MoneyTalk, Jakarta – Dalam wawancara di kanal YouTube Politica Research and C pada 25 Oktober 2024, Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, Guru Besar IPB, menyoroti tantangan berat yang dihadapi Indonesia dalam menghindari jebakan “Middle Income Trap”. Ia menilai bahwa situasi ini kian diperparah oleh beberapa faktor, terutama tingginya utang BUMN yang nyaris menyamai utang pemerintah. Hal ini menimbulkan ancaman krisis fiskal yang serius bagi presiden baru, Prabowo Subianto, karena banyak proyek besar malah jatuh ke tangan investor politik, menciptakan siklus yang menahan Indonesia untuk mencapai “Indonesia Emas 2045”.
Krisis Fiskal yang Mengancam
Prof. Didin menjelaskan bahwa jumlah utang BUMN saat ini hampir sama besarnya dengan utang pemerintah, dan jika digabungkan, total utang telah mencapai sekitar 80% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Dengan beban fiskal yang berat ini, ruang gerak pemerintah semakin terbatas. Meskipun proyek infrastruktur besar terus dilakukan, banyak yang berujung pada kesulitan keuangan bagi BUMN terkait. Hal ini terlihat dari beberapa BUMN yang harus menerima penyertaan modal negara akibat kesulitan keuangan.
Tantangan bagi Pemerintahan Baru
Di bawah kepemimpinan Prabowo, ada harapan akan kebijakan yang lebih berani dan otentik. Prof. Didin mengapresiasi gaya Prabowo yang tegas dan kritik dirinya terhadap kondisi bangsa, terutama soal kemiskinan dan ketimpangan. Namun, untuk menghadapi jebakan middle income trap, Prof. Didin menyebutkan ada beberapa hal yang harus dihadapi Prabowo dengan berani, termasuk reformasi dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.
Salah satu yang krusial adalah mengembalikan KPK ke fungsi awalnya sebagai lembaga independen, sehingga tidak menjadi alat untuk kepentingan politik tertentu. Di era Jokowi, KPK dinilai berada di bawah pengaruh presiden, yang menimbulkan kekhawatiran tentang potensi penyalahgunaan wewenang.
Mewujudkan Kemandirian Pangan dan Energi
Prabowo juga memiliki visi besar untuk mencapai kemandirian pangan dan energi. Namun, Prof. Didin mengingatkan bahwa swasembada pangan hanya bisa terwujud jika pendekatan pembangunan berorientasi pada rakyat. Mengandalkan korporasi besar sebagai pelaksana swasembada justru akan menjauhkan manfaat bagi petani kecil. Oleh karena itu, pendekatan Soeharto yang mengandalkan petani kecil dengan skema pendampingan teknis bisa dijadikan model untuk memberdayakan rakyat.
Selain pangan, kemandirian energi juga menjadi prioritas. Namun, berbagai hambatan, termasuk dominasi oligarki bisnis yang mendapat keuntungan besar dari energi berbasis ekstraksi, menyulitkan upaya pengembangan energi terbarukan. Kebijakan ini membutuhkan keberanian presiden untuk melawan kepentingan besar demi mencapai kemandirian energi yang berkelanjutan.
Kabinet Gemuk yang Mengkhawatirkan
Kabinet yang gemuk juga menjadi sorotan Prof. Didin. Menurutnya, kabinet yang berjumlah besar ini bisa membebani anggaran negara, mengingat besarnya anggaran yang dibutuhkan untuk menggaji menteri, wakil menteri, dan pejabat setingkat lainnya. Meskipun Prabowo menunjukkan komitmen dalam pidato pertamanya, Prof. Didin berpendapat, efektivitas kabinet harus dievaluasi dalam jangka waktu 3-6 bulan. Jika kabinet yang gemuk ini tidak mendukung implementasi program yang telah direncanakan, maka akan sulit bagi pemerintah untuk mencapai hasil yang signifikan.
Krisis Utang dan Deindustrialisasi
Krisis fiskal yang berlanjut juga diperparah oleh kondisi deindustrialisasi yang dialami Indonesia. Menurut Prof. Didin, kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB terus menurun sejak era Orde Baru, yang berdampak pada menurunnya potensi devisa dari ekspor industri. Tingginya utang yang diambil untuk pembangunan infrastruktur di era pemerintahan sebelumnya justru tidak diimbangi dengan peningkatan sektor industri yang kuat untuk mendukung ekspor. Akibatnya, Indonesia tidak mampu meningkatkan pendapatan devisa untuk membayar utang pokok dan bunga yang kini mencapai sekitar Rp1.000 triliun per tahun.
Tantangan Besar Menuju Indonesia Emas 2045
Dalam pandangan Prof. Didin, untuk mencapai target “Indonesia Emas 2045”, pemerintah perlu keluar dari jebakan middle income trap dengan merombak kebijakan yang berorientasi pada kepentingan rakyat banyak dan bukan hanya segelintir oligarki. Reformasi kebijakan yang tegas dan konsisten diperlukan untuk mewujudkan kemandirian ekonomi dan mengurangi ketergantungan pada utang.
Dengan beban fiskal yang kian berat dan tantangan sosial-ekonomi yang kompleks, pemerintahan Prabowo menghadapi tantangan besar untuk mencapai visi Indonesia Emas. Perlu keberanian, kepemimpinan yang kuat, dan kebijakan yang berorientasi pada rakyat agar Indonesia tidak terus terjebak dalam siklus utang dan ketergantungan yang membatasi kemajuan bangsa.(c@kra)