MoneyTalk, Jakarta – Indonesia antara ada dan tiada. Ada yang berbeda sikap Pak Prabowo terhadap Amerika, tapi bukan gaya duduknya di hadapan Joe Biden, penguasa Amerika saat ini, bukan gaya canggungnya berbicara, tetapi pandangannya terhadap Amerika. Pak Prabowo ucapakan selamat kepada Trump seolah bukan sebagai Presiden Republik Indonesia, tetapi seperti mantan serdadu Amerika kepada atasannya yang menjadi menjadi Presiden.
Media sosial di dunia Arab membahas rekaman video telepon Presiden Republik Indonesia sebagai muslim terbesar di dunia ke Presiden Amerika terpilih, Donald Trump, yang mengakui Jerusalem sebagai ibukota Israel. Pak Prabowo pernah belajar anti-terror di Fort Benning Amerika itu benar, dan sudah sangat lama, di era 1985. Tapi, nampaknya pendidikan di sana membekas sangat dalam.
Kita belum melihat (setidaknya belum secara langsung) bagaimana sikap beliau kepada Israel, di mana beliau juga dididik di Lembaga Intelejen Israel, Mossad. Tapi, ini bukan kali pertama, beberapa tahun lalu Fadli Zon dan Setya Novanto mengunjungi Amerika dan berjumpa dengan Trump, dengan tersipu-sipu, dan bangga. Pertanyaannya: Mengapa harus “bersimpuh” di hadapan negeri pencipta terorisme internasional?
Para pendiri negara ini tidak memiliki catatan kelam sejarah dengan bersimpuh di hadapan Amerika, kecuali di era Suharto, ayah mertua Pak Prabowo, dan puncaknya adalah ketika Michel Camdessus berdiri di samping Suharto sembari menyilangkan tangannya ketika Suharto menandatangani bantuan IMF pada 1998.
Saya tidak tahu apakah Pak Prabowo masih ingat bagaimana Trump dengan lantang mengakui Jerusalem sebagai ibukota “Israel”, yang disambut dengan gegap gempita kebahagiaan luar biasa di tel aviv, dan banjir airmata duka di dunia Islam. Padahal perjuangan menjadikan Jerusalem sedang mati-matian diperjuangkan negara-negara pendukung Palestina.
Kebijakan Trump bertentangan dengan konsititusi kita, dan bahkan sebaliknya. Tidak ada sama sekali handshake dengan mereka. Jika mereka berani mendukung penindasan di mata dunia internasional, lalu bagaimana dengan penindasan terselubung di Republik Indonesia?
Harus diakui bahwa pidato wakil mentri luar negeri Indonesia Pak Anis Matta cukup keras terhadap Israel, bahkan meminta PBB mengeluarkan Israel dari PBB. Tapi, akan berapa lama Pak Anis Matta bertahan? Ucapan ini akan membelenggu langkah Pak Prabowo mendekati Amerika Serikat dan cepat atau lambat hal seperti ini akan mengganggu kebijakan luar negeri Pak Prabowo dan mungkin dienyahkan oleh pemerintah, atau dibungkam. Entah sementara, atau selamanya.
Perlu dicatat, bahwa AS melarang masuk Pak Prabowo hingga saat Pak Prabowo menjadi Menteri Pertahanan di era Pak Jokowi 2019 lalu. Mengapa? Amerika punya kepentingan pembelian peralatan militer jor-joran oleh menteri pertahanan Indonesia. Dan hasilnya? Kita menandatangani pembelian 24 pesawat tempur F-15X dari negeri Paman Sam dengan harga total 14 Milyar dollar atau sekitar 200 trilyun rupiah termasuk berbagai peralatan militer lainnya. Padahal Pak Prabowo tahu persis bahwa AS mengembargo pembelian suku cadang pesawat F16 kita karena kerusuhan pasca jejak pendapat di Timor Timur pada era Presiden Habibie. AS bisa melakukan apapun terhadap kita ketika kita bergantung dengan mereka. Saya khawatir kita semua mengalami amnesia massal.
Memang, ketika dunia dihadapkan dalam kecenderungan maka kita dihadapakan pada pilihan cenderung ke Barat dengan Amerika Serikat sebagai pimpinan atau ke Timur di mana ada Rusia dan Cina di sana. Tapi, bukankah ketika Bung Karno membentuk Conefo pada 1965 merupakan bentuk penolakan kepada blok manapun? Kita tidak mendorong pembentukan Lembaga PBB tandingan seperti Conefo tetapi setidaknya kita memiliki sikap conefo, Conefo minded, atau Conefo principles.
Amerika pandai menciptakan musuh bersama, demi kepentingan mereka. Lihatlah dalam kasus Al Qaeda, ISIS atau dalam kasus menghadapi komunisme dan image kita terhadapnya sama dengan image yang diberikan Amerika dan sekutunya kepada rakyat Jerman soal Nazi. Kita dianggap kambing congek oleh mereka, yang hanya bisa mendengar apa kata mereka, atau monyet kecil yang menari dengan irama yang mereka tabuh. Kalau mau menari kita diberi satu kacang, dan jika membangkang rantai indah yang seperti kalung itu ditarik, dan kita terjengkang.
