M. Qodari: Sekjen Hasto Cs Sok Ideologis, Ternyata Gak Juga! Permintaannya Banyak ke Prabowo!
MoneyTalk, Jakarta – Dalam wawancara eksklusif di DC News Indonesia yang ditayangkan pada Minggu (29/09), pengamat politik M. Qodari memberikan pandangannya tentang dinamika politik menjelang pemilihan presiden 2024, khususnya terkait hubungan antara PDI Perjuangan dan Prabowo Subianto. Qodari mengungkapkan bahwa meskipun PDI Perjuangan, terutama di bawah kepemimpinan Hasto Kristiyanto, kerap menunjukkan sikap yang tampak ideologis, nyatanya mereka juga memiliki kepentingan politis yang kuat dalam lobi-lobi kekuasaan.
Dalam wawancara tersebut, Qodari menekankan adanya dua kubu di PDI Perjuangan: kubu kooperatif yang dipimpin oleh Puan Maharani, dan kubu nonkooperatif yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri dan para sekutunya, termasuk Sekjen Hasto Kristiyanto dan tokoh-tokoh seperti Adian Napitupulu dan Dedi Sitorus.
Kubu kooperatif, menurut Qodari, lebih realistis dalam pendekatannya. Mereka berupaya menjembatani komunikasi dengan koalisi Prabowo-Jokowi, dengan harapan tetap dapat menjaga posisi politik, seperti kepemimpinan Puan Maharani di DPR. Di sisi lain, kubu nonkooperatif menunjukkan sikap lebih agresif dan konfrontatif, namun faktanya juga terlibat dalam negosiasi dengan syarat-syarat yang dinilai sulit dipenuhi oleh kubu Prabowo.
Qodari menjelaskan bahwa Megawati belum menunjukkan tanda-tanda untuk mendukung Prabowo atau bergabung dengan pemerintahannya. Hal ini terlihat dari susunan kabinet PDI Perjuangan yang cenderung tidak kooperatif. Salah satu contoh yang ia soroti adalah pembagian jabatan pemenangan pemilu antara legislasi dan eksekutif. Dedi Sitorus, yang memimpin pemenangan eksekutif, dianggap sebagai sosok yang dekat dengan kubu nonkooperatif di PDIP.
Menurut Qodari, meskipun PDIP seringkali memposisikan diri sebagai partai yang berpegang teguh pada ideologi, kubu nonkooperatif ternyata memiliki agenda tersembunyi yang lebih bersifat politis. Kubu ini pun aktif dalam negosiasi dengan syarat-syarat yang, menurut Qodari, terlampau banyak dan sulit dipenuhi. Salah satu contoh yang ia singgung adalah tuntutan yang terlalu besar terkait pembagian kekuasaan di kabinet, yang pada akhirnya mempersulit proses negosiasi dengan Prabowo.
Qodari juga menyoroti posisi Prabowo dan koalisinya, yang saat ini sudah sangat kuat tanpa perlu tambahan dukungan dari PDI Perjuangan. Dengan lebih dari 80% kursi di DPR sudah berada di koalisi, Qodari menegaskan bahwa Prabowo tidak memiliki urgensi untuk memasukkan PDI Perjuangan ke dalam pemerintahan. Bahkan, ia berpendapat bahwa lebih baik jika PDI Perjuangan tetap berada di luar pemerintahan untuk menjaga keseimbangan demokrasi.
Selain itu, ia juga menekankan bahwa meskipun ada kubu kooperatif di PDI Perjuangan yang berharap dapat bergabung dengan pemerintah Prabowo, syarat-syarat yang diajukan oleh kubu nonkooperatif membuat situasi semakin rumit. Term and condition dari kubu nonkooperatif dianggap terlalu besar dan sulit untuk dipenuhi, sehingga memperkecil peluang rekonsiliasi antara PDI Perjuangan dan Prabowo.
Qodari secara tegas menyatakan bahwa meskipun Hasto dan kubunya terlihat sok ideologis, kenyataannya mereka juga bermain taktis dalam politik. Negosiasi yang dilancarkan kubu nonkooperatif, yang seolah-olah mempertahankan prinsip-prinsip ideologis, ternyata tidak lepas dari kepentingan politis dan kekuasaan.
Dengan demikian, wawancara ini membuka mata publik bahwa politik tidak selalu tentang ideologi semata, melainkan juga tentang kompromi dan kepentingan. Permainan politik PDI Perjuangan, terutama kubu nonkooperatif, membuktikan bahwa mereka tidak sepenuhnya ideologis seperti yang mereka klaim, tetapi juga pragmatis dalam mengejar kepentingan kekuasaan.(c@kra)