Polemik Standar Kebijakan di BPK dan OJK, Kompleksitas Praktik Audit di Indonesia?

  • Bagikan
Polemik Standar Kebijakan di BPK dan OJK, Kompleksitas Praktik Audit di Indonesia?
Polemik Standar Kebijakan di BPK dan OJK, Kompleksitas Praktik Audit di Indonesia?

MoneyTalk, Jakarta – Pada diskusi yang ditayangkan di kanal Awalil Rizky pada Sabtu (09/11), Yanuar Rizky dan Awalil Rizky membahas secara mendalam berbagai isu terkait standar pemeriksaan keuangan yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dalam diskusi ini terungkap berbagai pandangan kritis tentang bagaimana auditor, terutama BPK, melakukan penilaian dan pengecualian dalam audit laporan keuangan. Salah satunya soal bagaimana sikap skeptis auditor bisa mempengaruhi opini mereka terhadap laporan yang diperiksa. Artikel ini akan mengulas secara rinci poin-poin penting dari diskusi tersebut serta menjelaskan implikasi dari beberapa temuan dan standar audit yang menjadi perdebatan.

Dalam proses audit, auditor dapat memberikan berbagai jenis opini terhadap laporan keuangan yang diperiksa, seperti Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), Wajar Dengan Pengecualian (WDP), Tidak Wajar, atau bahkan Tidak Memberikan Pendapat. Yanuar Rizky menjelaskan bahwa auditor bisa memberikan opini WDP ketika terdapat keraguan signifikan mengenai informasi yang disajikan dalam laporan keuangan. Misalnya, jika auditor merasa tidak cukup yakin tentang penilaian aset seperti harga tanah di Jakarta Selatan, karena perbedaan signifikan antara valuasi pasar dan angka yang dilaporkan, auditor mungkin akan memberikan opini WDP.

Auditor dalam hal ini bertindak sebagai pemeriksa yang tidak melakukan valuasi sendiri, tetapi menyatakan pendapat berdasarkan hasil auditnya. Jika auditor merasa hasil pengujian dan bukti yang diperoleh tidak cukup meyakinkan, maka pengecualian diberikan sebagai bentuk kehati-hatian dalam memberikan opini. Yanuar juga menekankan, penggunaan kalimat “tidak cukup meyakinkan” sering muncul dalam laporan audit yang akhirnya memberikan opini dengan pengecualian.

Pembahasan kemudian beralih pada Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) yang digunakan oleh BPK dalam melakukan audit. Awalil Rizky mencatat bahwa SPKN terakhir diperbarui pada tahun 2017 dan ada rencana pembaruan standar ini pada 2022, namun hingga kini belum ada keputusan final terkait revisi tersebut.

SPKN merupakan rangkuman dari berbagai praktik terbaik internasional, termasuk standar INTOSAI (International Organization of Supreme Audit Institutions). Namun, standar ini tidak disusun hanya oleh BPK sendiri; melainkan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, seperti akademisi, akuntan publik, dan juga lembaga legislatif (DPR).

Jika publik atau kalangan profesional menilai bahwa kualitas audit BPK rendah, maka pintu masuk untuk perbaikan adalah melalui revisi SPKN. Sebagai contoh, Yanuar menyebutkan bahwa terdapat kritik terhadap BPK karena dalam norma auditnya, pengambilan sampel hanya sebesar 20%, yang dianggap kurang representatif oleh beberapa pihak. Oleh karena itu, peningkatan cakupan sampel menjadi salah satu usulan dalam revisi SPKN.

Salah satu perdebatan klasik dalam audit adalah antara pendekatan Form Over Substance (bukti formal lebih diutamakan daripada substansi) versus Substance Over Form (substansi lebih penting daripada formalitas). Dalam konteks ini, Yanuar menjelaskan bahwa auditor yang menganut prinsip Form Over Substance seringkali dinilai sebagai “penghitung kacang” karena mereka lebih fokus pada kelengkapan dokumen formal daripada substansi dari transaksi yang diaudit. Sebaliknya, pendekatan Substance Over Form memungkinkan auditor untuk mempertimbangkan esensi dari transaksi, meskipun bukti formalnya kurang memadai.

Perdebatan ini penting karena akan menentukan bagaimana auditor menilai kepatuhan dan kewajaran laporan keuangan, terutama ketika terjadi ketidaksesuaian antara dokumen hukum dengan kondisi ekonomi yang sebenarnya.

Yanuar dan Awalil juga membahas cakupan audit yang dilakukan oleh BPK, termasuk terhadap entitas seperti pemerintah pusat, OJK, Bank Indonesia, Pemerintah Daerah, dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). BPK memiliki kewenangan untuk melakukan audit secara langsung atau melalui preview atas laporan hasil audit yang dilakukan oleh akuntan publik, terutama untuk BUMN yang besar seperti Pertamina dan PLN, yang memiliki kaitan erat dengan anggaran negara.

Untuk BUMN dengan modal penyertaan negara (PMN) dan subsidi langsung dari APBN, BPK melakukan audit lebih mendalam karena melibatkan keuangan negara. Sementara itu, entitas BUMN yang bersifat komersial, seperti Telkom, hanya diaudit oleh akuntan publik, kecuali ada temuan yang signifikan yang memerlukan keterlibatan lebih lanjut dari BPK.

Dalam diskusi tersebut, Yanuar menyoroti tentang pemeriksaan BPK dengan tujuan tertentu yang berbeda dari audit rutin tahunan. Misalnya, pemeriksaan khusus terhadap OJK terkait pengeluaran kas yang dianggap tidak bisa dipertanggungjawabkan. Jika berdasarkan audit rutin ditemukan bukti yang tidak cukup meyakinkan, BPK dapat melakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan apakah ada potensi kerugian negara.

Contoh lain adalah audit terhadap kebijakan jasa produksi dan tantiem di OJK, di mana Yanuar mencatat bahwa aturan standar akuntansi yang berlaku telah berubah sejak adanya Omnibus Law sektor keuangan. Hal ini menyebabkan perbedaan interpretasi tentang apakah biaya tersebut boleh dicatat dalam anggaran tahun berjalan atau harus dicatat pada tahun berikutnya.

Diskusi antara Yanuar Rizky dan Awalil Rizky mengungkap berbagai kompleksitas dalam praktik audit di Indonesia, baik yang dilakukan oleh BPK maupun auditor lain seperti OJK. Isu seperti perbedaan standar audit, pendekatan Form Over Substance vs. Substance Over Form, serta bagaimana auditor memberikan opini dengan pengecualian, menjadi topik penting yang perlu dipahami oleh para pembelajar ekonomi dan praktisi akuntansi.

Standar pemeriksaan yang lebih baik dan transparansi yang lebih tinggi diperlukan untuk memastikan akuntabilitas keuangan negara, terutama dalam entitas yang memiliki keterkaitan langsung dengan APBN. Bagi akademisi dan praktisi, dokumen seperti SPKN dan hasil revisinya bisa menjadi referensi penting dalam memahami dinamika audit keuangan di Indonesia.

Dengan pemahaman yang lebih baik tentang standar audit dan implikasinya, diharapkan dapat meningkatkan kualitas audit serta akuntabilitas lembaga-lembaga keuangan di Indonesia.(c@kra)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *