MoneyTalk, Jakarta – Dalam wawancara yang menarik di kanal YouTube Renald Kasali, Tito Sulistyo, anggota Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), mengungkapkan pandangannya tentang potensi Indonesia menjadi welfare state, terutama dalam konteks kesejahteraan sosial, anggaran negara, dan tantangan pembangunan ekonomi. Tito memaparkan berbagai tantangan yang dihadapi Indonesia untuk mencapai kesejahteraan yang merata, mulai dari reformasi sosial, tata kelola anggaran, hingga pengaruh dominasi asing dalam struktur ekonomi global.
Tantangan Menjadi Welfare State
Pada menit ke-16:06, Tito menyampaikan gagasan bahwa negara-negara Scandinavian dengan model welfare state memiliki tingkat kebahagiaan dan kesejahteraan tinggi, terutama karena layanan kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur yang dibiayai penuh oleh negara. Tito bertanya, “Mungkinkah kita menjadi negara welfare state?” Saat ini, Indonesia memiliki berbagai bantuan, termasuk BPJS untuk kesehatan, pendidikan, dan beberapa program bantuan lain. Namun, tantangan utama adalah bagaimana mengatasi kesenjangan pendidikan dan keterampilan tenaga kerja yang masih didominasi lulusan Sekolah Dasar (SD).
Pendanaan Kesejahteraan, Skema yang Berpihak pada UMKM
Tito mengusulkan metode pemberian subsidi secara inklusif, salah satunya melalui “Kartu Makan.” Kartu ini dapat digunakan untuk berbelanja di warung-warung lokal, sehingga dana subsidi pemerintah mengalir ke pelaku UMKM. Dengan begitu, kesejahteraan UMKM akan terjamin, sementara kebutuhan gizi masyarakat terpenuhi. Menurut Tito, skema seperti ini menghidupkan ekosistem perekonomian lokal dan memungkinkan pemerintah mengumpulkan data digital mengenai UMKM yang terdaftar dalam sistem. Selain memberdayakan UMKM, skema ini menghindari risiko kematian usaha kecil akibat persaingan langsung dengan program negara yang bersifat sentralisasi.
Urgensi Pengelolaan Anggaran yang Seimbang
Salah satu poin kuat yang disampaikan Tito adalah pentingnya menyeimbangkan anggaran atau “balance budget” yang masih menjadi tantangan di Indonesia. Tito menjelaskan bahwa dengan mempertahankan anggaran yang seimbang, Indonesia tidak perlu terus-menerus menambah utang. Ia menyayangkan anggaran yang defisit dan pengeluaran konsumtif APBN untuk hal-hal yang tidak produktif. Tito menyebut bahwa pengeluaran besar seperti pembangunan infrastruktur jalan tol sebaiknya diserahkan kepada pihak swasta, sementara pemerintah bisa fokus pada pengembangan sektor-sektor krusial seperti pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial.
Alihkan Pembangunan Infrastruktur ke Swasta
Dalam diskusi ini, Tito menyarankan agar pemerintah menyerahkan sebagian besar proyek infrastruktur seperti jalan tol dan bandara kepada swasta. Tito menyebut, “Jika pemerintah menjamin minimum traffic atau jumlah penumpang, perbankan bisa lebih mudah memberikan pinjaman kepada sektor swasta.” Dengan demikian, anggaran negara dapat dialihkan ke sektor yang benar-benar memerlukan intervensi negara seperti pendidikan dan kesehatan, yang merupakan fondasi kesejahteraan masyarakat.
Mengurangi Konsumerisme dan Feodalisme dalam Tata Kelola Pemerintah
Tito juga mengkritisi fenomena konsumtif dan feodal dalam birokrasi, di mana anggaran sering digunakan untuk kepentingan-kepentingan konsumtif, seperti seragam kantor dan mobil dinas, daripada diinvestasikan pada program produktif yang dapat mendorong kesejahteraan rakyat. Menurutnya, pola kepemimpinan di Indonesia masih mengedepankan “feodalisme modern,” yang ditunjukkan oleh sikap birokrat yang cenderung mempertahankan posisi dan status ketimbang menciptakan solusi.
Ketergantungan pada Dana Pensiun dan Investasi Asing
Dalam wawancara tersebut, Tito juga membahas tentang struktur keuangan Indonesia yang bertumpu pada dana pensiun, perbankan, pasar modal, dan investasi lainnya. Ia menekankan bahwa dana pensiun harus dimanfaatkan secara bijaksana agar dapat memberikan jaminan di masa depan. Tito memperingatkan bahwa jika sektor ini tidak dijaga dengan baik, Indonesia akan semakin tergantung pada utang luar negeri. Baginya, ketergantungan pada dana asing sangat rentan terhadap gejolak eksternal.
Dominasi Keuangan Global dan Tantangan Proxy War Ekonomi
Tito membahas bagaimana ekonomi global kini diwarnai oleh “proxy war” atau perang tidak langsung yang dimanipulasi oleh kekuatan finansial asing. Ia mengutip Henri Kissinger bahwa “Siapa yang menguasai uang, menguasai dunia.” Tito memperingatkan bahwa Amerika Serikat dan negara-negara besar memiliki kekuatan keuangan yang mampu mengendalikan ekonomi negara lain melalui pasar modal dan lembaga pemeringkat kredit. Bagi Tito, untuk mengurangi ketergantungan tersebut, Indonesia harus memperkuat struktur ekonomi domestik dan memberdayakan sektor finansial dalam negeri.
Menuju Negara Kesejahteraan yang Mandiri
Pandangan Tito Sulistyo menggarisbawahi bahwa menjadi welfare state adalah janji kemerdekaan yang patut diwujudkan, namun dengan strategi yang matang. Indonesia membutuhkan keseimbangan anggaran, penguatan sektor UMKM, pengurangan pengeluaran konsumtif, dan tata kelola yang berpihak pada rakyat. Selain itu, penting untuk melepaskan ketergantungan dari utang asing dan fokus pada pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Dengan mengoptimalkan potensi lokal, Indonesia bisa melangkah menuju masyarakat yang sejahtera dan mandiri.(c@kra)