Mengapa MK Mesti Pertahankan Sistem Pemilu Proporsional Terbuka?

  • Bagikan

Jakarta,MoneyTalk – Hingga kini, MAHKAMAH Konstitusi (MK) belum juga memutuskan perkara pengujian materiil UU Pemilu terkait sistem proporsional terbuka/tertutup dalam Pemilu 2024. Padahal, saat ini proses pemilihan seperti pendaftaran caleg akan segera dilaksanakan KPU.

Ada sejumlah spekulasi politik yang beredar, bahwa lamanya MK memberikan putusan lebih didasari oleh pertimbangan politis dan bukannya hukum.

Memang saat kita membahas sistem pemungutan suara proporsional, atau sistem pemungutan suara secara umum, biasanya kita berbicara tentang bagaimana mereka mengalokasikan kursi ke partai politik. Tetapi parlemen lebih dari sekadar mengenai partai politik, melainkan juga tentang siapa individu yang akan dipilih dan menjadi anggota parlemen.

Ini adalah pertanyaan yang sangat penting dalam sistem Pemilu Proporsional, sebab terdapat perbedaan yang jelas antara sistem terbuka dan sistem tertutup, sistem panachage dan sistem kumulasi.

Namun, yang selalu jadi perdebatan di Indonesia adalah soal sistem pemilu proporsional terbuka dan sistem proporsional tertutup. Kedua sistem ini pernah diterapkan di Indonesia.

Sejak pemilu pertama pada tahun 1955 hingga pemilu akhir Orde Baru pada tahun 1997, sistem pemilu yang digunakan adalah sistem proporsional tertutup (Closed-List Proportional Representation). Sistem ini menekankan pentingnya peran parpol dalam pemilu untuk menempatkan calon dan penentuan calon di dasarkan pada nomor urut.

Kemudian, pada pemilu pertama era Reformasi tahun 1999, Indonesia masih tetap mengadopsi sistem pemilu proporsional tertutup dan terus dilanjutkan pada 2004.

Tetapi sistem itu diubah menjadi proporsional terbuka (Open-List Proportional Representation) pada 2009 karena sistem tertutup diduga memperkuat oligarkhi elit parpol dalam pencalonan. Sistem terbuka ini terus berjalan hingga Pemilu 2019.

Di bawah sistem terbuka, kontrol atas siapa yang terpilih sepenuhnya ada di tangan pemilih – kandidat dengan suara individu terbanyaklah yang terpilih.

Namun upaya untuk mengembalikan sistem tertutup kembali mengemuka setelah gugatan uji materi terhadap Pasal 168 Ayat (2) Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dimohonkan sejumlah warga negara ke Mahkamah Konstitusi (MK). Para pemohon meminta agar MK menyatakan pasal tersebut inkonstitusional, sehingga sistem pemilu di Indonesia dapat diganti dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup.

Kalau ditanya mana yang lebih baik? Jawaban saya jelas ada pada sistem proporsional terbuka. Alasannya adalah:

– Dalam hal legitimasi demokrasi, sistem terbuka jelas mengungguli sistem  tertutup. Dalam sistem terbuka pemilih memiliki kewenangan untuk memilih kandidat yang disukainya untuk menduduki kursi parlemen. Dengan begitu si calon legislatif akan terbebani langsung dengan pemilihnya karena janji-janji politiknya.

– Dengan sistem terbuka calon legislatif yang bukan dari kader partai memiliki kesempatan yang sama dengan kader partai dalam memperebutkan perolehan suara, sebab ia tidak terbebani dengan nomor urut.

– Dalam sejarah, negara-negara maju cenderung untuk memilih sistem proporsional terbuka. Negara-negara seperti Finlandia, Swedia, Belanda, Belgia, Denmark adalah sedikit contoh dari negara yang dimaksud. Suka atau tidak mereka merupakan negara-negara yang dalam penilaian Freedom House masuk ke dalam kelompok negara demokrasi mapan. Ini menunjukkan bahwa sistem pemilu proporsional terbuka memiliki efek yang jauh lebih baik dalam hal pengembangan sistem demokrasi.

– Hasil riset Big Data dan survei sejumlah lembaga survei menunjukkan bahwa lebih dari 50% publik menginginkan sistem proporsional terbuka.

– Bahkan delapan fraksi di DPR sudah menyatakan secara bersama menolak penerapan sistem proporsional tertutup dan mendukung sistem terbuka pada Pemilu 2024. Praktis hanya PDIP saja yang setuju dengan penerapan sistem proporsional tertutup.

–  Sejalan dengan pendapat mayoritas partai di DPR, pemerintah melalui Wakil Presiden Ma’ruf Amin juga menegaskan bahwa pemerintah mendukung sistem proporsional terbuka atau coblos caleg dalam pemilu.

Merujuk pada sejumlah keunggulan sistem pemilu proporsional terbuka, keinginan mayoritas public, keinginan meyoritas elite politik DPR, dan pemerintah, maka hemat saya, MK sebagai anak kandung reformasi,  mesti mempertahankan sistem proporsional terbuka. Tetap on the track pada Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada 23 Desember 2008, dengan mempertahankan pasal 168 ayat (2) UU No.7 tahun 2017.

Jika tidak mempertahankan sistem proporsional terbuka dan memilih mengabulkan gugatan pemohon dengan sistem proporsional tertutup, MK periode ini akan dikenang sebagai pengkhianat reformasi dan demokrasi.

Asrudin Azwar, S.Sos, M.Si
Dosen HI FISIP Universitas Jakarta dan Direktur Eksekutif Suara Politik Publik [SPP] Phone: [0812 1928 7686]

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *