Alamak…!!! Terbentuknya KIM Plus Mungkinkah Anies Menjadi Political Vagabond?
MoneyTalk, Jakarta – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) semakin ramai dibicarakan publik, terutama terkait Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jakarta yang selalu menjadi sorotan nasional. Salah satu yang turut memantau perkembangan ini adalah Sugiyanto (SGY), Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (Hasrat), yang menulis pandangannya dalam unggahan di laman Facebook-nya, sebagaimana dikutip oleh MoneyTalk pada Selasa (20/08/2024).
SGY menguraikan bahwa pada Senin, 19 Agustus 2024, Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus secara resmi mengusung Ridwan Kamil (RK) dan Suswono sebagai pasangan calon untuk maju dalam Pilgub Jakarta 2024. Deklarasi pasangan ini digelar di Hotel Sultan, Senayan, Jakarta, dan dihadiri oleh perwakilan dari dua belas partai politik.
Menurut SGY, kedua belas partai yang berkoalisi tersebut meliputi Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN, PSI, Gelora, dan Garuda, yang dikenal sebagai KIM. Dukungan juga diberikan oleh PKS, PKB, NasDem, PPP, dan Perindo, sehingga koalisi ini disebut sebagai KIM Plus. Pasangan RK-Suswono dijadwalkan akan didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta pada batas akhir pendaftaran, yaitu tanggal 27-29 Agustus 2024.
Saat ini, hanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang belum bergabung dengan KIM Plus. Namun, PDIP hanya memiliki 15 kursi di DPRD DKI Jakarta, sementara untuk mengusung Anies Baswedan sebagai calon gubernur DKI Jakarta dibutuhkan dukungan minimum 22 kursi. Dengan tidak adanya partai politik lain yang bisa diajak bergabung, peluang Anies untuk mendapatkan dukungan yang cukup semakin menipis.
Dengan kondisi ini, hampir pasti Anies Baswedan gagal maju dalam Pilkada Jakarta 2024. Hal ini menimbulkan banyak pertanyaan di kalangan publik, salah satunya: Mungkinkah Anies Baswedan akan menjadi “political vagabond” atau gelandangan politik? Pertanyaan ini relevan mengingat NasDem, PKS, dan PKB, yang sebelumnya diharapkan akan mengusung Anies, kini telah secara resmi meninggalkannya.
Situasi ini mungkin tidak pernah terbayangkan oleh Anies. Padahal, elektabilitasnya selalu berada di puncak berbagai survei menjelang Pilkada DKI Jakarta 2024. Tingginya elektabilitas ini mungkin telah membentuk kepercayaan diri Anies, membuatnya yakin akan mendapatkan tiket Pilkada melalui dukungan NasDem, PKS, dan PKB. Pada saat itu, Anies mungkin merasa tidak perlu secara aktif mencari dukungan dari partai-partai tersebut.
Dia mungkin berasumsi bahwa PKS, NasDem, dan PKB lebih membutuhkan dirinya untuk meningkatkan pengaruh politik mereka daripada sebaliknya. Pengalaman dukungan partai-partai ini saat Pilpres kepada Anies mungkin juga menjadi dasar harapannya untuk mendapatkan dukungan serupa di Pilkada Jakarta.
Namun, dinamika politik menunjukkan bahwa keyakinan ini mungkin keliru. Ketiga partai tersebut memang merupakan pendukung utama Anies dalam Pilpres Februari 2024. Namun, dukungan mereka tidak otomatis berlanjut dalam Pilkada DKI Jakarta pada November 2024.
Perbedaan Kondisi Antara Pilpres dan Pilkada
Perbedaan signifikan antara Pilpres dan Pilkada Jakarta harus dipertimbangkan dengan cermat. Dalam Pilpres, mendukung Anies adalah langkah strategis bagi partai-partai pendukungnya, seperti PKS, NasDem, dan PKB. Jika berhasil, mereka bisa menguasai eksekutif secara penuh, sebuah pencapaian besar dalam peta politik nasional.
Namun, dalam Pilkada Jakarta, mengusung Anies sebagai calon gubernur mungkin tidak menawarkan keuntungan yang sebanding. Bagi PKS, NasDem, dan PKB, jabatan gubernur DKI Jakarta mungkin tidak memiliki dampak kekuasaan yang cukup signifikan dibandingkan dengan skala nasional. Jabatan ini mungkin dianggap kurang strategis, terutama jika dilihat dari perspektif keuntungan jangka panjang yang lebih besar.
Bagi Anies sendiri, Pilkada Jakarta bisa menjadi batu loncatan menuju Pilpres 2029. Namun, dari sudut pandang partai-partai pendukungnya, pertaruhan ini mungkin dinilai tidak sepadan dengan risiko politik yang harus mereka hadapi. Ini terutama jika Anies tidak berhasil mengonsolidasikan dukungan yang solid atau jika perolehan suara di Pilkada tidak sesuai harapan.
Sikap independen Anies juga menambah kompleksitas situasi ini. Anies tampaknya enggan bergabung secara formal dengan salah satu partai politik pendukungnya. Kondisi ini bisa mempersempit peluang Anies untuk mendapatkan dukungan penuh dari PKS, NasDem, atau PKB.
Akhirnya, ketiga partai tersebut mungkin lebih cenderung mengusung kader mereka sendiri sebagai calon gubernur atau wakil gubernur. Sikap Anies yang mungkin menolak berafiliasi dengan partai tertentu dapat menjadi hambatan dalam membangun kesepakatan politik yang solid. Hal ini menempatkan Anies dalam posisi yang cukup sulit dalam peta politik Pilkada Jakarta, di mana dukungan partai sangat menentukan.
Biaya Kampanye dan Faktor Penentu
Biaya politik untuk Pilkada Jakarta juga bisa menjadi faktor penting yang menghalangi Anies. Kampanye Pilkada memerlukan dana yang besar, dan Anies Baswedan mungkin tidak memiliki sumber pendanaan yang cukup kuat untuk membiayai kampanye secara mandiri.
Permasalahan dana kampanye ini mungkin bisa menambah beban bagi partai-partai pendukungnya. Sebagai solusi alternatif, partai-partai tersebut mungkin harus mempertimbangkan apakah mendukung Anies sepadan dengan biaya dan risiko yang harus mereka tanggung.
Berdasarkan uraian di atas, ada setidaknya tiga faktor penting yang mungkin menjadi penyebab munculnya pertanyaan publik: mengapa Anies Baswedan gagal maju dalam Pilkada Jakarta dan berpotensi menjadi “political vagabond” atau gelandangan politik?
Faktor pertama adalah kemungkinan adanya kepercayaan diri yang berlebihan pada diri Anies Baswedan. Hal ini bisa saja memunculkan asumsi bahwa partai-partai politik lebih membutuhkan Anies daripada sebaliknya.
Faktor kedua,adalah kemungkinan sikap Anies yang menolak bergabung dengan partai politik. Sikap ini bisa mempersempit peluang Anies untuk mendapatkan dukungan dari partai-partai tersebut.
Faktor ketiga** adalah keterbatasan sumber dana yang mungkin dihadapi Anies Baswedan. Publik beranggapan bahwa Anies mungkin tidak memiliki sumber dana yang cukup untuk membiayai kampanye Pilkada Jakarta, yang dapat menjadi faktor penghambat dukungan terhadapnya.
Pada akhirnya, tanpa dukungan kuat dari PKS, NasDem, dan PKB, Anies mungkin harus menghadapi kenyataan pahit. Dampak terburuknya adalah karier politik Anies yang selama ini bersinar kemungkinan besar akan meredup. Situasi ini berpotensi membuat Anies kehilangan posisi kuat dalam pemerintahan serta dukungan dari partai politik.
Meskipun demikian, dalam politik, segala sesuatu bisa berubah dalam sekejap. Artinya, masih ada peluang bagi Anies Baswedan untuk ikut dalam Pilkada Jakarta 2024. Dalam hal ini, dukungan dari partai-partai politik hingga batas akhir pendaftaran pada akhir Agustus 2024 akan menjadi kunci utamanya.
Jika demikian, pertanyaan publik tentang kemungkinan Anies Baswedan menjadi “gelandangan politik” akan hilang dengan sendirinya. Alternatif lainnya, Anies Baswedan bisa mempertimbangkan untuk membentuk partai politik baru agar dapat berpartisipasi dalam Pilpres atau Pilkada Jakarta tahun 2029 mendatang. Wallahu a’lam bish-shawab. (c@kra)