MoneyTalk, Jakarta – Pada pelantikan Presiden terpilih Prabowo Subianto pada 20 Oktober 2024, banyak pihak memuji pidatonya yang dinilai penuh semangat dan otentik. Menurut Prof. Hamdi Muluk, guru besar psikologi politik Universitas Indonesia, dalam acara Rosi kompas TV (24/10) banyak orang merindukan gaya retorika yang membangkitkan semangat tersebut.
Pidato Prabowo tidak hanya mendapatkan sorotan karena kata-katanya, tetapi juga karena tema sentral yang diangkatnya: kebocoran anggaran. Dalam ulasan ini, kita akan menjelajahi makna di balik pidato tersebut, serta tantangan yang dihadapi pemerintah baru dalam menangani masalah kebocoran anggaran dan korupsi di Indonesia.
Retorika yang Menggugah
Sejak kampanye politiknya dimulai pada 2014, Prabowo Subianto konsisten menyoroti masalah kebocoran anggaran. Dalam pidatonya, ia menekankan pentingnya mengatasi korupsi, yang selama ini menjadi sorotan masyarakat.
“Kita harus akui pidato itu dirindukan banyak orang karena retorika yang sangat menggelora dan membangkitkan semangat,” ungkap Hamdi Muluk, menggarisbawahi pentingnya gaya komunikasi Prabowo yang dapat menginspirasi rakyat.
Kata “kebocoran anggaran” menjadi istilah yang sering muncul dalam pidatonya, menandakan bahwa masalah ini adalah fokus utama dari pemerintahan yang akan datang. Hal ini juga mencerminkan harapan masyarakat terhadap perubahan yang nyata dalam hal transparansi dan akuntabilitas anggaran negara.
Masalah Kronis
Seiring dengan pidato tersebut, Prabowo menyampaikan bahwa meskipun ada pencapaian statistik yang menggembirakan, kenyataannya masih banyak rakyat yang hidup dalam kemiskinan.
“Jangan bangga pada statistik, tetapi lihatlah kenyataan bahwa masih banyak rakyat kita yang kelaparan,” ujarnya.
Pernyataan ini mencerminkan realitas pahit yang dihadapi oleh masyarakat, di mana kesenjangan sosial dan ekonomi masih sangat nyata.
Prof. Muluk menekankan bahwa selama dua periode kepemimpinan Jokowi, masalah korupsi dan kebocoran anggaran tidak menunjukkan kemajuan yang signifikan.
“Indeks korupsi kita tidak pernah membaik,” ungkapnya, menyoroti bahwa tantangan ini harus dihadapi secara serius oleh pemerintahan baru.
Paradoks Indonesia
Dalam pidatonya, Prabowo juga merujuk pada bukunya, “The Paradox of Indonesia,” yang menggambarkan bagaimana kekayaan yang melimpah tidak merata, hanya dinikmati oleh segelintir orang. Fenomena ini, menurutnya merupakan hasil dari praktik KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme) yang menyebabkan ketidakadilan sosial. Hal ini berimplikasi pada kemiskinan dan ketimpangan yang semakin melebar.
Pidato tersebut memberikan gambaran yang sangat jelas tentang tantangan yang dihadapi bangsa ini. Masyarakat mengharapkan perubahan, tetapi mereka juga ingin mendengar pemimpin mereka berbicara dengan tulus tentang tantangan yang ada.
Gaya Kepemimpinan yang Berbeda
Prabowo Subianto menawarkan gaya kepemimpinan yang berbeda dari pendahulunya. Ia tidak hanya menekankan pada tindakan konkret dan hasil kerja, tetapi juga pada gaya retorika yang membangkitkan semangat.
“Rakyat Indonesia merindukan pemimpin yang dapat menggelorakan semangat,” tambah Prof. Muluk.
Dalam konteks ini, Prabowo menggambarkan demokrasi yang seharusnya tidak hanya dilihat dari angka-angka statistik, tetapi dari dampak nyata terhadap kesejahteraan rakyat.
Dalam pidatonya, Prabowo menegaskan bahwa demokrasi harus mengarah pada kesejahteraan.
“Buat apa kita berdemokrasi jika output-nya rendah dan tidak berdampak pada masyarakat?” tegasnya.
Ini menunjukkan bahwa meskipun ia menghargai demokrasi, fokus utamanya adalah pada hasil yang dapat dirasakan oleh rakyat.
Meskipun pidato Prabowo sangat menggugah, tantangan terbesar yang dihadapi pemerintahannya adalah mengimplementasikan janji-janji tersebut menjadi kenyataan. Kebocoran anggaran dan korupsi yang telah mengakar menjadi tugas berat yang memerlukan strategi dan kebijakan yang jelas.
Prabowo harus bisa mengubah gaya retorikanya menjadi tindakan nyata. Ia perlu membuktikan bahwa kata-katanya bukan hanya sekadar janji kampanye, tetapi komitmen untuk menciptakan Indonesia yang lebih baik. Ini adalah tantangan bagi semua elemen pemerintahan, termasuk lembaga hukum dan masyarakat sipil, untuk berkolaborasi dalam menciptakan transparansi dan akuntabilitas.
Pidato Prabowo Subianto pada saat pelantikan mencerminkan kerinduan masyarakat akan kepemimpinan yang menginspirasi dan retorika yang menggugah semangat. Namun, tantangan nyata yang menanti adalah bagaimana mewujudkan perubahan tersebut dalam bentuk kebijakan yang konkret untuk mengatasi kebocoran anggaran dan korupsi. Hanya waktu yang akan menjawab apakah retorika yang menggelora ini dapat diikuti dengan aksi nyata untuk kesejahteraan rakyat.(c@kra)