Perang Intelijen Di Pertamina Dan Posisi Dirut Simon Mantiri

  • Bagikan
Posisi Penting Diisi Elite Partai, Pertamina Jadi Area Bancakan?
Posisi Penting Diisi Elite Partai, Pertamina Jadi Area Bancakan?

MoneyTalk, Jakarta – Henry Kissinger Mengatakan Control Oil and You Control Nations Amerika Melakukan itu Terhadap Indonesia. Operasi Intelijen CIA Menargetkan Pertamina Sejak Tahun 1973 Hingga Sekarang. Kontra Intelijen Pun Dilakukan Pihak Terkait. Tapi Tampaknya Presiden-Presiden di Indonesia dan Direktur-Direktur di Pertamina Lebih Senang Dengan Operasi CIA. Mengapa?*

Sejarah bermula pada Oktober 1973 ketika Raja Faisal dari Arab Saudi bersama OPEC mengembargo minyak kepada negara-negara barat pendukung Israel dalam Perang Yom Kippur. Setelah embargo, pada Maret 1974 harga minyak melambung dari USD 3 perbarel menjadi USD 12 perbarel. Oil Boom kedua pada 1979 membuat harga minyak menjadi USD 39 perbarel.

Oii Boom pertama dan kedua membuat negara-negara barat terutama Amerika Serikat mengalami resesi. Sejak saat itulah CIA melancarkan operasi intelijen kepada negara-negara anggota OPEC. Operasi CIA setelah Oil Boom 1974 adalah membunuh Raja Faisal pada tahun 1975. Sedangkan operasi CIA setelah Oil Boom 1979 adalah menyerang Iran melalui Presiden Irak, Saddam Husein pada tahun 1980. Arab Saudi dan Iran adalah produsen terbesar di OPEC.

Selanjutnya CIA membantu negara-negara produsen minyak non OPEC untuk berproduksi secara besar-besaran. Hingga produksinya lebih besar dari negara-negara OPEC. Membuat terjadinya banjir minyak sejak tahun 1981 dan harganya turun menjadi USD 25 perbarel.

Untuk negara anggota OPEC Indonesia, dimana kenaikkan harga minyak menjadi penopang utama pembangunan, CIA melakukan operasi membangkrutkan Pertamina. TO-nya Direktur Utama Pertamina, Ibnu Sutowo. Kekuasaannya yang sangat besar dan tidak dikontrol pemerintah dan DPR, menjadikan Pertamina seperti usaha pribadi. Hal ini membuat operasi CIA menjadi mudah.

Pertama, Ibnu Sutowo dimasukan dalam pergaulan para “Raja Minyak” dunia di New York, bersama raja minyak Rockefeller. Yang membuat jenderal kampung anak transmigran di Sumatera Selatan itu bergaya hidup bak Sultan. Uang Pertamina diselewengkan untuk membiayai gaya hidupnya yang hedon. Kedua, mengarahkan Ibnu Sutowo agar Pertamina melakukan ekspansi bisnis besar-besaran di luar bidangnya yang sangat beresiko. Ketiga, mengalihkan bisnis-bisnis Pertamina menjadi bisnis pribadi, yang salah satunya Hotel Hilton.

Puncaknya Pertamina mengalami krisis keuangan dengan hutang USD 10,5 miliar pada tahun 1976. Membuat Ibnu Sutowo keluar dari Pertamina. Hutang itupun ditutup APBN. Dibentuk tim bernama Komisi Empat untuk menyelidiki Pertamina. Hasilnya Ibnu Sutowo terbukti melakukan banyak korupsi. Tapi Presiden Suharto tidak memprosesnya, dengan alasan Ibnu Sutowo adalah pejuang kemerdekaan. Yang membuat banyak pihak curiga.

Operasi CIA terhadap Ibnu Sutowo dan Pertamina ini bukan tidak diketahui oleh intelijen Indonesia. Tetapi karena intelijen Indonesia waktu itu sangat terbelah antara Pro Amerika dan Nasionalis. Setelah tersingkirnya Waperdam Subandrio sebagai Kepala Badan Intelijen Negara yang Pro Komunis. Sayangnya di era Suharto intelijen pro Amerika sangat berkuasa, membuat intelijen nasionalis menyimpan dendam melakukan kontra intelijen.

Kelompok Intelijen Indonesia pro Amerika yang membantu operasi CIA, beralasan bahwa Ibnu Sutowo memiliki niat dan rencana untuk menjadi presiden menyingkirkan Suharto. Karena Ibnu Sutowo seorang jenderal, memiliki banyak uang dan kedekatan dengan Rockefeller “Elit Global Penguasa Dunia”. Alasan yang lumayan masuk di akal, namun sulit diterima. Mengingat dampaknya yang besar bagi negara hanya untuk menyingkirkan satu orang.

Operasi CIA terhadap Pertamina ternyata tidak berhenti di Ibnu Sutowo. CIA di Indonesia terus melakukan operasi terhadap Direktur-Direktur Pertamina selanjutnya hingga saat ini. Tujuannya menghambat produksi minyak di Indonesia terutama oleh Pertamina. Membuat APBN tergerus membiayai impor minyak. Namun operasi CIA tentu mendapat perlawanan dari intelijen Indonesia yang nasionalis.

Lalu bagaimana perang intelijen dalam kasus korupsi Pertamina Rp 193,7 Triliun di tahun 2023 ? Dan dimana posisi Dirut Simon Aloysius Mantiri dalam perang intelijen di Pertamina saat ini?

Penulisan: Nirmal Ilham,Tenaga Ahli DPR RI

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *