MoneyTalk, Jakarta – Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 berbunyi: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Pasal 9 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia berbunyi: “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan mempunyai pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan dan pendapat dengan cara apapun juga dan dengan tidak memandang batas-batas”.
Tim Advokasi yang terdiri dari berbagai organisasi advokasi/bantuan hukum, kantor hukum, dan individu advokat mengecam keras upaya kriminalisasi terhadap Said Didu. Sejak awal, rangkaian proses hukum terhadap Said Didu ini kami duga bertujuan untuk membungkam kritik keras Said Didu terhadap implementasi kebijakan Proyek Strategis Nasional Pantai Indah Kapuk 2 (PSN PIK-2).
Alih-alih dihentikan, proses hukum ini justru terus berlanjut. Dalam perkembangan yang terbaru, Said Didu justru dipanggil oleh Satreskrim Polresta Tangerang untuk hadir memberikan keterangan sebagai saksi pada 19 November 2024. Ia akan dimintai keterangan sehubungan dengan dugaan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE tentang penyebaran informasi yang sifatnya menghasut dan menimbulkan kebencian, Pasal 28 ayat (3) UU ITE tentang penyebaran berita bohong, serta Pasal 310 tentang pencemaran nama, dan Pasal 311 KUHP tentang fitnah.
Lebih lanjut, terkait dengan proses hukum terhadap Said Didu ini, kami berpandangan sebagai berikut:
Pertama, proses hukum terhadap Said Didu adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan hak konstitusional warga negara. Hal tersebut karena berbagai pernyataan Said Didu terkait dengan PSN PIK-2 merupakan pendapat atau ekspresi yang disampaikan di ruang publik secara sah dan damai, serta dijamin oleh berbagai instrumen hukum dan HAM baik di level nasional maupun internasional.
Dalam konteks ini, negara, khususnya pemerintah berposisi sebagai pemangku kewajiban (duty bearer). Artinya negara wajib menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM dan hak konstitusional warga negara. Oleh karenanya, segala macam gangguan atau intervensi terhadap pendapat atau ekspresi individu, dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM. Termasuk di dalamnya gangguan atau intervensi yang dilakukan melalui suatu proses hukum.
Kedua, Said Didu adalah figur publik yang aktif menyuarakan berbagai persoalan ketidakadilan, khususnya mengenai proyek-proyek pembangunan yang tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat. Bukan hanya soal PSN PIK-2, Said Didu juga mengkritisi PSN Rempang Eco City, proyek pembangunan Bandara Kertajati dan jalan tol Becakayu, serta banyak kebijakan pembangunan lainnya. Kritik yang disuarakan di ruang publik merupakan bagian dari partisipasi warga negara untuk kepentingan publik. Hal tersebut adalah hal yang lumrah dalam negara yang mengaku diri sebagai negara yang demokratis.
Jika dikaitkan dengan proses hukum yang bergulir terhadapnya, maka hal ini kami nilai sebagai kriminalisasi. Adapun yang kami maksud sebagai kriminalisasi merujuk pada penegakan hukum yang dilakukan bukan untuk tujuan penegakan hukum itu sendiri. Akan tetapi, kewenangan-kewenangan penegakan hukum yang seolah-olah bertujuan untuk menegakan hukum dan motif lain di baliknya, yang semata-mata hanyalah untuk merugikan seseorang yang diproses hukum dilandasi dengan itikad buruk (improper motive or improper purpose).
Itikad buruk tersebut salah satunya dapat dilihat dari ketidakjelasan kedudukan hukum (legal standing) pihak yang diduga sebagai pelapor. Sebagaimana diketahui dari berbagai pemberitaan yang beredar, Said Didu dilaporkan ke Polresta Tangerang oleh seseorang bernama Maskota, yang merupakan Kepala Asosiasi Pemerintahan Desa Indonesia (APDESI) Kabupaten Tangerang sekaligus Kepala Desa Belimbing, Kecamatan Kosambi Kabupaten Tangerang.
Jika dicermati, tidak ada relevansi antara pernyataan Said Didu dengan Maskota. Dalam berbagai pernyataannya mengenai PSN PIK-2, Said Didu bahkan tak sekalipun pernah menyebut nama Maskota. Oleh karenanya, sudah barang tentu tidak ada pula kerugian materiil maupun immateriil yang dialami Maskota sebagai pelapor.
