Kader Partai Masuk Pertamina: Akankah Gerindra Akuisisi BUMN Energi Nasional?

  • Bagikan
Kader Partai Masuk Pertamina: Akankah Gerindra Akuisisi BUMN Energi Nasional?
Kader Partai Masuk Pertamina: Akankah Gerindra Akuisisi BUMN Energi Nasional?

MoneyTalk, Jakarta – Pada Selasa, 5 November 2024, Fahmi Radhi, seorang pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada, menyampaikan pandangannya tentang pengangkatan dua kader Partai Gerindra dalam jajaran pimpinan Pertamina. Pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT Pertamina (Persero) yang diadakan sehari sebelumnya, Simon Aloysius Mantiri diangkat sebagai Direktur Utama (Dirut) dan Mochamad Iriawan, yang lebih dikenal sebagai Iwan Bule, ditunjuk sebagai Komisaris Utama (Komut).

Keduanya bukan hanya profesional, tetapi juga aktif sebagai pengurus Partai Gerindra, di mana Simon Aloysius menjabat sebagai Wakil Sekretaris, dan Iwan Bule sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina partai tersebut. Pengangkatan ini memicu perbincangan hangat mengenai potensi konflik kepentingan, efektivitas pengawasan, serta komitmen terhadap upaya pemberantasan korupsi di BUMN energi terbesar di Indonesia ini.

Fahmi Radhi menilai penempatan dua tokoh dari Partai Gerindra di puncak kepemimpinan Pertamina menciptakan potensi besar untuk terjadinya konflik kepentingan. Kehadiran Simon Aloysius dan Iwan Bule, yang terafiliasi langsung dengan partai penguasa, berisiko membuat kebijakan perusahaan terpengaruh oleh kepentingan partai. Terlebih lagi, penunjukan mereka dapat membuka ruang bagi akses korupsi dan penyalahgunaan kewenangan dalam tubuh Pertamina, mengingat kedekatan mereka dengan pusat kekuasaan politik.

“Dengan menempatkan dua kader partai di posisi strategis, ada kekhawatiran bahwa pengawasan yang seharusnya dilakukan oleh Komisaris Utama terhadap Direktur Utama menjadi tidak efektif karena adanya afiliasi politik yang sama,” ungkap Fahmi Radhi.

Dalam pernyataannya, Fahmi Radhi menyebut bahwa pengangkatan Simon Aloysius dan Iwan Bule sesungguhnya bertentangan dengan komitmen keras Presiden Prabowo Subianto terhadap pemberantasan korupsi. Selama ini, Prabowo menunjukkan sikap tegas terhadap segala bentuk korupsi di lingkungan pemerintah dan BUMN, bertekad menciptakan pemerintahan yang bersih dan profesional.

Namun, menurut Fahmi, keputusan ini mungkin tidak sepenuhnya datang dari Presiden Prabowo. Ia menduga pengangkatan tersebut bisa jadi merupakan inisiatif dari pihak menteri yang bertanggung jawab, yang berharap keputusan ini akan menyenangkan Presiden. Fenomena semacam ini disebut Fahmi sebagai budaya “Asal Bapak Senang” (ABS), di mana keputusan yang diambil cenderung hanya untuk mengamankan kepentingan politik tanpa memikirkan dampak negatif terhadap perusahaan.

Fenomena partai politik menempatkan kadernya di kursi penting dalam perusahaan yang mereka kuasai tidak jarang terjadi. Dalam dunia korporasi, perusahaan yang melakukan akuisisi sering kali menempatkan orang-orang yang mereka percaya di jajaran direksi maupun komisaris. Namun, bagi BUMN seperti Pertamina, yang seluruh sahamnya dimiliki oleh negara, Fahmi menilai sangat tidak pantas jika partai politik berupaya “menguasai” BUMN melalui penempatan kader partai di posisi kunci.

“Kondisi ini menciptakan ilusi seolah-olah Partai Gerindra mengakuisisi Pertamina, karena dengan menempatkan kadernya sebagai Dirut dan Komut, mereka memiliki kendali langsung atas jalannya operasional perusahaan,” tambah Fahmi. Padahal, sebagai BUMN yang sahamnya 100% dimiliki oleh negara, tidak sepatutnya Pertamina dipengaruhi oleh kepentingan politik partai.

Untuk menghindari berbagai potensi negatif yang timbul dari penempatan kader partai di tubuh Pertamina, Fahmi Radhi menyarankan agar Presiden Prabowo mengambil tindakan tegas untuk membatalkan pengangkatan ini. Langkah ini penting untuk menjaga komitmen anti-korupsi serta menjaga independensi dan profesionalisme Pertamina.

Alternatif lain, menurut Fahmi, adalah agar Simon Aloysius dan Iwan Bule mengundurkan diri dari keanggotaan dan kepengurusan Partai Gerindra. Dengan demikian, mereka dapat menjalankan tugas di Pertamina dengan lebih profesional dan bebas dari afiliasi politik yang dapat menimbulkan konflik kepentingan.

“Jika mereka memilih untuk tetap bertahan di posisi Dirut dan Komut, namun tetap menjadi kader Partai Gerindra, maka kekhawatiran akan adanya campur tangan politik dalam kebijakan Pertamina akan sulit untuk dihindari,” ujar Fahmi.

Kasus penunjukan kader partai sebagai pimpinan di Pertamina ini menjadi cerminan dari dilema antara kepentingan politik dan profesionalisme di lingkungan BUMN. Dengan mengambil langkah yang tegas, Presiden Prabowo dapat menunjukkan komitmennya terhadap integritas dan transparansi di sektor BUMN, sekaligus menegaskan bahwa kepentingan rakyat tetap menjadi prioritas utama.

Dalam hal ini, masyarakat berharap agar pengelolaan BUMN, khususnya Pertamina, tetap berada di jalur yang bersih dari konflik kepentingan politik, untuk memastikan BUMN ini dapat beroperasi demi kepentingan bangsa dan negara, bukan untuk kepentingan partai atau kelompok tertentu.(c@kra)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *