MoneyTalk, Jakarta – Ekonom Awalil Rizky dalam kanal YouTube-nya tayang pada Rabu (16/10) menyoroti kekhawatiran terhadap ketahanan cadangan devisa Indonesia, khususnya dalam menghadapi potensi goncangan eksternal. Menurut Awalil, data terbaru dari Bank Indonesia yang dirilis pada 7 Oktober menunjukkan bahwa posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir September 2024 adalah sebesar 149,9 miliar dolar AS.
Ia menyatakan bahwa meskipun jumlah tersebut dinilai “tinggi” oleh Bank Indonesia, kondisinya sebenarnya tidak sepenuhnya mencukupi untuk menghadapi skenario yang mungkin lebih ekstrem di masa mendatang.
Cadangan devisa adalah alat pembayaran luar negeri yang dipegang oleh Bank Indonesia dalam bentuk mata uang asing, emas moneter, dan beberapa instrumen lainnya. Fungsi utamanya adalah untuk mendukung stabilitas ekonomi, terutama dalam pembiayaan impor dan pembayaran utang luar negeri. Bank Indonesia menyebut bahwa cadangan devisa per akhir September 2024 mencukupi untuk menutupi 6,6 bulan kebutuhan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.
Pendekatan ini menurut Awalil hanya mempertimbangkan skenario stabil. Apabila terjadi goncangan, seperti krisis ekonomi atau ketegangan geopolitik, ketahanan cadangan devisa saat ini bisa jadi tidak mencukupi. Hal ini berkaitan dengan kebutuhan devisa yang bisa melonjak di luar proyeksi, terutama apabila ada penurunan tajam nilai tukar rupiah atau lonjakan biaya impor pangan.
Awalil menjelaskan bahwa ketergantungan Indonesia pada impor, terutama untuk kebutuhan pangan, adalah salah satu faktor kritis.
“Penduduk Indonesia harus makan,” katanya, menyoroti bahwa ketergantungan ini mengharuskan Indonesia memiliki cadangan devisa yang kuat untuk menjamin pasokan pangan, terutama ketika kondisi global tidak stabil.
Saat ini, terdapat kekhawatiran bahwa meningkatnya ketegangan geopolitik dapat mempengaruhi perdagangan global, sehingga berdampak pada biaya impor pangan yang lebih tinggi bagi Indonesia. Jika cadangan devisa tidak cukup kuat, Indonesia bisa menghadapi risiko ketidakmampuan membiayai impor, yang dapat menyebabkan inflasi pangan dan memengaruhi ketahanan pangan nasional.
Dibandingkan dengan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kinerja cadangan devisa di era Presiden Jokowi dinilai mengalami peningkatan yang jauh lebih lambat. Dari 2004 hingga 2014, cadangan devisa Indonesia meningkat tiga kali lipat di era SBY. Sebaliknya, selama 10 tahun pemerintahan Jokowi, peningkatannya hanya sekitar 35%.
Peningkatan yang lebih rendah ini mencerminkan kinerja transaksi internasional yang lebih lemah, yang berdampak pada rendahnya tambahan cadangan devisa tiap tahunnya. Selain itu, Bank Indonesia pada tahun 2021 mendapat tambahan devisa sebesar 6,2 miliar dolar dari IMF sebagai bagian dari distribusi hak penarikan khusus (Special Drawing Rights/SDR). Ini menambah cadangan devisa Indonesia, tetapi juga mencatatkan kewajiban terhadap IMF.
Awalil mengingatkan bahwa dalam kondisi krisis, rakyat kecil dan sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) menjadi penopang ketahanan ekonomi Indonesia. Di era krisis 1997-1998, sektor ini masih relatif kuat karena belum terlalu terhubung dengan pasar global. Namun, di era saat ini, sektor UMKM dan pertanian lebih terintegrasi dengan pasar global, yang meningkatkan risiko terhadap goncangan eksternal.
Awalil menekankan bahwa pemerintah perlu memperhatikan daya tahan ekonomi rakyat, yang mayoritas terdiri dari petani dan pelaku UMKM. Jika terjadi guncangan ekonomi besar, mereka yang akan paling terdampak. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan membuat kebijakan yang mampu melindungi mereka dari dampak krisis yang mungkin terjadi.
Kondisi cadangan devisa yang dinilai tidak mencukupi ini menuntut pemerintah untuk mengambil langkah-langkah preventif guna menghadapi kemungkinan goncangan eksternal. Pemerintah perlu memastikan bahwa cadangan devisa dapat mengatasi berbagai kebutuhan, tidak hanya untuk impor dan utang pemerintah, tetapi juga untuk mendukung stabilitas moneter.
Selain itu, pemerintah perlu menjalin hubungan yang lebih baik dengan pemilik modal besar di Indonesia. Menurut Awalil, banyak orang kaya di Indonesia yang lebih memilih menyimpan dananya di luar negeri. Dengan kebijakan fiskal yang tepat dan kredibilitas pemerintah yang lebih baik, mungkin saja sebagian dari dana ini dapat kembali ke Indonesia untuk memperkuat ketahanan devisa nasional.
Pandangan Awalil Rizky menekankan bahwa cadangan devisa Indonesia saat ini, meskipun tampak mencukupi untuk skenario normal, mungkin tidak mampu menghadapi krisis yang lebih serius. Peningkatan ketergantungan pada impor pangan, rendahnya pertumbuhan cadangan devisa, serta potensi krisis eksternal menjadi ancaman yang perlu diwaspadai. Dalam konteks ini, pemerintah diharapkan dapat merumuskan kebijakan yang lebih proaktif untuk melindungi sektor ekonomi rakyat dan memperkuat ketahanan devisa nasional.(c@kra)