Pilkada Jakarta 2024 : Pertarungan Antara Majapahit dengan Pajajaran
MoneyTalk,Jakarta – Pemilihan Gubernur Jakarta 2024 menjadi ajang pertarungan yang tak hanya sekadar kontestasi politik, melainkan juga simbolis. Dalam konteks budaya dan sejarah Nusantara, Pilkada Jakarta kali ini bisa dilihat sebagai pertarungan antara Pramono Anung, yang melambangkan simbol Majapahit, dan Ridwan Kamil, yang merepresentasikan simbol Pajajaran. Pertarungan ini membawa pesan-pesan historis yang mendalam, mengingatkan kita pada masa kejayaan dua kerajaan besar di tanah Jawa, Majapahit dan Pajajaran.
Pramono Anung, dengan latar belakang politiknya yang panjang dan kedekatannya dengan lingkar kekuasaan, dianggap sebagai figur yang memiliki pengaruh kuat dalam politik nasional. Majapahit, sebagai kerajaan yang pernah menguasai Nusantara, dikenal dengan kekuatan politik dan pengaruh budayanya yang besar. Pramono Anung, yang berasal dari partai penguasa, PDI Perjuangan, dengan rekam jejaknya yang panjang, dianggap sebagai penerus tradisi kekuasaan yang terorganisir dan stabil.
Majapahit juga dikenal dengan kemampuannya dalam mempersatukan wilayah-wilayah di Nusantara. Dalam konteks ini, Pramono Anung melambangkan upaya untuk menjaga kesatuan dan kestabilan politik di Jakarta, sebuah kota yang sering kali menjadi pusat konflik politik dan sosial. Dia dianggap sebagai simbol kekuatan sentral yang berusaha mempertahankan tatanan yang sudah ada, sama seperti bagaimana Majapahit dulu mempertahankan hegemoni politiknya.
Di sisi lain, Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat yang kini mencalonkan diri sebagai Gubernur Jakarta, merepresentasikan simbol Pajajaran. Pajajaran adalah kerajaan yang dikenal dengan budaya Sunda dan kedekatannya dengan alam serta masyarakat. Ridwan Kamil, yang selama ini dikenal sebagai pemimpin yang merakyat dan inovatif, dianggap sebagai simbol dari kekuatan yang lebih organik, dekat dengan masyarakat, dan mengedepankan kearifan lokal.
Pajajaran, dengan pusat kekuasaannya di wilayah yang kini menjadi bagian dari Jawa Barat, memiliki hubungan sejarah yang kuat dengan Jakarta, khususnya Sunda Kelapa. Ridwan Kamil, dengan latar belakang arsitek dan pemimpin yang pro-rakyat, mencerminkan semangat inovasi dan kedekatan dengan budaya lokal yang pernah dimiliki Pajajaran. Kehadirannya dalam Pilkada Jakarta dianggap sebagai tantangan terhadap hegemoni kekuasaan sentral, menawarkan alternatif kepemimpinan yang lebih segar dan kreatif.
Pertarungan antara Pramono Anung dan Ridwan Kamil dalam Pilkada Jakarta 2024 ini lebih dari sekadar kompetisi politik biasa. Ini adalah pertarungan simbolik antara kekuatan sentralisasi dan desentralisasi, antara tradisi politik yang mapan dengan inovasi yang merakyat. Pramono Anung mewakili kekuatan Majapahit, yang berusaha mempertahankan pengaruh dan kekuasaan yang sudah ada, sementara Ridwan Kamil mewakili semangat Pajajaran yang ingin membawa perubahan dan keberlanjutan yang lebih dekat dengan kebutuhan rakyat.
Jakarta, sebagai ibu kota negara, memang sering kali menjadi panggung utama pertarungan politik nasional. Namun, kali ini, pertarungan tersebut juga membawa nuansa historis yang kaya, mengingatkan kita pada masa lalu yang penuh dengan dinamika politik dan sosial.
Dalam konteks ini, Pilkada Jakarta 2024 bukan hanya soal siapa yang akan memimpin ibu kota, tetapi juga tentang bagaimana kita memahami dan meresapi kembali sejarah dan budaya kita. Apakah Jakarta akan terus berada di bawah pengaruh kekuatan sentral yang mapan, ataukah akan memberikan ruang bagi inovasi dan kepemimpinan yang lebih dekat dengan masyarakat? Jawaban dari pertanyaan ini akan menentukan arah masa depan Jakarta dan, pada akhirnya, masa depan Indonesia.
Penulis : Mus Gaber,Ketua Padepokan Hukum Indonesia
Views: 0