MoneyTalk, Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menarik perhatian publik dengan pengakuan Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, di Gedung Merah Putih pada Jumat (01/11). Pengakuan itu mengenai sejumlah kasus yang terhambat penanganannya, termasuk dugaan korupsi di Pertamina Energy Services Pte. Ltd. (PES), anak perusahaan PT Pertamina (Persero).
Kasus ini terfokus pada praktik korupsi yang melibatkan perdagangan minyak mentah dan produk kilang yang berhubungan dengan Pertamina Energy Trading Ltd (Petral). Dalam artikel ini, kita akan mengupas secara rinci mengenai masalah ini, proses hukum yang terlibat, dan dampaknya bagi penegakan hukum di Indonesia.
Kasus Petral berawal dari pengangkatan Bambang Irianto sebagai Managing Director PT Pertamina Energy Services Pte. Ltd. pada periode 2009–2013. Dalam kapasitasnya, Bambang diduga terlibat dalam praktik korupsi dengan mengarahkan rekanan yang diundang mengikuti tender untuk pengadaan minyak, yang sebenarnya tidak terlibat dalam pengiriman barang. Proses tender ini menjadi sangat krusial karena melibatkan sejumlah pihak yang diharapkan mampu memenuhi kebutuhan Pertamina, namun pada praktiknya, kerjasama tersebut diduga hanya sebagai kamuflase.
Nurul Ghufron mengakui bahwa ada keterlambatan dalam proses penindakan kasus-kasus yang mengendap, salah satunya adalah kasus Petral. Menurutnya, KPK sudah menetapkan waktu untuk proses penyelidikan, namun kendala muncul ketika KPK harus menunggu proses perhitungan kerugian negara, terutama jika kasus tersebut melibatkan tindakan korupsi di luar negeri.
Kendala lainnya, seperti yang dijelaskan oleh Ghufron, adalah proses Mutual Legal Assistance (MLA) yang harus dilalui ketika locus delicti atau tempat terjadinya pelanggaran hukum berada di luar wilayah hukum Indonesia. Proses ini mengharuskan KPK bekerja sama dengan aparat penegak hukum negara lain, yang seringkali memakan waktu lama dan menjadi tantangan tersendiri dalam penyelesaian kasus.
Dari informasi yang telah dikumpulkan, dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan Bambang Irianto terdiri dari beberapa elemen. Salah satu yang paling mencolok adalah keterlibatannya dalam memfasilitasi kerjasama antara PES dan Kernel Oil Pte. Ltd. Dalam proses ini, Bambang diduga menerima imbalan sekitar 2,9 juta dolar AS melalui rekening perusahaan lain, SIAM Group Holding Ltd., atas bantuan yang diberikan kepada Kernel Oil.
Dalam proses tender yang dilakukan oleh PES, Bambang Irianto dan sejumlah pejabat PES diduga telah mengarahkan undangan kepada National Oil Company (NOC), yang meskipun diundang, bukanlah pihak yang mengirimkan kargo. Keberadaan perusahaan Emirates National Oil Company (ENOC) dalam tender ini juga dipertanyakan, karena mereka dianggap hanya sebagai kamuflase untuk menunjukkan bahwa PES berkolaborasi dengan NOC, padahal pasokan minyak yang sebenarnya berasal dari Kernel Oil.
Berdasarkan undang-undang yang berlaku, Bambang Irianto diancam dengan pasal-pasal yang mengatur tindak pidana korupsi, yaitu Pasal 12 huruf a atau b dan Pasal 11 dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Pelanggaran ini menunjukkan betapa seriusnya kasus yang melibatkan jutaan dolar dalam kerugian negara akibat tindak pidana korupsi.
Kasus Petral ini tidak hanya mengungkapkan kelemahan dalam sistem pengawasan dan pengendalian internal di Pertamina, tetapi juga menyoroti tantangan yang dihadapi KPK dalam menangani kasus-kasus korupsi berskala besar, terutama yang melibatkan pihak asing. Proses hukum yang panjang dan berbelit menjadi salah satu alasan mengapa banyak kasus korupsi tidak terpecahkan dengan cepat.
Diharapkan KPK dapat segera merampungkan penyelidikan dan penuntutan dalam kasus Petral dan mempercepat proses hukum untuk mencegah terjadinya pengulangan kasus serupa di masa mendatang. Penting bagi KPK untuk meningkatkan kerjasama dengan lembaga penegak hukum di negara lain guna mempercepat proses Mutual Legal Assistance dan menindaklanjuti kasus yang berpotensi merugikan negara.
Kasus dugaan korupsi di Pertamina Energy Services Pte. Ltd. merupakan salah satu contoh nyata dari tantangan yang dihadapi oleh KPK dalam penegakan hukum di Indonesia. Meskipun telah ada langkah-langkah yang diambil untuk menyelesaikan kasus ini, masih ada banyak kendala yang harus dihadapi.
Diperlukan komitmen dan kerjasama yang lebih kuat antara KPK, pemerintah, dan pihak berwenang internasional untuk memastikan bahwa tindakan korupsi di sektor publik dapat ditangani secara efektif dan akuntabel.(c@kra)