MoneyTalk, Jakarta – Dalam kanal YouTube-nya pada Rabu (13/11), Awalil Rizky, ekonom dari Bright Institute, melontarkan kritik tajam terhadap Badan Pusat Statistik (BPS) terkait cara penyampaian data ekonomi triwulan III tahun 2024. Menurutnya, BPS tidak hanya menyajikan data secara objektif tetapi juga menyelipkan penilaian (assessment) yang seharusnya menjadi ranah pihak lain, seperti Kementerian Keuangan atau Bank Indonesia.
Ia menilai bahwa paparan BPS yang penuh dengan narasi positif justru berpotensi menggiring opini publik menuju optimisme yang kurang berdasar.
BPS selama ini tidak hanya menyampaikan angka-angka statistik, tetapi juga memberikan asesmen yang cenderung positif. Misalnya, BPS menyebutkan bahwa “ekonomi Indonesia tumbuh didorong oleh aktivitas domestik yang relatif terjaga” dan “sektor perdagangan tumbuh karena peningkatan suplai domestik dan impor”, jelas Awalil Rizky,.
Dan Menurut Awalil, pernyataan semacam ini lebih merupakan interpretasi yang seharusnya diserahkan kepada analis ekonomi, bukan lembaga statistik yang bertugas menyajikan data secara netral.
Sebagai contohkan bahwa paparan BPS menyebut sektor perdagangan tumbuh, tetapi tidak diimbangi dengan penjelasan bahwa pertumbuhan sektor ini lebih disebabkan oleh peningkatan barang impor, bukan produksi dalam negeri. Hal ini, menurutnya, merupakan berita buruk bagi industri lokal yang justru mengalami stagnasi, ujar Awalil Rizky.
Selain itu, Awalil juga menyoroti beberapa klaim BPS yang menyebut ekonomi triwulan III tumbuh sebesar 4,95% secara year-on-year (YoY) dan 1,50% secara kuartalan (Q-to-Q).
Dan BPS menjelaskan bahwa pertumbuhan 1,50% ini merupakan yang terendah dalam sepuluh tahun terakhir jika dilihat dari segi kuartalan, kecuali pada masa pandemi tahun 2020-2021. Begitu juga dengan angka pertumbuhan YoY sebesar 4,95%, yang menurut Awalil tidak signifikan dibandingkan angka-angka sebelum pandemi.
“Jika angka pertumbuhan ini dianggap sebagai berita baik, maka standar kita terlalu rendah,” kata Awalil. Dan menambahkan bahwa pertumbuhan ini seharusnya menjadi alarm peringatan bagi perekonomian Indonesia, bukan dijadikan bahan optimisme tanpa dasar.
Lebih lanjut, Awalil mengkritisi data BPS terkait pertumbuhan berdasarkan lapangan usaha. Menurutnya, sektor industri pengolahan yang disebut-sebut tumbuh 4,72% oleh BPS sebenarnya menunjukkan performa yang tidak optimal. Ia menekankan bahwa angka ini tidak termasuk yang tertinggi dalam beberapa tahun terakhir dan cenderung stagnan.
Awalil juga menyoroti narasi positif yang disampaikan BPS tentang sektor konstruksi yang tumbuh seiring pembangunan infrastruktur. Menurutnya, klaim bahwa proyek infrastruktur mendorong pertumbuhan tidak dibuktikan dengan data yang menunjukkan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Dan Awalil Rizky berpendapat, mestinya BPS lebih transparan dalam menyajikan data lapangan usaha yang justru menurun, seperti sektor pertanian yang merupakan penyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia.
Dalam analisanya, Awalil mengingatkan pada krisis ekonomi tahun 1997-1998, di mana laporan-laporan resmi dari pemerintah dan Bank Indonesia saat itu penuh dengan optimisme yang tidak realistis. Prediksi pertumbuhan ekonomi mencapai 7-8%, namun realitanya justru terjun bebas menjadi negatif 13,1%. Ia khawatir optimisme serupa kembali terjadi saat ini, di mana klaim pertumbuhan yang disajikan BPS, kemudian diamplifikasi oleh pemerintah dan Bank Indonesia, dapat menyesatkan publik.
“Optimisme boleh, tapi jangan sampai kita terlena dengan angka-angka yang tidak menunjukkan kondisi sebenarnya,” tegas Awalil. Dan menyarankan agar para pembelajar ekonomi fokus pada dokumen statistik mentah BPS yang lebih netral dan tidak dibumbui narasi.
Awalil menutup kritiknya dengan menyebut bahwa pertumbuhan triwulan III 2024 sebesar 4,95% YoY bisa jadi merupakan angka tertinggi untuk tahun ini, yang diprediksi hanya akan mencapai sekitar 5,0%. Hal ini, menurutnya, menjadi sinyal bahwa perekonomian Indonesia akan mengalami perlambatan di kuartal IV. Berdasarkan data historis, pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV cenderung lebih rendah dibandingkan kuartal III.
Ia juga memprediksi bahwa pertumbuhan sektor industri pengolahan pada tahun 2024 hanya akan mencapai 4,5%, lebih rendah dari rata-rata tahun-tahun sebelumnya. Jika benar demikian, maka tahun 2024 akan menjadi tahun dengan pertumbuhan ekonomi terlemah sejak era pandemi.(c@kra)