Dual Mandat dan Dampak Kebijakan Suku Bunga pada Kesenjangan Ekonomi

  • Bagikan
Dual Mandat dan Dampak Kebijakan Suku Bunga pada Kesenjangan Ekonomi
Dual Mandat dan Dampak Kebijakan Suku Bunga pada Kesenjangan Ekonomi

MoneyTalk, Jakarta – Dalam sebuah diskusi ekonomi yang ditayangkan di kanal YouTube Awalil Ruzky pada Sabtu, 26 Oktober 2024, ekonom Yanuar Rizky menyampaikan pandangan kritis terhadap kebijakan suku bunga tinggi dan dampaknya terhadap kesenjangan ekonomi. Melalui pernyataannya, Yanuar mengungkapkan bahwa kompensasi suku bunga yang diberikan bank sentral lebih banyak dinikmati oleh kalangan kaya, sementara kelompok yang lebih membutuhkan dukungan keuangan justru tersisihkan. Transkripsi diskusi ini disediakan oleh TurboScribe.ai, mengupas pandangan ekonom tersebut mengenai implikasi kebijakan moneter yang menurutnya tidak seimbang dalam mendukung perekonomian.

Suku Bunga Tinggi dan Kesenjangan Ekonomi

Yanuar mengungkapkan keprihatinannya terkait efek suku bunga tinggi yang diterapkan oleh bank sentral, yang lebih banyak memberi keuntungan kepada kelompok kaya. Ia menjelaskan bahwa kebijakan suku bunga yang diterapkan oleh bank sentral pada dasarnya tidak pernah mengarah kepada redistribusi pendapatan. Justru, kebijakan ini memberi imbalan lebih besar kepada investor atau pemodal yang sudah berada di posisi mapan.

Di sisi lain, para pekerja atau masyarakat yang berada di golongan ekonomi bawah tidak memperoleh manfaat langsung dari kebijakan tersebut. Hal ini mengakibatkan ketimpangan ekonomi semakin dalam.

“Dengan memberikan kompensasi suku bunga tinggi ini, yang menikmatinya adalah orang kaya,” ujar Yanuar.

Pendapat ini selaras dengan pandangan Jeremy Powell, Ketua Federal Reserve AS, yang menurut Yanuar mengakui bahwa manfaat dari kenaikan suku bunga cenderung dinikmati oleh kelompok pemodal besar yang memiliki akses lebih besar terhadap pasar keuangan.

Dual Mandat, Inflasi dan Pekerjaan

Salah satu isu mendasar yang diangkat Yanuar adalah konsep dual mandat yang berlaku di bank sentral Amerika Serikat dan negara-negara maju lain. Dual mandat ini mengharuskan bank sentral tidak hanya menjaga inflasi tetap terkendali, tetapi juga berupaya menciptakan lapangan pekerjaan. Menurut Yanuar, AS dan sekutunya, seperti Jepang dan negara-negara di Eropa, secara konsisten menjaga keseimbangan antara tingkat inflasi dan lapangan pekerjaan untuk menghindari lonjakan pengangguran. Dual mandat ini memungkinkan kebijakan moneter lebih inklusif dan berdampak lebih luas terhadap masyarakat.

Namun, Yanuar menyoroti bahwa di Indonesia, bank sentral masih terfokus pada pengendalian inflasi semata, tanpa adanya mandat khusus untuk menjaga keseimbangan dalam penyerapan tenaga kerja. Akibatnya, kebijakan moneter yang dijalankan sering kali memicu ketidakseimbangan ekonomi dan tidak banyak membantu sektor riil dalam menciptakan lapangan kerja baru.

Kritik Terhadap Kebijakan Suku Bunga Indonesia

Yanuar kemudian membahas sejarah instrumen kebijakan moneter di Indonesia, khususnya penggunaan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) pada era 1990-an hingga 2000-an awal. Instrumen ini awalnya bertujuan untuk menyerap likuiditas yang berlebih di pasar, sehingga membantu mengendalikan inflasi. Namun, pada kenyataannya, SBI menjadi sarana investasi yang menguntungkan bagi kalangan kaya, sehingga tidak efektif dalam mendorong sektor riil.

Menurut Yanuar, pada saat Indonesia mengalami krisis moneter tahun 1998, SBI bahkan mencapai tingkat suku bunga hingga 19 persen. Kondisi ini memicu hiperinflasi yang justru berdampak negatif bagi perekonomian. Di era yang lebih modern, peran SBI sebagai instrumen investasi telah diambil alih oleh instrumen lain seperti Surat Utang Negara (SUN), namun esensinya tetap sama: lebih menguntungkan kalangan atas.

Pergeseran ke Kebijakan yang Stabil, BI 7 Days Repo Rate

Yanuar menjelaskan bahwa Bank Indonesia (BI) menggantikan SBI dengan BI 7 Days Repo Rate sebagai instrumen pengendalian moneter sejak tahun 2016. Instrumen ini menggunakan surat utang negara sebagai underlying, yang menunjukkan Indonesia telah memasuki era kebijakan monetaris yang bergantung pada pasar uang. Langkah ini bertujuan untuk menjaga stabilitas, tetapi Yanuar menganggap bahwa pendekatan ini justru memperkuat kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin.

Dalam pandangan Yanuar, suku bunga yang tinggi dan kebijakan moneter yang fokus pada instrumen pasar uang membuat volatilitas pasar keuangan Indonesia tinggi. Kondisi ini, pada gilirannya, meningkatkan tingkat kupon obligasi negara untuk menarik investor, sehingga pemerintah terpaksa membayar bunga yang tinggi untuk mempertahankan stabilitas pasar. Namun, stabilitas ini diperoleh dengan risiko peningkatan utang dan beban fiskal negara.

Pentingnya Dual Mandat untuk Kesejahteraan Ekonomi yang Merata

Yanuar mengakhiri pendapatnya dengan menekankan pentingnya penerapan dual mandat di Indonesia, seperti yang diterapkan oleh negara-negara maju. Ia berpendapat bahwa kebijakan ini akan memungkinkan bank sentral untuk lebih memperhatikan sektor riil dan menciptakan lapangan kerja, bukan hanya menjaga stabilitas harga. Selain itu, dual mandat dapat menjadi sarana untuk mereduksi ketimpangan dan memberikan manfaat yang lebih luas bagi masyarakat, tidak hanya bagi kalangan atas yang memiliki akses terhadap pasar keuangan.

Yanuar menyoroti pentingnya kesadaran bahwa kebijakan suku bunga tinggi saat ini lebih banyak menguntungkan kelompok kaya. Ia mengajak para pemangku kebijakan untuk mempertimbangkan pendekatan yang lebih inklusif, yang dapat mendorong pertumbuhan sektor riil dan mendukung masyarakat luas. Menurutnya, dengan pendekatan ini, kebijakan moneter Indonesia dapat lebih sejalan dengan upaya mewujudkan kesejahteraan ekonomi yang lebih merata.

Mengkritisi Kebijakan Moneter Demi Keadilan Ekonomi

Paparan Yanuar Rizky dalam acara ini membuka perspektif baru tentang kebijakan suku bunga dan dampaknya terhadap ekonomi. Menurutnya, fokus kebijakan moneter yang terlalu berat pada stabilitas harga dan instrumen pasar uang menciptakan ketimpangan yang semakin dalam. Yanuar menyarankan adopsi dual mandat sebagai upaya untuk menciptakan keseimbangan yang lebih baik antara stabilitas inflasi dan lapangan kerja. Dengan demikian, kebijakan moneter diharapkan dapat mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.(c@kra)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *