Mantan Stafsus Kominfo Buka-bukaan, Ada yang Ga Beres

  • Bagikan
Mantan Stafsus Kominfo Buka-bukaan, Ada yang Ga Beres
Mantan Stafsus Kominfo Buka-bukaan, Ada yang Ga Beres

MoneyTalk, Jakarta – Kamis (14/11), podcast “Kepo Aja” yang dipandu oleh Gaibit dan Margisar menampilkan Prof. Henri Subiakto, mantan Staf Ahli Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Dalam sesi wawancara Prof. henri mengungkap fakta mengejutkan mengenai keberadaan “mafia judol” (judi online) di Kominfo, khususnya dalam tim penanganan konten digital di Komdigi (Komisi Digital). Lebih mengejutkan lagi, dugaan keterlibatan Menteri Budi Arie Setiadi turut mencuat dalam diskusi tersebut.

Prof. Henri menjelaskan, sejak masa pemerintahan Presiden SBY hingga saat ini, Kominfo memiliki tim khusus yang bertugas untuk menangani konten ilegal di dunia maya. Tim ini dikenal dengan sebutan Tim Tepis, yang beroperasi secara eksklusif di lantai 8 Gedung Kominfo. Tim tersebut memiliki tanggung jawab besar dalam mendeteksi, men-take down, dan memblokir konten yang melanggar hukum seperti judi online, pornografi, penipuan, hingga konten radikal.

Menurut Prof. Henri, terjadi penurunan kualitas dan integritas dalam tim tersebut selama beberapa tahun terakhir. Ia mempertanyakan kebijakan yang diambil oleh Kominfo dengan merekrut anggota tim dari kalangan anak muda, bahkan ada yang masih duduk di bangku SMK, tanpa pengalaman yang memadai.

“Masa iya, masa depan digital bangsa ini dipasrahkan pada anak-anak muda yang belum punya komitmen dan integritas tinggi? Ini persoalan serius, bukan hanya soal teknologi, tapi juga amanah undang-undang,” ujar Prof. Henri dengan nada serius.

Dalam beberapa pernyataan sebelumnya, Menteri Budi Arie Setiadi sempat mengungkapkan bahwa ia merasa “dikhianati” oleh beberapa oknum di dalam kementeriannya. Hal ini seolah menjadi konfirmasi dari informasi yang disampaikan oleh Prof. Henri mengenai adanya indikasi penyalahgunaan wewenang dan potensi keterlibatan “mafia” dalam memanfaatkan tim penanganan konten di Kominfo untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

Prof. Henri secara tegas menyebut bahwa tim eksklusif di lantai 8 tersebut sangat tertutup. Bahkan, pejabat setingkat Sekjen di Kominfo pun tidak memiliki akses ke dalam ruangan tersebut. Hal ini menimbulkan kecurigaan akan adanya praktik-praktik ilegal yang disembunyikan dari pengawasan publik.

Salah satu poin krusial yang diungkapkan adalah mengenai mekanisme kerja tim yang tidak transparan. Prof. Henri menjelaskan bahwa selama ini publik salah kaprah dengan mengira bahwa Kominfo memiliki kemampuan langsung untuk men-take down situs atau konten ilegal secara otomatis. Faktanya, tim di Kominfo hanya melakukan pemantauan dan mengirimkan email permintaan blokir kepada penyedia layanan internet (ISP). Artinya, tindakan blokir tidak dilakukan oleh Kominfo, melainkan oleh ISP yang menerima daftar situs bermasalah tersebut.

“Jangan salah, yang men-take down itu bukan Kominfo, tapi ISP. Kami hanya mengirim email. Jadi kalau ada yang tidak diblokir, ya bukan salah kami sepenuhnya,” jelasnya.

Menurut Prof. Henri, selama ini masyarakat memiliki persepsi yang salah terkait mekanisme blokir situs oleh Kominfo. Ia menjelaskan bahwa Kementerian Kominfo hanya bertindak sebagai eksekutor yang mengirimkan permintaan blokir kepada Internet Service Provider (ISP). Namun, pelaksanaannya tergantung pada ISP yang bersangkutan.

“Kominfo itu tidak memblokir langsung, mereka hanya mengirimkan permintaan blokir. Kalau ISP-nya tidak menindaklanjuti, maka konten tersebut tetap bisa diakses,” jelas Henri.

Menurut Prof. Henri, ada oknum-oknum yang memiliki kekuasaan untuk mengizinkan situs-situs tertentu tetap beroperasi. Caranya dengan tidak memasukkannya ke dalam daftar blokir yang dikirim ke ISP. Hal ini menurutnya membuka celah korupsi dan kolusi di dalam tim Kominfo.

Prof. Henri juga menyinggung soal lemahnya pengawasan terhadap konten ilegal, termasuk judi online dan penipuan digital yang semakin marak. Ia menyebut bahwa berdasarkan data dari Kompas dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), transaksi judi online di Indonesia mencapai angka ratusan triliun rupiah per tahun. Namun, upaya Kominfo untuk menekan angka tersebut dinilai kurang efektif.

“Kalau memang efektif, kenapa masih ada situs judi yang bebas diakses tanpa VPN? Ada yang tidak beres di sini,” tambah Prof. Henri dengan nada prihatin.

Menutup sesi wawancara, Prof. Henri mengusulkan agar pemerintah mengambil langkah-langkah yang lebih radikal dalam menangani permasalahan ini. Ia menyarankan agar tim penanganan konten diperkuat dengan tenaga profesional yang memiliki integritas tinggi, bukan hanya dari kalangan anak muda tanpa pengalaman.

“Ini tidak bisa diselesaikan dengan cara-cara konvensional. Kita perlu pendekatan yang radikal untuk membersihkan kementerian dari oknum-oknum yang bermain di belakang layar,” tegasnya.(c@kra)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *