MoneyTalk, Jakarta – Baru-baru ini pidato Presiden Prabowo Subianto mengenai kondisi ekonomi dan kemiskinan di Indonesia menjadi sorotan luas. Dalam pidato yang terkesan filosofis dan penuh dengan kritik tajam terhadap kebijakan ekonomi sebelumnya, Prabowo menekankan bahwa Indonesia, meskipun kerap dipuji sebagai salah satu kekuatan ekonomi global, masih menghadapi masalah serius seperti kemiskinan yang tinggi.
Pidato ini, yang disebut banyak pihak sebagai “spektakuler,” menggugah karena ia tidak hanya menyoroti pertumbuhan makroekonomi, tetapi juga mengajak untuk lebih fokus pada kesejahteraan rakyat secara riil.
Prabowo dengan tegas menyatakan bahwa statistik makroekonomi seperti Produk Domestik Bruto (PDB), atau peringkat ekonomi dunia, tidak boleh menjadi satu-satunya ukuran keberhasilan. Ia mengingatkan agar bangsa ini tidak berpuas diri dengan angka-angka tersebut, tetapi melihat kondisi sebenarnya di lapangan, terutama mengenai kemiskinan dan ketimpangan yang masih terjadi.
Pendekatan ini mendapat apresiasi dari berbagai pihak, termasuk ekonom dan pakar kebijakan publik, Achmad Nur Hidayat, MPP, dari UPN Veteran Jakarta. Melalui keterangannya kepada MoneyTalk pada Selasa (21/10), ia menilai, pandangan Prabowo ini relevan dengan realitas ekonomi Indonesia.
Indonesia memang berhasil mencatat pertumbuhan ekonomi yang stabil dalam beberapa tahun terakhir, namun masalah kemiskinan dan ketimpangan pendapatan tetap menjadi tantangan besar. Meskipun negara ini sering masuk dalam jajaran 20 besar ekonomi dunia, masih banyak rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan, terutama di pedesaan dan kawasan terpencil.
Namun, di balik retorika yang menggugah ini, terdapat sebuah ironi besar. Meski Prabowo memberikan kritik tajam terhadap kebijakan ekonomi konvensional yang dianggap gagal mengatasi kemiskinan, langkah-langkah yang ia ambil dalam pemerintahannya menunjukkan inkonsistensi yang mencolok. Hal ini terlihat dari komposisi tim ekonomi di kabinetnya, yang diisi oleh tokoh-tokoh lama yang masih memegang erat paradigma ekonomi tradisional. Mazhab ekonomi yang mereka pegang telah lama dianggap gagal untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan merata.
Kontradiksi ini semakin jelas ketika Prabowo menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 8%, sebuah angka yang ambisius, namun terlihat tidak realistis mengingat teknokrat yang ia pilih adalah mereka yang tidak mampu mendorong pertumbuhan ekonomi di atas 5% selama satu dekade terakhir. Ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai bagaimana Prabowo bisa mencapai target ambisius tersebut tanpa adanya perubahan signifikan dalam pendekatan kebijakan ekonomi.
Salah satu kritik terbesar terhadap paradigma ekonomi yang dianut oleh teknokrat di Indonesia adalah fokus berlebihan pada pertumbuhan PDB. Meskipun PDB adalah indikator penting, ia tidak mencerminkan distribusi pendapatan, akses terhadap layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan, maupun tingkat pengangguran. Banyak negara yang memiliki PDB tinggi, namun tetap menghadapi ketimpangan ekonomi yang parah. Mengukur keberhasilan ekonomi hanya melalui PDB sangatlah menyesatkan.
Prabowo dalam pidatonya tampaknya menyadari hal ini, namun langkah-langkah yang diambilnya justru tidak mencerminkan kesadaran tersebut. Teknokrat yang ia pilih untuk menangani ekonomi masih berpegang pada paradigma lama, yang hanya berfokus pada angka pertumbuhan tanpa memperhatikan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh.
Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 8%, dibutuhkan reformasi struktural yang mendalam. Prabowo harus berani melepaskan diri dari paradigma lama dan memulai revolusi kebijakan yang lebih inklusif dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Tanpa adanya perubahan paradigma, target ambisius tersebut akan sulit dicapai. Reformasi ini tidak hanya harus terjadi pada kebijakan makroekonomi, tetapi juga harus mencakup reformasi sektor-sektor strategis seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
Selain itu, di era digitalisasi dan globalisasi seperti saat ini, pertumbuhan ekonomi yang tinggi hanya bisa dicapai jika suatu negara mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Teknologi, inovasi, dan transformasi digital dapat menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Namun, jika Prabowo tetap bergantung pada teknokrat lama yang lebih fokus pada sektor tradisional seperti manufaktur dan agrikultur tanpa mengintegrasikan teknologi modern, maka Indonesia akan kesulitan bersaing di kancah global.
Di satu sisi, Prabowo telah menunjukkan keberaniannya untuk berbicara tentang masalah mendasar dalam perekonomian Indonesia, namun di sisi lain, tindakannya sejauh ini tidak mencerminkan keberanian yang sama untuk mengambil langkah-langkah yang lebih radikal dan konsisten. Jika ia ingin mencapai target pertumbuhan ekonomi 8%, maka reformasi besar-besaran dalam kebijakan ekonomi sangat diperlukan.
Masyarakat Indonesia membutuhkan kepemimpinan yang berani melakukan perubahan struktural, bukan hanya retorika yang spektakuler. Pidato Prabowo, meskipun menggugah, akan kehilangan relevansinya jika tidak diiringi dengan tindakan nyata yang konsisten. Indonesia tidak hanya butuh pertumbuhan, tetapi juga pemerataan kesejahteraan agar seluruh rakyat bisa menikmati hasil dari kemajuan ekonomi.
Pada akhirnya, masa depan ekonomi Indonesia berada di tangan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintahan Prabowo. Jika ia tetap konsisten dengan kritik yang disampaikannya, dan benar-benar melakukan reformasi mendalam, maka target ambisius tersebut mungkin dapat tercapai. Namun, jika tidak, pidatonya akan tetap menjadi sebuah janji yang spektakuler namun hampa aksi nyata.(c@kra)