MoneyTalk, Jakarta – Putusan ini menjadi titik balik dalam upaya penyelamatan keuangan daerah, menyusul adanya dugaan pelanggaran hukum publik dan potensi kerugian negara senilai Rp1,2 triliun dalam proyek migas Jatinegara.
Kontrak Joint Operating Agreement (JOA) yang diteken pada 2011 dan diamandemen diam-diam pada 2012, 2013, dan 2019 dinilai bertentangan dengan Peraturan Daerah Kota Bekasi No. 9 Tahun 2009. Peraturan tersebut mewajibkan seluruh kerja sama strategis BUMD mendapat persetujuan DPRD, namun perjanjian dengan Foster Oil dijalankan tanpa persetujuan legislatif.
“Kontrak ini dibuat secara diam-diam, tanpa transparansi dan tanpa restu DPRD. Ini bukan sekadar wanprestasi bisnis, tetapi bentuk nyata penyalahgunaan wewenang,” ujar Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, dalam keterangan tertulisnya kepada MoneyTalk,Kamis (10/7/2025).
Foster Oil Gugat, MA Selamatkan APBD Bekasi
Setelah PD Migas membatalkan JOA dan mencopot General Manager dari Foster Oil pada 2020, pihak perusahaan asing tersebut menggugat balik ke Pengadilan Negeri Bekasi dan Pengadilan Tinggi Bandung. Mereka menuduh PD Migas melakukan wanprestasi dan menuntut ganti rugi sebesar Rp11,89 miliar.
Gugatan tersebut sempat dikabulkan sebagian oleh dua tingkat peradilan. Namun pada April 2022, Mahkamah Agung melalui putusan No. 985 K/Pdt/2022 mengabulkan kasasi PD Migas dan membatalkan seluruh amar putusan sebelumnya. MA menyatakan:
JOA dan seluruh amandemennya batal demi hukum;
PD Migas sah secara hukum membatalkan kontrak dan mencopot GM;
Seluruh gugatan Foster Oil ditolak dan biaya perkara dibebankan kepada mereka.
MA juga menegaskan bahwa “perjanjian yang bertentangan dengan peraturan daerah dan merugikan keuangan negara tidak boleh dilindungi hukum.”
Potensi Kerugian Rp1,2 Triliun dan Dugaan “Cuci Hukum”
Laporan BPKP pada 2020 menunjukkan skema bagi hasil kerja sama ini sangat timpang. Foster Oil mendapat 90% keuntungan, sedangkan PD Migas hanya 10%, padahal seluruh biaya operasional dibebankan kepada BUMD. Jika kerja sama berlanjut, potensi kerugian negara ditaksir mencapai Rp1,2 triliun dalam 10 tahun.
Menurut IAW, upaya membawa perkara ke jalur perdata diduga sebagai strategi untuk menutup pelanggaran hukum publik. “Ini modus pencucian hukum. Sengketa bisnis diskenariokan untuk menutupi penyalahgunaan wewenang yang merugikan daerah,” tegas Iskandar.
IAW Desak KPK dan Kejagung Turun Tangan
Berdasarkan temuan ini, IAW mendesak aparat penegak hukum untuk membuka penyidikan terhadap semua pihak yang terlibat dalam kontrak ilegal ini. IAW juga merekomendasikan:
Pertama, Audit nasional atas seluruh kontrak strategis BUMD, khususnya di sektor energi, air, dan properti.
Kedua,Penyelidikan oleh KPK dan Kejaksaan Agung berdasarkan UU Tipikor Pasal 3 dan KUHP Pasal 1365.
Ketiga, Reformasi kewenangan DPRD agar dapat memberikan pendapat hukum mengikat atas kontrak BUMD.
Dan Keempat, Pemberian sanksi pidana kepada kepala daerah atau direksi yang melanggar UU No. 23 Tahun 2014.
“Jangan biarkan jalur perdata disalahgunakan untuk menutupi kerugian negara. BUMD adalah milik rakyat, bukan alat kongkalikong elite daerah,” pungkas Iskandar.




