Pejabat Sudah Tidak Takut Lagi Korupsi
MoneyTalk, Jakarta – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Alexander Marwata, mengeluarkan pernyataan yang mengejutkan dalam sebuah acara di kawasan Bogor, Jawa Barat pada (12/09)
Dalam pernyataannya, Marwata mengungkapkan keprihatinannya terhadap kondisi pemberantasan korupsi di Indonesia. Ia menyatakan bahwa pejabat sudah tidak takut lagi melakukan korupsi karena sanksi yang diberikan terlalu rendah dan tidak menimbulkan efek jera.
Pernyataan Alexander Marwata ini kemudian diperkuat oleh narasi Rudi, seorang pengamat politik dan hukum yang mengomentari masalah ini dengan keras. Ia menyebutkan bahwa korupsi telah menjadi “budaya” di kalangan pejabat, terutama karena sistem hukum yang lemah dan tidak memberikan hukuman yang sepadan sebagaimana dalam tayangan Anak Bangsa TV yang disiarkan pada Senin (16/09).
Rudi dalam penjelasannya menyebutkan bahwa selama ini hukuman untuk para koruptor sangat rendah. “Koruptor di Indonesia itu kalau terbukti bersalah, hukumannya hanya 3 sampai 4 tahun penjara, dan itu pun tanpa ada perampasan aset,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa seharusnya ada program pemiskinan bagi para koruptor agar mereka benar-benar merasakan akibat dari tindak pidana yang dilakukan.
Masalah lainnya, menurut Rudi, adalah kegagalan pemerintah dan DPR dalam mengesahkan undang-undang yang bisa memberikan efek jera bagi para koruptor. “Undang-undang perampasan aset dan pemiskinan koruptor itu sampai sekarang belum pernah disetujui. Kenapa? Karena mereka takut undang-undang itu menjadi bumerang bagi mereka sendiri,” ujar Rudi dengan tajam.
Selain hukuman yang rendah, Alexander Marwata juga menyoroti stagnannya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia. Menurut data yang disampaikan, selama periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi, IPK Indonesia sempat naik, namun kemudian turun lagi di periode kedua. “Pada awal pemerintahan Pak SBY, indeks korupsi kita sempat naik dari 20 menjadi 34. Di periode pertama Jokowi, indeks itu naik lagi menjadi 40, tetapi kemudian turun kembali menjadi 34 di periode kedua ini,” jelas Rudi.
Hal ini menunjukkan bahwa upaya pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini tidak mengalami kemajuan signifikan. “Kita seperti jalan di tempat. Tidak ada perubahan berarti dalam pemberantasan korupsi,” kata Rudi.
Salah satu poin penting yang disoroti Rudi adalah absennya kebijakan yang efektif untuk memiskinkan koruptor dan merampas aset-aset hasil korupsi. “Pemerintah sering berbicara soal undang-undang perampasan aset, tetapi itu hanya basa-basi saja. Nyatanya undang-undang itu tidak pernah diprioritaskan,” tegasnya.
Undang-undang di Indonesia memungkinkan adanya pengurangan hukuman bagi koruptor melalui remisi atau pemotongan masa tahanan, terutama pada momen-momen tertentu seperti hari kemerdekaan. Rudi menilai, praktik ini semakin memperparah kondisi pemberantasan korupsi di Indonesia. “Mereka dihukum hanya sebentar, dapat remisi, dan setelah keluar dari penjara, mereka masih kaya raya. Tidak ada efek jera sama sekali,” paparnya.
Rudi mengusulkan agar Indonesia meniru langkah-langkah keras yang diambil oleh negara-negara seperti Tiongkok, yang memberikan hukuman mati bagi koruptor. Namun, ia menyadari bahwa penerapan hukuman mati mungkin sulit dilakukan di Indonesia. Sebagai gantinya, ia mengusulkan agar pemerintah mempertimbangkan sanksi sosial yang lebih berat bagi para koruptor.
“Sanksi sosial itu penting. Misalnya, setelah keluar dari penjara, koruptor tidak boleh memiliki paspor, tidak boleh menggunakan layanan BPJS, dan tidak boleh mengemudikan kendaraan selama beberapa tahun. Ini semua akan menambah efek jera bagi mereka,” jelas Rudi.
Menurut Rudi, pemerintah dan DPR harus segera mempercepat pembahasan dan pengesahan undang-undang perampasan aset dan pemiskinan koruptor. Selain itu, ia juga mendesak agar sanksi sosial yang lebih berat diterapkan untuk membuat para pejabat takut melakukan korupsi.
Dalam wawancara tersebut, Rudi juga menyinggung bahwa Indonesia saat ini menjadi “surga” bagi para koruptor. “Negara kita ini seakan-akan memberi ruang bebas bagi koruptor. Tidak ada rasa takut karena hukuman terlalu ringan, bahkan di penjara pun mereka mendapatkan fasilitas mewah,” katanya.
Kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi, termasuk hakim agung, semakin memperkuat persepsi bahwa Indonesia belum memiliki mekanisme yang efektif dalam memberantas korupsi. “Jika lembaga peradilan kita juga korup, bagaimana mungkin kita bisa mendapatkan keadilan?” tanyanya.
Apa yang diungkapkan oleh Alexander Marwata dan dikuatkan oleh Rudi merupakan cerminan dari kondisi nyata pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini. Meskipun KPK dan lembaga-lembaga lain telah berusaha keras, kelemahan dalam sistem hukum, kurangnya undang-undang yang tegas, serta minimnya sanksi sosial membuat para pejabat masih berani melakukan korupsi.
Indonesia harus segera mengambil langkah tegas untuk memperbaiki kondisi ini, dimulai dari penguatan hukum dan penerapan sanksi yang lebih berat, baik dalam bentuk hukuman penjara maupun sanksi sosial yang dapat memberikan efek jera yang nyata. Sebab tanpa tindakan yang tegas, korupsi akan terus merajalela, dan Indonesia akan terus dipandang sebagai negara dengan tingkat korupsi yang tinggi di mata dunia internasional.(c@kra)