MoneyTalk, Jakarta – Di tengah gempuran pembangunan dan industrialisasi yang semakin masif di Papua, para pemimpin gereja lokal bersama masyarakat adat berdiri teguh mempertahankan hak-hak mereka.
Meskipun banyak proyek-proyek ambisius di era pemerintahan Jokowi, seperti MIFE (Merauke Integrated Food Estate) dan MIRE (Merauke Integrated Rice Estate) yang dianggap gagal diterapkan lantaran tidak didukung masyarakat Papua dan Dewan Gereja.
Namun kini akan muncul lagi model proyek serupa di bawah pemerintahan Presiden Prabowo hanya akan mengulang kesalahan masa lalu menjadi gelisah para pemimpin gereja Papua.
Hal ini dibuktikan dengan kehadiran ribuan eskavator yang disebut tengah menghancurkan tanah adat tanpa persetujuan dari masyarakat lokal.
Maka pada tanggal 11 November 2024, Dewan Gereja Papua bersama Pastor Pribumi Papua, termasuk Pdt. Dr. Benny Giay dan Pastor John Bunay, menyampaikan pernyataan tertulis mengenai kekhawatiran mereka atas proyek-proyek besar yang dinilai merusak tatanan kehidupan Orang Asli Papua (OAP).
Ada sekitar 2.000 eskavator telah dikerahkan untuk membuka lahan di wilayah Merauke tanpa persetujuan dari masyarakat adat setempat. Dalam situasi ini, penduduk asli terancam kehilangan hak ulayat mereka, serta menghadapi ancaman terhadap keberlangsungan budaya dan ekosistem yang telah lama menjadi bagian integral dari kehidupan mereka.
Membuka lahan dan Penguasaan tanah secara masif oleh perusahaan besar menyebabkan hilangnya lahan adat dan hutan hujan tropis yang kaya keanekaragaman hayati.
Dan Pdt. Dr. Benny Giay menekankan bahwa lahan ini bukan hanya tanah biasa, tetapi merupakan sumber kehidupan, budaya, dan identitas bagi masyarakat Papua.
Dan Papua merupakan salah satu daerah dengan kekayaan alam yang melimpah. Namun, wilayah ini juga sering menjadi sasaran eksploitasi oleh perusahaan besar, baik domestik maupun asing.
Dalam beberapa tahun terakhir, program pemerintah untuk meningkatkan investasi di Papua seringkali berujung pada perampasan lahan dan kerusakan lingkungan yang luas. Hal ini memicu kekhawatiran besar di kalangan pemimpin gereja dan masyarakat adat.
Dan para pemimpin gereja Papua menyampaikan sejumlah tuntutan yang ditujukan kepada berbagai pihak, baik di dalam maupun luar negeri
Pertama, Mereka meminta pemerintah Indonesia, khususnya Presiden Prabowo, untuk menghentikan semua proyek yang merusak ekosistem dan hak-hak hidup masyarakat adat Papua.
Kedua, para pemimpin gereja Papua mendesak Pemerintah untuk membuka ruang dialog dengan masyarakat adat Papua untuk mencapai solusi yang lebih adil dan inklusif, bukan hanya fokus pada keuntungan ekonomi semata.
Selain itu, para pemimpin gereja Papua menolak rencana transmigrasi baru ke Papua, yang dinilai tidak relevan dengan kondisi sosial dan ekonomi setempat. Dan menegaskan bahwa Papua sudah memiliki banyak masalah yang perlu diselesaikan tanpa harus menambah beban dengan kedatangan pendatang baru
Karena selama ini, Pemerintah telah mengirimkan banyak migran ke Papua, yang menyebabkan pergeseran demografi dan menimbulkan ketegangan sosial. Dan para pemimpin gereja Papua kedatangan migran tidak hanya menggeser populasi asli, tetapi juga menyebabkan marjinalisasi OAP dalam hal akses terhadap sumber daya dan kesempatan ekonomi.
Apalagi Sejak 2019, pemerintah pusat telah mengirim ribuan personel militer ke Papua, yang sering kali dituding memperburuk situasi keamanan dan mengintimidasi penduduk lokal. Pastor John Bunay, Pr, menyerukan penghentian pendekatan militer dalam menangani isu-isu Papua, terutama dalam konflik agraria.(c@kra)