Aktif di Sosmed Kredit Ditolak Bank, Isu Baru dalam Penilaian Kelayakan Kredit

  • Bagikan
Aktif di Sosmed Kredit Ditolak Bank, Isu Baru dalam Penilaian Kelayakan Kredit
Aktif di Sosmed Kredit Ditolak Bank, Isu Baru dalam Penilaian Kelayakan Kredit

MoneyTalk, Jakarta – Dalam beberapa tahun terakhir, perbankan Indonesia semakin memperkenalkan inovasi dalam sistem penilaian kredit. Sistem yang sebelumnya bergantung pada data SLIK (Sistem Layanan Informasi Keuangan) kini semakin berkembang, mencakup sumber data yang lebih beragam, termasuk aktivitas di media sosial. Hal ini tentu menarik perhatian, terutama bagi mereka yang aktif berinteraksi di platform digital.

Tidak jarang kita melihat postingan yang memamerkan gaya hidup mewah (lexing) atau berbagi pengalaman liburan yang tampaknya sempurna. Hal ini mungkin disalahartikan oleh beberapa orang sebagai indikator kelayakan kredit. Lalu, bagaimana perkembangan ini dapat memengaruhi proses penilaian kredit di masa depan?

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengumumkan rencana untuk memperluas jangkauan penilaian kredit dengan mencakup data dari media sosial. Menurut Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, ini adalah langkah penting untuk meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia. Data yang digunakan dalam penilaian kredit tak hanya akan datang dari SLIK, tetapi juga dari sumber lain seperti perusahaan telekomunikasi, lembaga yang mengelola utilitas, dan yang paling menarik—media sosial.

Perbankan digital sudah mulai menerapkan penilaian berbasis media sosial untuk mengukur kelayakan kredit nasabah. Ke depannya, perbankan konvensional juga akan mengadopsi pendekatan serupa. Salah satu tujuan dari inisiatif ini adalah untuk memberikan kesempatan kepada mereka yang sebelumnya dianggap tidak bankable, atau sulit mengakses layanan perbankan, untuk mendapatkan pinjaman. Misalnya, informasi terkait kelancaran pembayaran listrik atau telepon bisa menjadi indikator penting dalam menentukan kemampuan finansial seseorang.

Fenomena “lexing” atau pamer gaya hidup mewah di media sosial, seperti liburan mewah, mobil baru, atau belanja barang branded, memang menjadi kebiasaan di kalangan sebagian orang. Dengan adanya kebijakan OJK yang melibatkan media sosial dalam penilaian kredit, hal ini memunculkan pertanyaan besar: apakah mereka yang sering memamerkan gaya hidup mewah akan lebih mudah memperoleh pinjaman? Atau sebaliknya, apakah mereka yang tidak terlalu aktif di media sosial akan kesulitan mendapatkan akses kredit?

Namun, Dian Ediana Rae menegaskan bahwa media sosial bukan satu-satunya faktor yang akan dipertimbangkan dalam penilaian kredit. Selain data dari media sosial, OJK juga mempertimbangkan data dari berbagai sektor lain, seperti catatan pembayaran utilitas dan keuangan lainnya. Oleh karena itu, meskipun aktivitas di media sosial dapat memberikan gambaran tambahan mengenai kebiasaan seseorang, penilaian kredit tetap akan bergantung pada serangkaian indikator yang lebih luas dan mendalam.

Sistem kredit yang selama ini bergantung pada data SLIK atau informasi keuangan yang dikelola oleh Bank Indonesia akan semakin berkembang. OJK merencanakan adanya pemeringkatan kredit alternatif yang disebut Initiative Credit Scoring (ICS), yang akan menjadi pelengkap atau alternatif bagi pemeringkatan tradisional. Penilaian kredit ini akan memberi ruang lebih luas bagi individu dengan riwayat kredit terbatas untuk mendapatkan akses ke layanan keuangan.

Penting untuk dicatat bahwa meskipun media sosial bisa menjadi salah satu elemen dalam pemeringkatan, sistem ini tetap akan berbasis pada evaluasi yang lebih komprehensif. Pihak bank akan menggabungkan berbagai data—baik dari sumber finansial yang resmi seperti laporan keuangan, maupun data pribadi yang didapatkan dari penyedia layanan utilitas dan media sosial. Tujuan akhirnya adalah menciptakan ekosistem perbankan yang lebih inklusif dan mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat, termasuk mereka yang selama ini belum memiliki catatan kredit formal.

Meski kedengarannya menjanjikan, pengembangan sistem penilaian kredit berbasis media sosial ini tentunya menghadapi sejumlah tantangan. Pertama, masalah privasi menjadi perhatian utama. Penggunaan data pribadi tanpa izin eksplisit dari individu bisa menimbulkan berbagai masalah hukum dan etika. Oleh karena itu, diperlukan regulasi yang ketat untuk melindungi data pribadi nasabah.

Kedua, efektivitas sistem ini perlu diuji lebih lanjut. Apakah benar aktivitas di media sosial dapat mencerminkan kapasitas finansial seseorang? Banyak orang yang memamerkan kehidupan mewah di media sosial, meski kenyataannya mereka menghadapi kesulitan finansial di dunia nyata. Oleh karena itu, OJK harus memastikan bahwa data yang digunakan dalam pemeringkatan kredit benar-benar valid dan dapat diandalkan.

Terakhir, kebijakan ini juga harus mempertimbangkan kemungkinan bahwa tidak semua orang memiliki akses atau aktif di media sosial. Ini bisa menciptakan ketidakadilan dalam penilaian kredit bagi mereka yang lebih tertutup atau memilih untuk tidak membagikan kehidupan pribadi mereka secara daring.

Pengenalan media sosial dalam penilaian kredit adalah langkah yang menarik dan inovatif, namun juga penuh tantangan. OJK berusaha menciptakan sistem yang lebih inklusif, memungkinkan mereka yang sebelumnya tidak memiliki akses ke layanan perbankan untuk mendapatkan kesempatan yang lebih besar dalam memperoleh pinjaman. Namun, hal ini tentu memerlukan regulasi yang jelas dan bijaksana, serta evaluasi yang tepat terhadap dampak dari kebijakan ini.

Kebijakan ini akan terus berkembang, dan kita harus menunggu lebih lanjut bagaimana OJK akan merancang aturan yang lebih rinci mengenai penggunaan media sosial dalam penilaian kredit. Meski demikian, yang pasti adalah bahwa dunia perbankan Indonesia menuju era yang lebih terbuka, dimana banyak faktor—termasuk aktivitas media sosial—dapat menentukan apakah seseorang layak mendapatkan akses ke layanan finansial.(c@kra)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *