Keputusan Berani Soal Laut Natuna: Prabowo Berdamai dengan China?

  • Bagikan
Batas Wilayah Laut Natuna: Penegasan Sikap Indonesia
Batas Wilayah Laut Natuna: Penegasan Sikap Indonesia

MoneyTalk, Jakarta – Ketegangan di Laut Natuna Utara, bagian dari perairan yang termasuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982 kembali mencuat. Konflik ini muncul lagi ke permukaan setelah pertemuan bilateral Presiden Prabowo Subianto dengan pemimpin China, Xi Jinping.

Pertemuan tersebut menghasilkan pernyataan bersama yang menyebutkan potensi joint development di wilayah yang disebut memiliki klaim tumpang tindih. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang kemungkinan pergeseran sikap Indonesia terkait batas wilayah maritim dan hak berdaulat di perairan yang selama ini diklaim oleh China melalui sembilan garis putus-putus (nine-dash line).

Dalam diskusi di podcast “Akbar Faizal Uncensored” dari Nagara Institute pada 13 November, beberapa tokoh penting memberikan pandangan mereka. Di antara narasumber tersebut adalah Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Arif Havas Oegroseno, Wakil Menteri Luar Negeri, dan Eddy Pratomo, diplomat senior dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila.

Hikmahanto Juwana dengan tegas menyampaikan kekhawatirannya. Indonesia selama ini tidak mengakui sembilan garis putus-putus milik China. Putusan PCA (Pengadilan Arbitrase Permanen) pada 2016 menyatakan, klaim sembilan garis putus-putus tidak memiliki dasar hukum berdasarkan UNCLOS 1982. Namun, fakta bahwa Indonesia dan China mengumumkan kesepakatan kerja sama pembangunan bersama di wilayah dengan “klaim yang tumpang tindih” menciptakan spekulasi tentang kemungkinan pengakuan tersirat atas klaim China tersebut.

Menurut Hikmahanto, frasa “joint development” dan pengakuan terhadap “klaim yang tumpang tindih” mencerminkan perubahan signifikan dalam posisi Indonesia. Secara historis, Indonesia tidak pernah secara resmi mengakui klaim sembilan garis putus-putus tersebut, bahkan tidak pernah melakukan perundingan bilateral dengan China terkait ZEE di perairan tersebut. Ini membangkitkan pertanyaan besar di kalangan pakar hukum internasional dan geopolitik tentang implikasi pergeseran kebijakan ini, terutama di tengah meningkatnya ketegangan antara China dan negara-negara lain yang berbatasan dengan Laut China Selatan.

Eddy Pratomo menambahkan, pendekatan semacam ini bisa berdampak pada posisi Indonesia sebagai negara netral dan berpotensi mengubah persepsi negara-negara lain. Misalnya seperti Filipina, Malaysia, dan Vietnam yang selama ini menganggap Indonesia sebagai sekutu dalam menentang klaim sepihak China. Keterlibatan China dalam proyek pembangunan bersama bisa dipandang sebagai sinyal bahwa Indonesia mulai mengakui legitimasi klaim China, meski hanya secara implisit.

Arif Havas Oegroseno memberikan pandangan lebih moderat. Ia menekankan bahwa upaya ini adalah bagian dari strategi untuk menjaga stabilitas di kawasan yang sering memanas akibat persaingan geopolitik antara China dan Amerika Serikat. Ia menjelaskan, kolaborasi ekonomi dapat menjadi upaya untuk meredakan ketegangan, asalkan dilakukan dengan tetap menghormati hukum internasional dan regulasi domestik. Ia juga memastikan implementasi kesepakatan akan dilakukan dalam kerangka hukum dan regulasi masing-masing negara, tanpa mengubah posisi Indonesia yang tidak mengakui klaim sembilan garis putus-putus.

Havas menekankan pentingnya “safeguard” atau pengaman dalam bentuk regulasi domestik yang memastikan bahwa kolaborasi ini tidak mencederai hak berdaulat Indonesia. Ia juga mengingatkan bahwa diskusi ini harus dilihat dalam konteks lebih luas dari upaya menjaga perdamaian di wilayah Laut China Selatan, yang penuh dengan ketegangan.

Keputusan ini memiliki konsekuensi geopolitik yang cukup besar. Jika kesepakatan joint development ini dipandang sebagai pengakuan tidak langsung atas klaim China, Indonesia berpotensi menghadapi tekanan dari sekutu regional dan global yang mengandalkan prinsip freedom of navigation. Negara-negara seperti Filipina dan Vietnam mungkin menilai ulang sikap mereka terhadap kerja sama regional di bawah kepemimpinan Indonesia. Selain itu, kebijakan ini bisa memengaruhi hubungan dengan Amerika Serikat, yang selama ini mendukung kebebasan navigasi di Laut China Selatan sebagai penyeimbang pengaruh China.

Keputusan Prabowo untuk membuka diskusi tentang joint development di kawasan yang selama ini dipersengketakan dengan China adalah langkah berani yang menimbulkan perdebatan. Di satu sisi, ini bisa dianggap sebagai upaya pragmatis untuk meredakan ketegangan di wilayah strategis dan membuka peluang kerja sama ekonomi. Namun, di sisi lain, ini memicu kekhawatiran akan legitimasi klaim China di perairan yang telah ditolak oleh Indonesia dan komunitas internasional.(c@kra)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *