Tom Lembong Ditangkap, Inikah Praktik Industri Hukum di Indonesia?

  • Bagikan
Tom Lembong Ditangkap, Inikah Praktik Industri Hukum di Indonesia?
Tom Lembong Ditangkap, Inikah Praktik Industri Hukum di Indonesia?

MoneyTalk, Jakarta – Penangkapan mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong, atau yang lebih dikenal dengan Tom Lembong, oleh Kejaksaan Agung pada 29 Oktober 2024 menimbulkan gelombang pro dan kontra di kalangan publik. Tom Lembong ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi impor gula pada periode 2015-2016, yang disebut merugikan negara sekitar Rp 400 miliar. Kasus ini tidak hanya menjadi sorotan karena skala kerugiannya, tetapi juga memicu pertanyaan mendalam tentang praktik penegakan hukum di Indonesia.

Kebijakan impor pangan memang bukan hal baru di Indonesia. Bahkan, hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada pengelolaan impor pangan sejak 2015 hingga Semester I 2017 menunjukkan 11 kesalahan kebijakan impor pada berbagai komoditas. Seperti beras, gula, garam, kedelai, sapi, dan daging sapi.

Laporan BPK tersebut menyoroti empat masalah utama: kebijakan impor yang tidak diputuskan di rapat Kemenko Perekonomian, impor tanpa persetujuan Kementerian Pertanian, data kebutuhan impor yang tidak akurat, serta impor yang melebihi tenggat waktu. Lalu, mengapa hanya Tom Lembong yang diproses secara hukum?

Apakah ini penegakan hukum yang tebang pilih, atau ada agenda tersembunyi di balik kasus ini? Mengingat data BPK sudah menunjukkan potensi penyimpangan sejak 2015 hingga 2017, mengapa baru sekarang ada tindakan hukum? Adakah kepentingan politik di balik langkah Kejaksaan Agung?

Guru Besar Hukum Pierre Suteki menyoroti fenomena “Industri Hukum” di Indonesia, yang mana penegakan hukum sering kali tidak lagi didasari asas keadilan. Beliau menilai, hukum kerap kali dipermainkan demi kepentingan tertentu, yang menciptakan kesan bahwa negara telah bertransformasi menjadi “Indonesia Corporation”. Ini merujuk pada fenomena di mana hukum tidak lagi menjadi instrumen keadilan, melainkan alat untuk memenuhi keuntungan pihak-pihak berkuasa.

Fenomena Trial by the Press juga menjadi sorotan. Dalam konteks ini, media lebih dipercaya daripada pengadilan, sehingga menciptakan Trial Without Truth yang berujung pada Trial Without Justice, seperti dikatakan oleh William T. Pizzi. Hal ini menciptakan persepsi bahwa hukum di Indonesia telah dicabut dari nilai-nilai keadilan yang seharusnya dijunjung tinggi.

Pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD pada tahun 2019 tentang tergerusnya nilai keadilan dalam penegakan hukum Indonesia semakin memperkuat dugaan bahwa praktik industri hukum memang terjadi. Mahfud menyebutkan adanya praktik dagang hukum yang nyata, di mana perkara perdata bisa diubah menjadi pidana, atau sebaliknya, demi memenuhi kepentingan tertentu.

Mahfud bahkan menyindir, “Masih ada oknum penegak hukum yang membuat surat kaleng demi menceraikan istrinya.”

Menurut Mahfud, praktik ini bukan hanya terjadi di kepolisian tetapi juga di kejaksaan dan pengadilan, yang menciptakan “Police Corporation,” “Prosecutor Corporation,” “Court Corporation,” hingga “Prison Corporation.” Artinya, penegakan hukum tidak lagi berdasarkan asas keadilan, melainkan profit.

Jika fenomena industri hukum benar adanya dan terus dibiarkan, maka Indonesia akan terjerumus dalam jurang Police State, di mana aparat hukum menjadi alat kekuasaan untuk menindas. Ini menciptakan ketidakadilan yang semakin memperlebar jurang kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum.

Sistem yang diharapkan bisa mengayomi justru berubah menjadi alat represi yang menakutkan. Pierre Suteki menyoroti pentingnya penegakan hukum yang berlandaskan akhlak dan moralitas, bukan semata-mata profit. Tanpa itu, hukum akan terus menjadi alat dagang yang memperjualbelikan kebenaran dan keadilan.

Idealnya, hukum harus dijalankan dengan prinsip “Equality Before the Law”, di mana semua orang setara di depan hukum, tanpa memandang status atau kekuasaan. Namun, realitas di Indonesia menunjukkan bahwa hukum tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Ini menggambarkan bagaimana hukum lebih sering menyasar rakyat kecil atau pihak yang tidak memiliki kekuatan politik, sementara elite dan kroni mereka seakan kebal hukum.

Kasus Tom Lembong ini bisa menjadi cermin bagi kita semua. Jika penegakan hukum hanya sebatas alat politik untuk melumpuhkan lawan atau membungkam kritik, maka kita tidak lagi hidup dalam negara hukum, melainkan negara industri hukum.

Kejadian ini menunjukkan pentingnya reformasi mendasar dalam sistem penegakan hukum di Indonesia. Dalam banyak hal, penegakan hukum di negara ini lebih sering dijadikan alat kekuasaan dibandingkan sebagai penjaga keadilan. Reformasi yang dibutuhkan bukan hanya dalam bentuk regulasi, tetapi juga dalam mentalitas para penegak hukum itu sendiri.

Mungkin sudah saatnya Indonesia meninjau kembali sistem hukum dan peradilannya, dan beralih pada pendekatan yang lebih humanis dan berbasis pada kebenaran substantif. Penegakan hukum tidak boleh menjadi ajang bisnis, melainkan harus diarahkan untuk kesejahteraan sosial. Penegakan hukum tidak boleh menjadi “ladang bisnis” tetapi harus menjadi “ladang keadilan.”(c@kra)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *