MoneyTalk, Jakarta – Krisis pangan dunia semakin nyata di depan mata. Presiden Prabowo Subianto mengutarakan prioritas utamanya bagi Indonesia: pertahanan dan ketahanan pangan.
Dalam pidato terbarunya, Prabowo dengan tegas menekankan ketahanan pangan harus dikejar seiring meningkatnya potensi krisis pangan global dan risiko perang dunia ketiga. Langkah ini dinilai penting, namun ada satu pertanyaan muncul: apakah gagasan food estate masih relevan mengingat rekam jejak kegagalan program serupa di Indonesia?
Benix, seorang analis yang aktif di kanal YouTube-nya, mengulas sejarah panjang food estate di Indonesia dan mempertanyakan apakah kebijakan ini dapat benar-benar berhasil. Benix mengingatkan kita, meski Prabowo memiliki visi kuat untuk ketahanan pangan, food estate sendiri telah gagal beberapa kali sebelumnya. Dari era Presiden Soeharto, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), hingga Presiden Jokowi, proyek serupa telah diuji, namun hasilnya selalu jauh dari harapan.
Benix mengatakan, ketahanan pangan merupakan langkah yang sangat penting mengingat situasi dunia saat ini. Krisis iklim yang diperparah oleh El Niño, perubahan iklim ekstrem, dan ketergantungan pada impor bahan pangan membuat ketahanan pangan menjadi kebutuhan mendesak. Negara-negara besar penghasil pangan mulai melindungi pasokan dalam negeri dengan menahan ekspor. India, misalnya, telah melarang ekspor beras. Langkah seperti ini dapat menekan stok pangan di negara-negara importir termasuk Indonesia.
Menurut Benix, kondisi tersebut sangat membahayakan ketahanan pangan Indonesia, terutama jika konflik global semakin memanas. Oleh karena itu, ketahanan pangan menjadi salah satu fokus Prabowo untuk menjadikan Indonesia swasembada pangan dalam waktu 4-5 tahun ke depan. Namun, Benix tetap skeptis terhadap pendekatan food estate yang telah terbukti mengalami banyak kendala di masa lalu.
Food estate bukanlah konsep baru. Program ini telah dijalankan sejak era Presiden Soeharto dengan tujuan menjadikan Indonesia sebagai negara swasembada pangan. Namun, realisasinya jauh dari harapan. Pada 1995, Soeharto meluncurkan proyek food estate di Kalimantan Tengah dengan ambisi mencetak 5 juta ton beras per tahun. Ribuan petani dari Jawa dan Bali dipindahkan ke sana dengan masing-masing diberikan 2,5 hektar lahan. Sayangnya, lahan gambut yang digunakan ternyata asam dan kurang cocok untuk pertanian. Tahun 1997, El Niño dan kebakaran hutan besar di Kalimantan akhirnya memusnahkan proyek ini.
Era SBY juga mencoba menghidupkan kembali food estate dengan proyek besar di Merauke, Papua, di atas lahan seluas 1,2 juta hektar. Janji-janji besar mengenai peningkatan produksi pangan dan kesejahteraan masyarakat Merauke terdengar menggembirakan. Namun, kenyataannya berbeda: hutan yang dibuka menjadi rusak, masyarakat lokal kehilangan sumber pangan alami seperti sagu, dan kondisi ekonomi masyarakat Merauke justru tidak berubah sesuai janji pemerintah.
Era Jokowi juga memperkenalkan kembali program food estate dengan pendekatan baru. Proyek ini dijalankan di beberapa titik di berbagai provinsi untuk mengurangi risiko kegagalan di satu tempat. Dari Sumatera Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, hingga Papua, pemerintah mencoba menanam berbagai jenis tanaman sesuai dengan karakteristik wilayah. Namun, hasilnya lagi-lagi tidak sesuai harapan. Di Kalimantan Tengah, misalnya, kendala lahan gambut tetap muncul, dan tantangan seperti kurangnya akses air bersih serta infrastruktur pendukung masih menjadi penghambat utama.
Benix menekankan, meskipun food estate terlihat sebagai ide brilian, implementasinya sangat sulit. Di lahan gambut yang asam dan tidak stabil, tanaman pangan sangat sulit tumbuh. Ketika masyarakat transmigran dipindahkan ke daerah yang tidak memiliki fasilitas memadai, beban hidup mereka pun meningkat. Keberhasilan food estate bukan sekadar tentang menanam, melainkan bagaimana menyiapkan infrastruktur, pelatihan petani, serta memastikan keberlanjutan lingkungan.
Pengalaman-pengalaman tersebut menunjukkan bahwa food estate bukan hanya sekadar masalah teknis pertanian, melainkan memerlukan pendekatan holistik. Selain itu, tingginya anggaran yang dibutuhkan membuat proyek ini rawan disalahgunakan, dan peran pemerintah sangat penting untuk memastikan bahwa proyek ini membawa dampak yang nyata bagi ketahanan pangan nasional.
Lalu, mengapa food estate masih dipertahankan? Benix menyebutkan bahwa meskipun food estate telah mengalami banyak kegagalan, proyek ini tetap relevan karena mengusung cita-cita mulia: swasembada pangan dan kedaulatan pangan. Dengan belajar dari kesalahan masa lalu, pemerintah mungkin bisa menghindari jebakan yang sama. Namun, langkah ini tetap berisiko tinggi dan memerlukan pengawasan ketat serta strategi yang lebih terencana.
Benix menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan pendekatan lain yang lebih fleksibel dan berfokus pada ketahanan pangan lokal. Teknologi pertanian modern, seperti penggunaan hydroponik atau vertikultur, serta investasi dalam riset dan pengembangan benih unggul yang tahan perubahan iklim, dapat menjadi solusi jangka panjang. Selain itu, penting untuk membangun pusat-pusat cadangan pangan di berbagai wilayah sebagai langkah mitigasi jika terjadi krisis pangan.
Visi Prabowo untuk mewujudkan Indonesia yang tahan pangan adalah langkah penting. Namun, melihat tiga kali kegagalan food estate di masa lalu, kita perlu mempertanyakan efektivitas metode ini dan apakah ada pendekatan yang lebih tepat untuk menghadapi krisis pangan yang semakin mendesak. Food estate tetap bisa diupayakan, tetapi harus diimbangi dengan strategi cadangan dan teknologi pertanian yang lebih adaptif terhadap perubahan iklim.
Indonesia membutuhkan ketahanan pangan, tetapi caranya harus disesuaikan dengan tantangan alam dan iklim yang dihadapi. Apakah Prabowo bisa membuktikan bahwa food estate di eranya tidak akan mengulang kegagalan yang sama? Hanya waktu yang bisa menjawab.(c@kra)