MoneyTalk, Jakarta – Masih Bersama diskusi di podcast Total Politik yang menghadirkan dua narasumber penting, Hasan Nasbi dan Zulfikar Tawalla. Dalam diskusi yang hangat tersebut, keduanya membahas berbagai topik, mulai dari perubahan cara komunikasi di kalangan pejabat hingga pentingnya pendidikan dalam kepemimpinan militer dan sipil. Mari kita telusuri beberapa poin menarik dari pernyataan mereka.
Hasan Nasbi memulai diskusi dengan refleksi tentang bagaimana komunikasi antara pejabat publik telah berubah. Ia menyoroti fenomena di mana komunikasi tidak lagi sekadar formalitas, seperti saat melakukan panggilan telepon. Sekarang, pejabat harus tetap menjaga kontak dan menunjukkan kepedulian, bahkan dalam percakapan santai. Hal ini mencerminkan kebutuhan untuk membangun hubungan yang lebih akrab dan transparan dengan masyarakat.
“Nelpon kasih apa-apa,” ujar Hasan, menunjukkan bahwa komunikasi harus dilakukan dengan tulus dan tidak hanya sekadar basa-basi. Dia menambahkan, “Dulu kita jumpa-jumpa ya, sekarang sudah berubah ala pejabat-pejabat.” Menunjukkan bahwa perubahan ini penting dalam konteks modernisasi dan akuntabilitas publik.
Sementara itu, Zulfikar Tawalla menyoroti pentingnya pendidikan di Akademi Militer dan bagaimana hal itu berperan dalam menyiapkan pemimpin masa depan. Dia menggambarkan pengalaman belajar di Akmil, mengaitkannya dengan tokoh-tokoh terkenal yang seangkatan seperti Jenderal Tito Karnavian dan Sri Mulyani Indrawati. Menurutnya, kualitas pendidikan di Akmil harus menghasilkan pemimpin yang tidak hanya memahami aspek militer, tetapi juga mampu berinovasi dan beradaptasi dalam menghadapi tantangan zaman.
“Di Akmil, kita belajar tidak hanya untuk jadi pemimpin, tetapi juga untuk memahami berbagai disiplin ilmu,” tegas Zulfikar.
Pendidikan di Akmil diharapkan tidak hanya menghasilkan prajurit yang tangguh, tetapi juga pemikir strategis yang dapat berkontribusi di berbagai sektor.
Salah satu topik menarik yang dibahas adalah konsep “Adim Makayasa,” yang merujuk pada penghargaan bagi yang terbaik di angkatan. Hasan mempertanyakan validitas sistem ini, mengingat tidak adanya tes atau kompetisi yang jelas untuk menentukan siapa yang pantas menerima penghargaan tersebut. Dia mengusulkan agar sistem meritokrasi yang lebih transparan dan adil diterapkan.
“Kalau ada kompetisi, harusnya terlihat siapa yang menonjol,” ujarnya.
Pendapat ini menunjukkan kebutuhan akan sistem yang lebih jelas dalam memberikan penghargaan dan pengakuan atas prestasi, terutama dalam konteks pendidikan militer.
Zulfikar menekankan pentingnya harmonisasi antara kultur akademik dan militer. Ia berargumen bahwa meskipun kedua bidang ini memiliki pendekatan yang berbeda, mereka dapat saling melengkapi.
“Militer perlu mengadopsi metodologi terkini, sementara akademik harus memahami disiplin yang ada di militer,” ungkapnya.
Poin ini sangat relevan, terutama di era di mana inovasi teknologi sangat mempengaruhi cara kerja di berbagai sektor. Zulfikar menyoroti bahwa integrasi antara kedua kultur ini dapat menghasilkan pemimpin yang lebih efektif dan adaptif.
Hasan dan Zulfikar juga membahas peran aktivis dalam konteks pemerintahan dan kepemimpinan. Mereka sepakat bahwa aktivis memiliki keahlian praktis yang dapat membantu dalam pengambilan keputusan yang lebih baik.
“Aktivis memiliki kemampuan untuk melihat masalah secara langsung dan menemukan solusi praktis,” kata Hasan.
Menurutnya, kombinasi antara pemikiran kritis aktivis dan struktur yang ada di militer dapat menciptakan sinergi yang kuat untuk memajukan negara.
Di akhir diskusi keduanya berbicara tentang acara “Parade Senja” yang menjadi viral di media sosial. Dalam acara tersebut, Prabowo Subianto, Menteri Pertahanan, menunjukkan kepemimpinannya dengan berbaur bersama pasukan meskipun dalam kondisi hujan. Hal ini menjadi simbol bahwa pemimpin harus berada di garis depan, berbagi suka dan duka dengan anggotanya.
Zulfikar menyimpulkan, “Seorang pemimpin harus mampu menunjukkan komitmen dan solidaritas, tidak hanya dalam kata-kata, tetapi juga dalam tindakan.”
Hal ini memberikan wawasan yang berharga tentang perubahan yang terjadi dalam kepemimpinan dan komunikasi di Indonesia. Dengan menekankan pentingnya pendidikan, meritokrasi, serta keterkaitan antara militer dan inovasi, mereka menunjukkan bahwa masa depan kepemimpinan di Indonesia haruslah adaptif dan responsif terhadap tantangan zaman.
Dalam konteks ini, acara seperti Parad Senja menggambarkan pentingnya kepemimpinan yang dekat dengan rakyat dan bersedia berbagi perjalanan bersama mereka. Semoga pemikiran dan refleksi dari kedua narasumber ini dapat menginspirasi para pemimpin masa depan untuk lebih baik lagi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.(c@kra)