Kontrak PT PIMD : Dugaan Korupsi atau Kelalaian dalam Pengambilan Keputusan
MoneyTalk, Jakarta – Ridwan Hanafi, Koordinator Daulat Energi, mengungkapkan pandangannya terkait sengketa hukum yang melibatkan PT Pertamina International Marketing Distribution (PIMD) dalam perjanjian dagang internasional. Saat ditemui oleh MoneyTalk.id pada Kamis (05/09), ia menyoroti beberapa implikasi hukum yang muncul dalam sengketa tersebut, terutama dugaan korupsi atau kelalaian manajerial dalam pengambilan keputusan oleh Direksi PIMD.
Hanafi menjelaskan bahwa PIMD, sebagai anak perusahaan PT Pertamina (Persero), telah terlibat dalam berbagai kontrak dagang dengan perusahaan internasional, seperti Phoenix Petroleum Corporation. Kasus ini mencapai puncaknya ketika Phoenix gagal membayar utang dagang kepada PIMD senilai USD 142 juta, sehingga PIMD membawa kasus ini ke arbitrase di Singapore International Arbitration Centre (SIAC).
“Kontrak bisnis internasional seperti yang dilakukan PIMD memiliki konsekuensi hukum yang sangat serius. Setiap pihak memiliki kewajiban dan hak yang jelas, dan jika terjadi wanprestasi, pihak yang dirugikan berhak menuntut melalui jalur hukum, seperti yang dilakukan PIMD,” ujar Hanafi.
Ia menambahkan, mekanisme arbitrase internasional memang kerap digunakan untuk menyelesaikan sengketa bisnis, terutama dalam transaksi lintas negara. Arbitrase memberikan kecepatan, kerahasiaan, serta kepastian hukum yang lebih dibanding pengadilan umum. Namun, proses arbitrase yang ditempuh selama lebih dari 19 bulan juga memakan biaya besar dan menyita waktu.
Hanafi menekankan bahwa kewajiban pembayaran utang oleh Phoenix sudah menjadi bagian dari kontrak awal. “Phoenix telah melanggar kontrak atau wanprestasi dengan tidak membayar utang mereka tepat waktu. Arbitrase SIAC mewajibkan mereka untuk membayar USD 142 juta kepada PIMD. Jika mereka tidak patuh, PIMD bisa mengambil langkah hukum lebih lanjut untuk eksekusi putusan di Filipina, tempat Phoenix beroperasi, sesuai Konvensi New York 1958,” paparnya.
Namun, yang menjadi sorotan utama, menurut Hanafi, adalah tanggung jawab manajemen PIMD, khususnya Direksi, dalam pengelolaan risiko. “Penting bagi publik untuk mengetahui apakah Direksi PIMD telah melakukan uji kelayakan yang memadai sebelum bekerja sama dengan Phoenix. Jika ada kelalaian dalam proses ini, maka Direksi dapat dianggap melakukan pelanggaran manajerial yang serius,” jelasnya.
Lebih lanjut, Hanafi mengungkapkan kekhawatirannya terkait kemungkinan adanya indikasi **korupsi atau kelalaian dalam pengambilan keputusan** di balik transaksi ini. Mengingat PIMD adalah bagian dari PT Pertamina (Persero), sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), setiap kerugian yang dialami PIMD dapat berdampak langsung pada keuangan negara. Ia merujuk pada temuan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan (IHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang menyebut kerugian negara mencapai Rp1,3 triliun akibat kerja sama PIMD dengan Phoenix.
“Jika ada dugaan korupsi, maka kasus ini bisa melibatkan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Pertanggungjawaban hukum atas keputusan-keputusan yang dibuat oleh Direksi PIMD, termasuk dalam hal pengelolaan risiko dan verifikasi mitra bisnis, harus menjadi perhatian utama,” kata Hanafi.
Menutup pembicaraan, Hanafi menyatakan pentingnya PIMD untuk mengambil langkah hukum yang tegas jika Phoenix dan Udena Corporation tidak mematuhi putusan arbitrase. Selain itu, investigasi lebih lanjut diperlukan untuk memastikan apakah ada pelanggaran hukum dalam pengelolaan kontrak dagang internasional ini. Jika terbukti, langkah hukum terhadap direksi PIMD bisa diambil, termasuk jika ada unsur tindak pidana korupsi yang merugikan negara.
“Kontrak bisnis internasional memang selalu memiliki risiko. Tetapi, jika manajemen yang baik diterapkan, risiko-risiko ini bisa diminimalisir. Jika ada kelalaian, maka tentu ada pertanggungjawaban yang harus dihadapi,” tutupnya.
Kasus ini terus menarik perhatian publik, terutama dengan besarnya nilai yang terlibat dan potensi dampak terhadap keuangan negara serta kredibilitas PT Pertamina di kancah internasional.(c@kra)