MoneyTalk,Jakarta – Kontestasi Pemilihan Bupati (Pilbup) Pekalongan kali ini menjadi perhelatan politik yang penuh dinamika, diwarnai oleh pertarungan sengit antara dua tokoh sentral, Fadia dan Riswadi. Fadia, memiliki dukungan kuat dari koalisi besar KIM (Koalisi Indonesia Maju) plus beberapa partai lain, sementara Riswadi hanya didukung oleh PDI Perjuangan. Pada awal masa kampanye, Fadia sangat diunggulkan. Dengan mesin politik yang besar di belakangnya, Fadia semula diprediksi akan mendominasi kontestasi ini.
Namun, dalam beberapa bulan terakhir, tren elektabilitas Riswadi menunjukkan lonjakan yang signifikan. Fenomena ini mengejutkan banyak pihak, mengingat dominasi awal Fadia yang begitu kuat. Pertanyaannya, mengapa Riswadi bisa sefenomenal itu hingga mampu mengejar dan bahkan hampir menyamai popularitas Fadia? Jawabannya terletak pada strategi komunikasi politik yang cerdik, yakni penggunaan jargon “Wonge Dewe”.
Jargon “Wonge Dewe” menjadi senjata utama Riswadi dalam mendekati hati masyarakat Kabupaten Pekalongan. Ungkapan ini sangat sederhana namun sarat makna. Dalam bahasa Jawa, “Wonge Dewe” dapat diartikan sebagai “orang kita sendiri”. Frasa ini membangkitkan rasa kedekatan emosional dan keterhubungan antara calon pemimpin dengan masyarakat yang ingin diwakilinya. Strategi ini berhasil menggugah kesadaran kolektif masyarakat bahwa Riswadi adalah sosok yang berasal dari mereka, memahami mereka, dan berkomitmen untuk memperjuangkan kepentingan mereka.
Efektivitas jargon ini bukanlah kebetulan. Masyarakat Kabupaten Pekalongan dikenal memiliki keterikatan kuat dengan nilai-nilai lokal dan budaya Jawa. Riswadi, yang dikenal sebagai figur merakyat, berhasil memanfaatkan keunggulan ini dengan menyentuh sisi emosional masyarakat. Kampanye yang dibawanya bukan hanya janji-janji program, tetapi lebih kepada ajakan untuk “kembali ke akar”, yakni memprioritaskan pemimpin yang mengerti aspirasi dan tantangan warga dari dalam. “Wis Wayahe Wonge Dewe”, yang berarti “sudah waktunya orang kita sendiri”, menjadi slogan yang bergaung dan diterima dengan baik.
Dalam konteks politik lokal, strategi ini memberikan dampak psikologis yang kuat. Masyarakat merasa disapa secara personal dan dilibatkan dalam perjuangan politik yang lebih besar. Riswadi mampu mengemas pesan ini dengan menyentuh aspek historis dan tradisional yang melekat pada masyarakat.
Selain itu, popularitas Riswadi yang meningkat juga disebabkan oleh aktivitas kampanyenya yang gencar di lapangan. Ia dikenal rajin turun langsung ke desa-desa, menghadiri berbagai acara, dan berbincang dengan masyarakat kecil tanpa sekat. Pendekatan yang personal dan langsung ini semakin memperkuat kesan bahwa Riswadi adalah pemimpin yang dekat dan memahami kebutuhan rakyatnya.
Tidak hanya itu, pengaruh media sosial dalam kontestasi politik saat ini juga tidak bisa diabaikan. Riswadi dan timnya berhasil memanfaatkan platform-platform digital untuk menyebarkan narasi “Wonge Dewe” ke berbagai kalangan, termasuk generasi muda yang semakin aktif dalam diskusi politik. Konten kampanye yang kreatif, ringan, dan mudah dibagikan menjadikan pesan-pesan Riswadi viral dan membentuk opini publik yang positif.
Di sisi lain, meskipun Fadia memiliki kekuatan koalisi besar, keunggulan ini tidak serta merta menjamin dominasi penuh di kontestasi Pilbup. Masyarakat mulai jenuh dengan komunikasi politik yang terkesan elitis dan kurang memperhatikan akar rumput. Faktor ini semakin menguatkan keinginan masyarakat untuk mendukung calon yang dianggap lebih autentik dan berakar kuat di komunitas mereka, yaitu Riswadi.
Sementara Fadia harus menghadapi tantangan untuk membuktikan bahwa dirinya tidak hanya mengandalkan dukungan partai-partai besar, tetapi juga memiliki komitmen kuat untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat kecil. Kekuatan finansial dan jaringan politik yang besar yang dimiliki Fadia terkadang malah menjadi pisau bermata dua, karena menimbulkan persepsi bahwa pemerintahannya lebih mementingkan kepentingan elit daripada rakyat biasa.
Di sisi lain, dukungan PDI Perjuangan terhadap Riswadi, meskipun hanya satu partai, justru memperkuat citra bahwa Riswadi adalah pilihan “wong cilik” yang berjuang dari bawah. PDI Perjuangan memiliki basis massa yang solid di Kabupaten Pekalongan, dan dukungannya memberikan kredibilitas lebih bagi Riswadi sebagai kandidat yang memiliki kekuatan akar rumput.
Dengan waktu yang masih tersisa menjelang hari pencoblosan, kontestasi ini diprediksi akan semakin memanas. Kekuatan narasi “Wonge Dewe” dan upaya Fadia dengan kekuatan partai-partai besar pengusungnya menjadi duel politik yang menarik untuk disimak. Apakah strategi Riswadi yang merakyat akan terus menggerus dominasi Fadia, atau justru Fadia akan menemukan cara untuk mengembalikan dominasi elektabilitasnya? Satu hal yang pasti, Pilbup Pekalongan kali ini membuktikan bahwa suara rakyat menjadi penentu utama, dan narasi “Wonge Dewe” telah menjadi angin perubahan yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Kampanye “Wonge Dewe” berhasil menarik simpati dari banyak kalangan, termasuk tokoh-tokoh masyarakat dan pemuda yang menginginkan perubahan di Kabupaten Pekalongan.
Penulis : Untung Nursetiawan, Pemerhati Sosial Kota Pekalongan