Timur Tengah
Pak Prabowo sebagai mantan perwira militer tentu tahu, apa yang terjadi di Timur Tengah terutama Gaza dan Libanon adalah sebuah aksi barbar israel yang mendapat dukungan hampir tak terbatas dari Amerika Serikat. Jika Pak Prabo tidak mengikuti berita di media-media penindasan dunia, untuk menyingkat tulisan ini kita katakan aksi 7 Oktober adalah aksi serangan umum 1 Maret yang dilancarkan Sri Sultan Hamengkubuwono IX kepada Belanda di Jogja. Itu adalah hak kita, dan hak mereka di Gaza. Di Gaza dan Libanon, israel melancarkan kekuatan militer yang sangat mematikan. Superioritas israel atas udara tentu tidak bisa diingkari, dengan kecanggihan teknologi udara untuk mengumpulkan informasi, menghancurkan target yang sangat menyakitkan bagi pejuang, dihadapan ketidakberdayaan dunia internasional. Bukan karena Joe Biden, tetapi baik Partai Republik dan Demokrat memiliki rekam jejak yang sama dalam dukungan kekejaman israel kepada rakyat Palestina. Keduanya menciptakan catastrophe bagi keadilan dan kemanusiaan di sana.
Jika bukan seperti yang dilakukan para pejuang Hizbullah, Houthi dan milisi Irak, apakah saran pak Prabowo adalah berdiplomasi dengan israel dan Amerika? Atau mengikuti jejak Saudi dan Bahrain menyatakan para pejuang Palestina dan Libanon sebagai teroris? Sebelum melangkan kesana baiknya Pak Prabowo membuka Kembali perjanjian apa yang dilakukan dengan israel dan AS dan apa hasilnya terhadap rakyat Palestina. Perjanjian Camp David menghasilkan tembok tinggi dan kawat berduri yang membentang sepanjang Rafah, antara mesir dan Gaza, dan perjanjian Oslo menghasilkan ketidakberdayaan Yasser Arafat dan Mahmoud Abbas atas pencaplokan lebih luas wilayah Tepi Barat dan tembok yang membentang di perbatasan Jalur Gaza dan wilayah Palestina Pendudukan.
Jika Pak Prabowo ingin berdiplomasi, bukankah berdiplomasi dengan kawan dahulu akan jauh lebih baik? Bukankah seharusnya diplomasi dilakukan kepada Iran, Irak, Suriah, Yaman, yang merupakan sekutu para pejuang Palestina dan Libanon? Tentu kita belum dapat menilai arah diplomasi pemerintah Indonesia yang baru dalam kasus Palestina, namun kunjungan Pak Prabowo ke Cina dan Amerika hanya beberapa minggu setelah dilantik adalah merupakan suatu ekspresi arah kebijakan dan sikap negara dalam persoalan dalam negeri dan dunia. Ingat bahwa tujuan Amerika dan sekutunya sejak 2001 adalah satu misi: the new middle east, dan setiap tangisan korban di Palestina dan Libanon adalah the birth pang of the new middle-east atau tangisan bayi Timur Tengah yang baru, sebagaimana pernah disampaikan oleh Condolizza Rize saat serangan israel ke Libanon pada 2006 silam. Sinting! Dan apakah kebijakan Pak Prabowo akan mengarah kepada kebijakan orang-orang sinting seperti ini?
Dalam kasus Libanon mislanya, kita memang mengirimkan pasukan perdamaian kesana, Pasukan Garuda yang tergabung dalam UNIFIL. Tetapi apa peran pasukan kita? Penjaga perdamaian? Perdamaian yang mana? Jika para pejuang hizbullah tidak pernah menyatakan berdamai dengan israel, lalu apa yang dijaga? Saya khawatir kita menjadi penjaga kepentingan pihak yang bukan seharusnya kita jaga. Ingat bahwa pada 2013 lalu ada sebuah insiden yang sangat memalukan di Libanon yang seharusnya Pak Prabowo sebagai menteri Pertahanan pada 2019-2024 memiliki rekaman ini. Sebuah insiden “ulah” TNI kita yang memata-matai posisi keberadaan pasukan Hizbullah di Libanon Selatan, mengidentifikasi posisi-posisi dimana para pejuang Libanon itu menyimpan roket-roketnya dan mengidentifkasi jalur masuknya roket. Insiden yang menyebabkan TNI kita di Naqoura diblokade oleh para pejuang Hizbullah untuk tidak dapat ke Beirut dan demikian juga para staff kedutaan tidak dapat ke Libanon Selatan selama kurun waktu tertentu. Bukan hanya itu, anggota TNI kita melewati zona-zona yang telah dibatasi oleh para pejuang Hizbullah di Libanon selatan, yang menyebabkan adanya insiden lain dengan perampasan semua electronic devices pasukan TNI kita yang berpatroli tersebut oleh para pejuang Hizbullah. Alasannya sederhana dan konyol: nyasar! Ini bukan by hear say, karena saat itu saya tengah berada di Jibchit, Libanon. Pertanyaan kita, lalu apa peran politik bebas-aktif TNI kita disana? Apakah Pak Prabowo akan membiarkan kondisi kita menjadi bahan berita konyol di middle-east, di tengah kasus pelecehan seksual dan perlakukan keji orang-orang arab terhadap tenaga kerja kita di Saudi Arabia misalnya?
By the way, kita lihat komentar pedas pak Prabowo ke wartawan Jerman Ketika Pak Prabowo hadir di sebuah seminar tentang Ukraina. Jawaban Pak Prabowo cukup pedas, menampar, salut. Tetapi Ketika kita berbicara penindasan terhadap kaum muslimin di Timur Tengah saya berharap pak Prabowo tahu persis kepada siapa tamparan itu harusnya dilayangkan juga, dan lebih keras, kepada Barat yang dipimpin oleh AS. Sebagaimana bung Karno lakukan Ketika membeli dua kapal selam dari Soviet dan mengisinya penuh dengan senjata ke Aljazair untuk membantu para pejuang disana membebaskan diri dari Perancis, apakah Pak Brabowo akan mengisi pesawat-pesawat Hercules dengan senjata untuk rakyat Gaza dan Libanon melawan aksi kekejaman Amerika di sana?
Penulis: Mochammad Baagil