Angka Penerimaan Negara Ternyata Minim

  • Bagikan

MoneyTalk, Jakarta – Salamuddin Daeng melalui Tulisannya yang diterima MoneyTalk.id pada Selasa (10/09), Daeng memaparkan fakta yang mengejutkan terkait pertumbuhan penerimaan negara Indonesia selama 12 tahun terakhir. Meskipun dalam rupiah terlihat meningkat drastis, kenyataannya, dalam hitungan dolar AS, peningkatan tersebut sangat minim. Hal ini mencerminkan ironi dari pengelolaan ekonomi Indonesia yang terlihat megah di permukaan, namun tidak sebanding dengan hasil riil dalam mata uang global.

Di atas kertas, penerimaan negara Indonesia antara tahun 2012 hingga 2024 tampak luar biasa. Pada 2012, penerimaan negara tercatat sebesar Rp 1.300 triliun, dan pada 2024 mencapai Rp 2.800 triliun. Kenaikan sebesar Rp 1.500 triliun atau rata-rata Rp 125 triliun per tahun tentu terlihat impresif. Bagi awam, angka ini menggambarkan betapa hebatnya pemerintah Indonesia, terutama Kementerian Keuangan, dalam mengelola dan meningkatkan pendapatan negara.

Sumber daya alam Indonesia telah dikeruk habis-habisan demi mengejar pendapatan yang lebih tinggi. Pajak dipungut secara intensif dan ekstensif. Sumber-sumber kekayaan alam seperti hutan, gunung, laut, dan tanah telah diberikan dalam bentuk konsesi kepada investor. Mineral, minyak, gas, sawit, batubara, dan berbagai komoditas lainnya diekspor secara besar-besaran demi mengejar devisa, royalti, serta pajak. Semua ini dilakukan dengan harapan memperbesar penerimaan negara dan mengisi pundi-pundi APBN.

Namun, kenyataan berbicara lain. Meski di atas kertas penerimaan negara naik drastis dalam mata uang rupiah, hal yang sama tidak terjadi jika dihitung dalam dolar AS. Penerimaan negara pada 2012 tercatat sebesar 164 miliar dolar AS, dan pada 2024 hanya naik menjadi 175 miliar dolar AS. Artinya, dalam 12 tahun, penerimaan negara hanya naik sebesar 11 miliar dolar AS—atau kurang dari 1 miliar dolar AS per tahun. Ini jelas sebuah pencapaian yang sangat kecil jika dibandingkan dengan upaya yang dilakukan pemerintah dalam menguras sumber daya alam.

Salamuddin Daeng mempertanyakan bagaimana tambahan kurang dari 1 miliar dolar AS per tahun bisa memenuhi kebutuhan negara sebesar Indonesia. Dengan luas wilayah yang terbentang dari Sabang hingga Merauke, serta jumlah penduduk yang mencapai lebih dari 270 juta jiwa, tambahan sebesar itu terlihat sangat kecil. “Apa yang bisa dibeli dengan uang segitu untuk negara seluas ini?” tanyanya.

Indonesia, yang dikenal sebagai negara dengan kekayaan alam melimpah, tampaknya tidak mampu mengoptimalkan sumber daya tersebut untuk meningkatkan pendapatan dalam valuta asing. Peningkatan pendapatan dalam rupiah terlihat signifikan, namun karena nilai tukar yang fluktuatif, kenaikan dalam dolar AS tidak mencerminkan usaha yang telah dikerahkan.

Salamuddin Daeng mengutip pernyataan Jeffrey Winters, seorang ekonom yang menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini hanya dinikmati oleh segelintir oligarki. Ini adalah fenomena yang sering terjadi di negara berkembang, di mana pertumbuhan GDP tidak selalu diiringi dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara luas.

Pertumbuhan ekonomi memang ada, namun sebagian besar hanya menguntungkan para elit, sedangkan rakyat banyak hanya merasakan dampak minimal dari kemajuan tersebut.

Lebih lanjut, Daeng menyebutkan bahwa rasio pendapatan negara terhadap GDP justru mengalami penurunan tajam selama tiga dekade terakhir. “Rasio pendapatan negara terhadap GDP melorot seperti terguling dari puncak Gunung Rinjani hingga ke laut,” ungkapnya dengan gamblang.

Ini berarti, meskipun ekonomi Indonesia terus tumbuh, pendapatan negara tidak sejalan dengan pertumbuhan tersebut. Hal ini mempertegas bahwa distribusi manfaat dari pertumbuhan ekonomi ini tidak merata.

Dengan pertumbuhan penerimaan negara yang sangat minimal, Daeng mempertanyakan bagaimana sisa hasil tersebut bisa dibagikan kepada rakyat Indonesia. Jika dibagikan dalam bentuk rupiah, rakyat mungkin masih mendapat “butiran pasir”. Namun, jika dihitung dalam dolar, setiap orang hanya akan menerima debu atau bahkan asap dari hasil kekayaan alam yang telah diekspor.

“Kita ekspor besar-besaran, namun apa yang kembali kepada rakyat? Hanya debu dan asap,” tegas Daeng.

Di akhir tulisannya, Daeng mengungkapkan harapannya agar ke depannya ada perbaikan dalam pengelolaan kekayaan negara. Indonesia kaya dengan sumber daya alam dan hasil bumi. Negara ini memiliki potensi yang sangat besar di sektor pangan, rempah-rempah, peternakan, serta hasil laut. Semua ini bisa menjadi kunci untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia secara nyata.

Salamuddin Daeng menutup dengan optimisme. Dia berharap, dengan sumber daya alam yang melimpah, Indonesia masih memiliki peluang untuk memperbaiki keadaan ekonomi dan sosial. “Negara kita kaya. Banyak pangan, banyak tanaman rempah, hewan ternak, susu, telur, dan madu.

Semua itu bisa dibagikan kepada rakyat sehingga mereka bisa menjadi bangsa yang kuat, dengan otot kawat tulang besi,” tutupnya.

Dengan pengelolaan yang lebih baik, kekayaan alam Indonesia bisa dimanfaatkan untuk kepentingan seluruh rakyat, bukan hanya segelintir elit. Daeng berharap, ke depan rakyat Indonesia akan lebih kuat dalam berpikir, bekerja, dan berbagi. Aamin.

Hal ini memberikan gambaran yang jelas tentang ironi di balik pertumbuhan penerimaan negara Indonesia dalam 12 tahun terakhir. Meskipun secara nominal terlihat besar, pertumbuhan riil dalam mata uang dolar AS sangat kecil dan tidak memadai untuk negara sebesar Indonesia.

Salamuddin Daeng mengajak kita untuk merenung dan memikirkan kembali bagaimana seharusnya kekayaan alam Indonesia dikelola demi kesejahteraan bersama.(c@kra)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *