Jimly: Budaya Kritik Kita Masih Kampungan

  • Bagikan
Jimly: Budaya Kritik Kita Masih Kampungan
Jimly: Budaya Kritik Kita Masih Kampungan

MoneyTalk, Jakarta – Prof. Jimly Asshiddiqie adalah salah satu tokoh penting dalam dunia hukum dan konstitusi di Indonesia. Melalui DC News Indonesia pada Jumat (18/10), ia menyoroti perilaku kritik di media sosial dan dunia nyata yang sering kali masih bersifat “kampungan”.

Salah satu hal yang disoroti Jimly adalah cara beberapa pihak menyikapi kritik dengan emosi berlebihan, yang menurutnya perlu diluruskan demi menjaga tatanan demokrasi yang sehat.

Dalam diskusi yang hangat tersebut, Prof. Jimly mengkritik fenomena pembubaran diskusi yang belakangan terjadi, yang ia sebut sebagai bentuk premanisme.

“Kalau ada pembubaran diskusi seperti yang terjadi belakangan ini, itu adalah tindakan premanisme. Kita tidak boleh membiarkan hal semacam itu, apalagi kalau terjadi di dalam ruangan yang seharusnya menjadi tempat bebas berekspresi,” ujarnya.

Menurut Jimly, kebebasan berekspresi dan berpendapat adalah salah satu pilar penting dalam demokrasi, namun cara-cara premanisme yang membatasi kebebasan ini harus dihentikan.

Selain menyoroti pembubaran diskusi, Prof. Jimly juga menekankan bahwa budaya kritik di Indonesia, terutama di media sosial, sering kali tidak membedakan antara menyerang ide dan menyerang pribadi.

“Budaya kritik di kita ini masih kampungan, kasar, menyerang pribadi orang, bukan ide-idenya. Apalagi kalau di media sosial, banyak akun anonim yang tanpa pertanggungjawaban dengan mudahnya menyerang secara kasar,” tambahnya.

Fenomena ini menurutnya perlu diperbaiki. Kebebasan berpendapat yang dimiliki oleh setiap warga negara, termasuk di platform digital, harus diimbangi dengan sikap bertanggung jawab dan beradab. Jimly menekankan pentingnya membedakan kritik terhadap institusi dengan kritik terhadap individu.

“Kita harus bisa memisahkan mana masalah institusi dan mana masalah pribadi,” tegasnya.

Prof. Jimly juga menyentuh soal Mahfud MD yang menurutnya masih menunjukkan tanda-tanda belum bisa “move on” dari berbagai peristiwa politik yang melibatkan diri dan koalisinya. Kritik ini muncul di tengah diskusi mengenai bagaimana sejumlah figur politik seharusnya lebih fokus pada hal-hal besar yang berpengaruh terhadap bangsa, bukan pada hal-hal kecil atau personal yang dapat memecah belah.

“Mahfud sepertinya belum bisa move on. Masih marah-marah terhadap situasi yang ada, padahal kita seharusnya sudah melewati itu,” kata Jimly.

Ungkapan ini mengacu pada komentar Mahfud yang sering kali mengarah pada kritik personal terhadap sejumlah pihak.

Jimly juga mengangkat kembali keputusan penting yang dibuat saat dirinya menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), yaitu mengubah penghinaan terhadap presiden dari delik biasa menjadi delik aduan. Ini adalah salah satu putusan bersejarah yang mengubah cara negara menanggapi kritik terhadap presiden.

“Penghinaan terhadap presiden itu tetap dilarang, tapi sekarang bukan lagi delik biasa yang bisa diinterpretasikan oleh polisi, melainkan delik aduan. Jadi, jika presiden merasa terhina, ia harus mengadu sendiri,” jelas Jimly.

Putusan ini dibuat untuk mencegah “chilling effect” atau efek menakutkan yang bisa timbul jika petugas di lapangan secara berlebihan menafsirkan penghinaan terhadap presiden. Dengan demikian, ruang demokrasi tetap terjaga, dan kebebasan berpendapat tidak dipersempit oleh tindakan represif.

Jimly memberikan contoh ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Ibu Ani Yudhoyono mengajukan aduan terkait penghinaan yang mereka terima. Mereka mengadu secara langsung tanpa menggunakan kekuatan negara untuk langsung menangkap pengkritik mereka. Ini menurut Jimly adalah cara yang sehat dalam menjaga ruang demokrasi di Indonesia.

“Ini akan mengajarkan kita, bahwa ada perbedaan antara delik aduan dan delik biasa. Presiden yang akan datang pun harus mulai memahami hal ini dan tidak perlu terlalu memedulikan kritik-kritik yang muncul,” tambahnya.

Jimly menegaskan bahwa budaya kritik yang beradab adalah salah satu tantangan besar yang harus dihadapi oleh bangsa ini. Kritik yang baik adalah kritik yang menyerang ide, bukan pribadi.

“Jika kita sebagai pejabat harus memiliki ‘kuping tebal’ untuk menerima kritik, maka sebagai kritikus, mulut kita juga harus beradab,” ujar Jimly.

Ia menegaskan pentingnya memisahkan perasaan pribadi dari institusi, karena institusi negara seperti presiden tidak memiliki perasaan, yang memiliki perasaan adalah individu yang menduduki jabatan tersebut.

Jimly mengajak semua pihak untuk berpikir ke depan dan memfokuskan perhatian pada tantangan besar yang akan dihadapi oleh bangsa ini. Persoalan besar memerlukan kerja sama dan kerukunan antara para pemimpin, bukan sekadar mengurusi hal-hal kecil yang tidak substansial.

“Narasi kita ke depan harus lebih besar, apalagi dengan tantangan yang sangat kompleks. Elite politik harus bisa rukun dan tidak mengurusi hal-hal remeh temeh,” tegasnya.

Dalam pandangan Jimly, rekayasa budaya demokrasi yang lebih maju harus segera dilakukan. Salah satunya adalah dengan memberikan lebih banyak ruang bagi kritik dan perdebatan yang sehat, tanpa harus takut akan pembubaran atau intimidasi. Menurutnya, membiarkan ruang publik untuk diisi oleh suara-suara kritis adalah cara yang lebih baik daripada mencoba membungkam mereka.

Peristiwa ini mencerminkan pandangan Jimly bahwa budaya politik di Indonesia harus terus berkembang ke arah yang lebih beradab. Baik pejabat negara maupun para pengkritik, keduanya memiliki tanggung jawab untuk menjaga etika dalam berkomunikasi dan mengkritik, serta memisahkan antara kritik terhadap individu dan institusi.(c@kra)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *