MoneyTalk, Jakarta – Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas keuangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2023 menimbulkan keprihatinan luas. Berdasarkan hasil audit, BPK menemukan sejumlah masalah serius dalam laporan keuangan OJK, termasuk ketidakmampuan mempertanggungjawabkan dana sebesar Rp1,1 triliun.
Temuan ini tercantum dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan (IHPS) Semester I-2024, yang menunjukkan bahwa tata kelola keuangan OJK perlu mendapatkan perhatian serius, mengingat peran vitalnya sebagai pengawas dan regulator sektor keuangan nasional.
Dalam laporan BPK terungkap, salah satu ketidakberesan terbesar terkait dengan pencatatan beban administratif OJK sebesar Rp6,15 triliun pada 2023. Dari jumlah tersebut, Rp759,61 miliar di antaranya dialokasikan untuk imbalan kinerja pegawai pada tahun 2022. Pengalokasian tersebut dianggap tidak sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku, di mana beban seharusnya dicatat pada tahun yang sama saat pengeluaran terjadi.
“Pengeluaran sebesar Rp759,61 miliar untuk imbalan kinerja pegawai dan organisasi tahun 2022 seharusnya dicatat pada tahun yang sama.” Demikian dinyatakan dalam laporan BPK. Ketidaksesuaian ini menunjukkan adanya masalah dalam disiplin pengelolaan keuangan di OJK, yang semestinya menjadi contoh bagi institusi lainnya.
Selain pencatatan yang tidak sesuai, BPK juga menemukan adanya pengeluaran kas sebesar Rp394,10 miliar yang tidak disertai pertanggungjawaban atau pemulihan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa dana publik yang dikelola OJK tidak diadministrasikan secara transparan dan akuntabel. BPK menyebutkan, kesulitan dalam mendapatkan bukti audit atas kebijakan internal OJK yang dianggap rahasia juga mempengaruhi ketepatan nilai aset, liabilitas, pendapatan, dan beban yang dilaporkan.
“BPK tidak dapat menentukan apakah diperlukan penyesuaian terhadap nilai aset dan liabilitas per 31 Desember 2023 serta pendapatan dan beban tahun 2023,” jelas BPK dalam laporan tersebut.
Temuan ini mengindikasikan perlunya evaluasi lebih mendalam atas sistem pengendalian keuangan OJK untuk menghindari kesalahan administrasi di masa mendatang.
Total kerugian negara yang berpotensi terjadi berdasarkan audit BPK mencapai Rp1,1 triliun. Ekonom Yanuar Rizky mengkritik keras tata kelola keuangan OJK yang dinilainya tidak sesuai standar. Menurutnya, pengeluaran kas yang tidak dipertanggungjawabkan bukanlah temuan baru, dan seharusnya sudah mendapat tindak lanjut dari OJK.
“Soal potensi kerugian negara yang belum dipulihkan, ini temuan yang seharusnya sudah ditindaklanjuti. OJK seharusnya mengembalikan dana tersebut ke kas negara. Jika tidak, ini bisa menjadi temuan kerugian negara yang memerlukan audit khusus oleh BPK,” kata Yanuar.
Yanuar juga menyatakan, peran OJK sebagai pengawas sektor keuangan justru tercoreng akibat buruknya tata kelola keuangan lembaga tersebut. Ia menilai bahwa OJK seharusnya menjadi contoh dalam penerapan standar akuntansi dan pengawasan keuangan yang baik, mengingat peranannya dalam mengatur industri keuangan.
“Sebagai lembaga yang mengeluarkan POJK untuk standar akuntansi dan mengawasi laporan keuangan auditan, tata kelola keuangan OJK yang buruk ini sangat memalukan. Buruknya sistem pengendalian intern menjadi salah satu penyebab utama temuan ini,” tegas Yanuar.
Ketidakpatuhan OJK terhadap standar akuntansi dinilai dapat merusak kepercayaan publik terhadap kredibilitas lembaga tersebut. Menurut Yanuar, jika hal ini dibiarkan, dampaknya bisa meluas ke sektor keuangan secara keseluruhan.
“Ketidakpatuhan ini berisiko menurunkan kepercayaan publik terhadap OJK dan pada akhirnya bisa mengganggu stabilitas sektor keuangan,” lanjutnya.
Yanuar menyarankan agar OJK melakukan penyesuaian pada laporan keuangannya (restatement) untuk memperbaiki pencatatan yang keliru, khususnya untuk tahun 2022 dan 2023. Hal ini penting bagi OJK agar laporan keuangan lembaga tersebut bisa memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) di masa mendatang.
BPK merekomendasikan agar Dewan Komisioner OJK segera mengambil langkah-langkah pemulihan atas temuan tersebut untuk meminimalkan kerugian negara. Selain itu, penting bagi OJK untuk memperbaiki sistem pengendalian internalnya sehingga kesalahan administrasi dan ketidakakuratan laporan keuangan tidak terulang.
Temuan BPK ini membuka kembali diskusi tentang efektivitas pengawasan keuangan di lembaga-lembaga negara. Mengingat peran strategis OJK dalam menjaga stabilitas sektor keuangan, publik kini menuntut adanya transparansi dan akuntabilitas yang lebih tinggi dari lembaga tersebut.
Langkah perbaikan tata kelola keuangan di OJK diharapkan dapat memulihkan kepercayaan masyarakat sekaligus memastikan bahwa dana publik dikelola dengan profesional dan sesuai aturan.(c@kra)