MoneyTalk, Jakarta – Pada Rabu, 13 November, Menteri Keuangan Sri Mulyani menghadiri rapat kerja dengan DPR untuk membahas berbagai isu terkait Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dalam kesempatan tersebut, Sri Mulyani menyampaikan sejumlah penjelasan terkait tantangan dalam pengelolaan APBN dan mengapa aspirasi yang diajukan sering kali tidak dapat sepenuhnya dipenuhi. Berikut adalah penjabaran mendalam tentang pernyataan penting yang diutarakan oleh Sri Mulyani dalam rapat tersebut.
Sri Mulyani menggarisbawahi bahwa APBN merupakan instrumen yang dirancang untuk menyeimbangkan berbagai tujuan nasional. Menurutnya, APBN harus mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan, mulai dari pembangunan ekonomi, perlindungan sosial, hingga stabilitas makroekonomi. Hal ini berarti, ketika DPR atau pihak terkait menanyakan tentang kebijakan spesifik, sering kali perlu dijelaskan dalam konteks yang lebih luas.
“Kami harus menjelaskan kebijakan dalam konteks keseluruhan APBN,” ungkap Sri Mulyani. “APBN harus mengakomodasi begitu banyak tujuan yang membuat daya gigit pada satu isu mungkin tidak sebesar harapan,” lanjutnya.
Sri Mulyani menegaskan, ekonomi Indonesia tidak hanya bergantung pada APBN semata, tetapi juga dipengaruhi oleh peran masyarakat dan sektor usaha. Sebagai bendahara negara, dia menekankan pentingnya menjaga APBN agar tetap kredibel dan berkelanjutan. Menurutnya, APBN yang digunakan secara eksesif akan “jebol” dan menjadi sumber masalah alih-alih solusi.
“APBN harus tetap sustainable dan kredibel, agar ekonomi bisa terus berjalan. Jika APBN jebol, bukannya menjadi solusi, justru akan menjadi sumber masalah,” jelasnya.
Sri Mulyani mengakui, dalam menyusun APBN, Kementerian Keuangan telah mencatat berbagai aspirasi dari anggota DPR. Meski begitu, tidak semua permintaan dapat diakomodasi sepenuhnya.
“Saya sepakat dengan hampir semua aspirasi yang disampaikan. Namun, ketika masuk ke dalam APBN, kami harus mengkalibrasinya, sehingga mungkin hasil akhirnya tidak 100% seperti yang diharapkan,” kata Sri Mulyani.
Salah satu contoh tantangan dalam pengambilan keputusan fiskal adalah bagaimana melindungi sektor industri, baik hulu maupun hilir. Sri Mulyani menjelaskan bahwa kebijakan bea masuk sering kali diambil untuk melindungi industri tertentu. Seperti industri tekstil yang menghadapi tantangan dari impor bahan baku.
“Kalau kita ingin hilirnya baik, harus dipastikan hulunya tidak hancur,” tegasnya. Namun, proteksi di satu sektor bisa merugikan sektor lain. “Ini tugas berat kami, menyeimbangkan antara melindungi hulu dan hilir.”
Sri Mulyani juga menjelaskan mengenai kebijakan bea masuk dan tarif cukai yang kerap menuai perhatian. Pengambilan keputusan ini tidak diambil secara sepihak, tetapi melalui koordinasi dengan kementerian terkait, seperti Kementerian Perindustrian dan Kementerian Tenaga Kerja. Proses pengambilan keputusan melibatkan tim tarif yang mengevaluasi apakah ada ancaman damping yang merugikan industri dalam negeri.
“Kebijakan bea masuk, misalnya, harus melalui pembahasan di tim tarif dan disetujui sebelum ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan,” paparnya.
Dalam pembahasan terkait penerimaan negara, Sri Mulyani menyinggung pentingnya meningkatkan tax ratio sebagai bagian dari upaya memperkuat perekonomian. Dia mengakui bahwa tax ratio Indonesia saat ini relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Oleh karena itu, roadmap untuk meningkatkan tax ratio terus disusun dan dibahas bersama dengan tim di Kementerian Keuangan.
“Kami sedang menyiapkan roadmap peningkatan tax ratio, dan ini akan menjadi tantangan yang harus dihadapi bersama,” jelas Sri Mulyani.
Sebagai penutup, Sri Mulyani menegaskan bahwa APBN harus tetap fleksibel dan mampu merespons krisis ekonomi global. Hal ini penting untuk memastikan bahwa APBN tetap menjadi instrumen yang dapat menjaga stabilitas ekonomi nasional, seperti saat menghadapi krisis keuangan global atau pandemi COVID-19.
“APBN telah menjadi instrumen penting untuk merespons situasi-situasi darurat, dan kami harus memastikan kesehatannya tetap terjaga,” ujar Sri Mulyani.(c@kra)