Berdasarkan berbagai informasi dan kecenderungan anti kritik pihak-pihak yang berkepentingan dalam PSN PIK-2, seperti melakukan somasi terhadap media yang meliput dampak buruk pembangunan PSN PIK-2, kami menduga kuat bahwa proses hukum terhadap Said Didu ini merupakan upaya kriminalisasi guna memuluskan proses pembangunan. Hal ini sejalan dengan temuan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang mencatat kriminalisasi sebagai salah satu pola untuk menaklukan pihak yang kritis. Dalam temuan tersebut, YLBHI menemukan adanya 43 kasus kriminalisasi sejak kebijakan PSN diimplementasikan.
Ketiga, sebagaimana telah dijelaskan di atas, Said Didu dilaporkan dengan Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 28 ayat (3) UU ITE, serta Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Jika dicermati, pasal- pasal tersebut sama sekali tidak relevan dengan apa yang dilakukan oleh Said Didu. Unsur- unsur dalam pasal-pasal tersebut tidak terpenuhi jika dikaitkan dengan apa yang menjadi kritik Said Didu.
Sejak awal, Said Didu secara konsisten mengkritik pembangunan PSN PIK-2. Dalam berbagai kritiknya, yang menjadi titik fokus adalah mengenai implementasi PSN PIK-2 menimbulkan persoalan ketidakadilan. Tidak terdapat tendensi SARA maupun kebohongan, apalagi kerusuhan atau keonaran yang timbul dalam kehidupan sosial masyarakat sebagaimana yang dituduhkan.
Oleh karenanya, penerapan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan SKB antara Menkominfo RI, Kapolri, dan Jaksa Agung mengenai Pedoman Implementasi UU ITE disebutkan mengenai pentingnya pembuktian motif dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang harus betul-betul membangkitkan permusuhan atas dasar SARA. Begitu pula dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU ITE dan kaidah hukum dalam Putusan MK Nomor 78/PUU- XXI/2023 yang pada pokoknya menyatakan bahwa “kerusuhan” atau “keonaran” adalah kondisi yang mengganggu ketertiban umum di ruang fisik, bukan kondisi di ruang digital/siber.
Hukum pidana merupakan ultimum remedium atau upaya terakhir, yang seharusnya digunakan dalam hal upaya-upaya lain telah dicoba dan tidak memadai untuk menyelesaikan permasalahan sosial-kemasyarakatan. Dalam kasus ini, sudah sepatutnya digunakan terlebih dahulu upaya-upaya lain di luar hukum pidana seperti klarifikasi atau mediasi maupun upaya- upaya pada bidang hukum lain. Penggunaan instrumen hukum pidana sebagai langkah awal dan utama (premium remedium) justru menguatkan dugaan bahwa aparat penegak hukum tidak paham dan taat asas, serta dalam pelaksanaan kerja-kerjanya rentan diintervensi kepentingan korporasi tertentu.
Berdasarkan pandangan-pandangan kami di atas, demi keutuhan demokrasi serta ikhtiar penghormatan dan perlindungan HAM, kami mendesak Kapolri untuk memerintahkan jajaran di bawahnya, khususnya Kapolresta Tangerang agar segera menghentikan proses penyidikan dalam perkara ini.
Kami juga mengajak seluruh elemen masyarakat, organisasi masyarakat sipil, dan rekan- rekan media untuk terus mengawal kasus ini. Salah satunya dengan hadir memberikan dukungan dan melakukan peliputan terhadap proses pemeriksaan yang dijadwalkan pada Selasa, 19 November 2024 pukul 11:00 WIB di Polres Kota Tangerang, Jalan Abdul Hamid, Tigaraksa, Kab. Tangerang, Banten.
Hormat kami,
Tim Pengacara:
LBHAP PP Muhammadiyah YLBHI, LBH Jakarta, Themis Indonesia, AMAR Law Firm PBHI.
Didukung oleh lebih 200 individu berlatar belakang aktivis dan tokoh nasional yang bergabung dalam Tim Advokasi Korban Penggusuran.
Demikian Siaran Pers disampaikan oleh Tim Pengacara Dr. Muhammad Said Didu, diterima Redaksi MoneyTalk, Jakarta, 18 November 2024.