MoneyTalk, Jakarta – Dalam beberapa hari terakhir, pernyataan Presiden Jokowi mengenai dana sebesar 11.000 triliun rupiah yang berada di luar negeri kembali menjadi sorotan. Hal ini dipicu oleh wawancara Yanuar Rizky, seorang pakar ekonomi, di kanal YouTube Awalil Rizky pada Kamis (14/11).
Dalam wawancara tersebut, Yanuar menyatakan, meskipun uang tersebut memang ada, upaya pemerintah termasuk program tax amnesty yang telah dilakukan, belum berhasil secara optimal membawa pulang dana tersebut. Pernyataan ini memunculkan berbagai spekulasi mengenai kegagalan pemerintah dalam menarik kembali dana yang disimpan oleh para konglomerat Indonesia di luar negeri.
Pernyataan Presiden Jokowi mengenai adanya uang sebesar 11.000 triliun rupiah di luar negeri sebenarnya sudah lama beredar. Menurut Jokowi, uang ini berasal dari dana milik warga negara Indonesia yang disimpan di luar negeri, baik dalam bentuk aset maupun uang tunai. Pemerintah sebelumnya telah berusaha untuk menarik uang tersebut melalui program tax amnesty yang diluncurkan pada 2016. Namun, menurut Yanuar Rizky, program tersebut tidak berhasil mencapai target yang diharapkan.
Tax amnesty pertama yang diadakan oleh pemerintahan Jokowi pada 2016 memang diakui sebagai salah satu program pengampunan pajak terbesar dalam sejarah Indonesia. Namun, menurut Yanuar, program ini justru lebih banyak dimanfaatkan oleh segelintir pihak, terutama perusahaan besar seperti BCA, yang desas-desusnya memiliki keterkaitan dengan skandal Panama Papers. Yanuar menegaskan, meskipun ada pengampunan pajak, dana besar yang diharapkan masuk ke Indonesia justru tidak signifikan.
Yanuar Rizky menyebut bahwa kegagalan tax amnesty ini terkait dengan fenomena rentier capitalism, di mana modal dan kekayaan terkonsentrasi pada segelintir elit ekonomi. Menurutnya, Indonesia telah terjebak dalam sistem ini, di mana oligarki lokal menggunakan isu-isu tertentu untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Isu seperti korupsi dan penghindaran pajak sering kali digunakan sebagai alat untuk mengancam lawan politik atau sebagai taktik mempertahankan aset yang tersembunyi di luar negeri.
“Sejak tax amnesty pertama, hanya sedikit konglomerat yang benar-benar membawa pulang aset mereka ke Indonesia. Sebagian besar hanya melaporkan sebagian kecil dari aset yang mereka miliki di luar negeri,” ujar Yanuar.
Bahkan, dana yang diklaim berhasil dibawa pulang lebih banyak dimanfaatkan oleh konglomerat untuk mengamankan aset mereka tanpa ada kontribusi nyata terhadap perekonomian domestik.
Dalam wawancara tersebut, Yanuar menyarankan pendekatan yang lebih tegas dan terstruktur untuk mengatasi masalah ini. Dia menyebut bahwa pemerintah harus bertindak seperti Robin Hood, yaitu mengambil kembali dana-dana yang tersembunyi dan memanfaatkannya untuk kepentingan negara.
Yanuar mengusulkan adanya badan khusus di bawah Kementerian Keuangan atau Badan Intelijen Pajak yang bertugas mengidentifikasi aset-aset yang disimpan di luar negeri oleh warga negara Indonesia. Badan ini tidak hanya akan mengandalkan program pengampunan pajak, tetapi juga akan menggunakan pendekatan hukum untuk menarik kembali dana-dana tersebut.
“Ini adalah Robin Hood yang sesungguhnya untuk negara,” tambahnya.
Lebih lanjut, Yanuar juga mengkritisi model bisnis BUMN yang ada saat ini. Dia menyoroti bahwa BUMN terpecah-pecah, sehingga sekuritisasi asetnya tidak optimal. Sebagai solusi, Yanuar mengusulkan konsep holding BUMN, di mana perusahaan-perusahaan BUMN yang terkait bisa digabungkan menjadi satu entitas besar seperti model yang digunakan di Malaysia dengan Petronas. Hal ini akan memungkinkan BUMN memiliki kekuatan lebih besar untuk melakukan sekuritisasi aset dan menarik dana investasi dari luar negeri.
Menurutnya, holding BUMN ini nantinya bisa mengelola dana besar untuk proyek-proyek strategis tanpa harus bergantung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Jika semua BUMN dikonsolidasi, total asetnya bisa mencapai 15.000 triliun rupiah,” kata Yanuar. Dana tersebut kemudian bisa digunakan untuk sekuritisasi atau penerbitan obligasi, yang pada akhirnya akan membantu pembiayaan pembangunan tanpa harus bergantung pada utang luar negeri.
Yanuar juga menyoroti bahwa Indonesia terjebak dalam lingkaran rentier capitalism dan rentier oligarchy, di mana kekuasaan ekonomi dikuasai oleh segelintir elit yang memonopoli aset-aset strategis negara. Fenomena ini menyebabkan ketimpangan yang semakin lebar, di mana kekayaan hanya terkonsentrasi pada segelintir orang kaya.
Rentier capitalism sendiri adalah sebuah sistem di mana negara atau entitas tertentu mendapatkan pendapatan dari kepemilikan aset atau hak eksklusif tertentu tanpa terlibat langsung dalam proses produksi. Menurut Yanuar, jika Indonesia ingin keluar dari perangkap rentier capitalism ini, diperlukan figur pemimpin yang tegas dan tidak terjebak pada permainan elite.
Pernyataan Yanuar Rizky menyoroti tantangan besar yang dihadapi Indonesia dalam upaya menarik kembali dana yang disimpan di luar negeri. Program tax amnesty yang diharapkan menjadi solusi ternyata belum berhasil mencapai tujuannya. Hal ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintahan Jokowi, terutama di tengah desakan publik yang semakin kritis terhadap kebijakan ekonomi pemerintah.
Apakah pendekatan Robin Hood untuk negara yang diusulkan Yanuar akan menjadi solusi yang efektif? Atau, apakah pemerintah akan kembali gagal dalam mengatasi masalah oligarki yang membelit ekonomi Indonesia? Yang jelas, diskusi ini membuka babak baru dalam upaya mereformasi kebijakan fiskal dan ekonomi di Indonesia.(c@kra)