyidik belum menetapkan tersangka dari unsur penyelenggara negara, sebaiknya para tersangka mengajukan praperadilan”, terang cak Tain.
Hal ini dipertanyakan cak Tain, apa yang menjadi dasar mereka ditetapkan sebagai tersangka? Jika mereka menang, proses hukum berhenti sampai di situ, jika kalah, masih bisa dibuktikan di pengadilan Tipikor Surabaya.
Apalagi pasal yang digunakan adalah Pasal 2, 3, 5, dan 11 UU Tipikor, tanpa unsur penyelenggara negara, pasal tersebut dapat dengan mudah dipatahkan,” Tutup Cak Ta’in. (c@kra)