Benny K Harman Kritik Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial
MoneyTalk, Jakarta – Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Benny K Harman, melontarkan kritik keras terhadap Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY) terkait beberapa keputusan hukum yang dianggap kontroversial dan menimbulkan kegaduhan di masyarakat, Pada Kamis (05/09) saat Rapat Komisi III di Komplek DPR Senayan.
Salah satu sorotan Benny adalah terkait keputusan Mahkamah Agung mengenai batas usia calon gubernur (cagub) dan calon wakil gubernur (cawagub), yang menetapkan bahwa mereka harus berusia minimal 30 tahun saat dilantik. Benny menilai bahwa keputusan ini justru menjadi bumerang bagi DPR dan masyarakat, terutama karena tidak melibatkan kajian mendalam terkait dampaknya.
Selain itu, Benny juga mengkritisi putusan Mahkamah Konstitusi yang membahas batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Menurut Benny, putusan tersebut menyebabkan kegaduhan di masyarakat karena dianggap tidak berpihak pada kepentingan publik. Ia menyoroti bahwa lembaga-lembaga ini seharusnya menjaga independensi dan tidak menjadi subordinasi kekuasaan eksekutif.
Dalam pandangan Benny, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial tidak boleh diposisikan sebagai lembaga yang melaksanakan tugas eksekutif. Ia menyebut bahwa lembaga-lembaga tersebut memiliki kewenangan yang diberikan langsung oleh konstitusi, dan oleh karena itu, tidak seharusnya tunduk pada kehendak kekuasaan eksekutif. “Lembaga yang Bapak Ibu pimpin tidak boleh menjadi bagian dari eksekutif, karena mereka memiliki kewenangan yang diberikan oleh konstitusi secara langsung,” tegas Benny.
Ia juga menyoroti bahwa dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran, lembaga-lembaga ini seharusnya memiliki otonomi yang kuat. Menurutnya, keputusan-keputusan lembaga hukum, seperti MK dan MA, selama ini seringkali hanya menjadi ‘tukang stempel’ kebijakan pemerintah, yang bertentangan dengan semangat independensi lembaga-lembaga hukum di negara ini.
Benny menambahkan, dampak dari putusan yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat ini akan merugikan DPR dan masyarakat luas. Ia mengungkapkan kekhawatirannya terhadap keputusan yang dibuat MK dan MA terkait batas usia pejabat publik, yang menurutnya bisa menjadi preseden buruk.
“Mahkamah Konstitusi menerima, mengadili, dan menafsirkan soal usia tanpa memikirkan dampak yang lebih luas. Ketika membahas usia 30 tahun untuk cagub dan cawagub, tidak ada kajian mendalam. Bagaimana jika nanti ada aktor lain, seperti perwira polisi atau mahasiswa, yang terkena imbasnya?” kata Benny, mempertanyakan keputusan yang dianggap tidak konsisten.
Lebih lanjut, Benny juga mengkritik pendekatan “Open Legal Policy” yang diterapkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusan. Menurutnya, pendekatan ini terlalu fleksibel dan cenderung “suka-suka” dalam penafsiran hukum. “MK ini kalau ada yang mau tantang, silakan. Mereka suka-suka menafsirkan undang-undang tanpa memikirkan dampaknya,” ujar Benny.
Menurut Benny, lembaga-lembaga hukum harus menjaga integritas dan profesionalisme, serta menghindari menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan eksekutif. Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung seharusnya berperan sebagai pengawal konstitusi dan hukum yang independen, bukan hanya melaksanakan program pemerintah atau menjadi tukang stempel kebijakan penguasa.
Selain itu, Benny juga menyoroti proses seleksi calon hakim agung yang menurutnya kurang transparan dan tidak didasarkan pada integritas yang kuat. Ia mempertanyakan apakah panitia seleksi memiliki kapasitas untuk menjalankan tugasnya dengan baik, mengingat banyaknya calon yang dinilai tidak layak dalam proses tersebut.
Benny berharap agar lembaga-lembaga hukum dapat memperbaiki diri dan menjalankan fungsi serta tugas mereka sesuai dengan konstitusi, tanpa tunduk pada tekanan atau pengaruh eksekutif. Menurutnya, independensi lembaga hukum adalah salah satu pilar utama dalam menjaga demokrasi dan keadilan di Indonesia.(c@kra)