Wow, Petisi 100 Menuntut Jokowi Ditangkap
MoneyTalk,Jakarta – Dalam demokrasi, selalu ada pro dan kontra terhadap kekuasaan. Hal ini merupakan bagian dari dinamika demokrasi, di mana pandangan dari berbagai sisi yang berbeda dapat menghidupkan diskusi dan refleksi tentang pemerintahan. Salah satu pandangan kritis ini datang dari kelompok Silaturahmi Tokoh Bangsa di Gedung Juang Jakarta, yang menyampaikan pandangannya terhadap pemerintahan Jokowi melalui “Petisi 100”. Petisi ini diterima redaksi MoneyTalk pada Senin (19/08).
Dalam pertemuan tersebut, kelompok Silaturahmi Tokoh Bangsa membentuk Badan Pekerja Petisi 100 yang anggotanya antara lain Marwan Batubara, Mayjen Purn. Soenarko, Anthony Budiawan, M. Rizal Fadillah, dan Syafril Sjofyan.
**Latar Belakang “Petisi 100″**
Petisi ini dilatarbelakangi oleh kekhawatiran terhadap gerakan politik Jokowi menjelang akhir masa jabatannya, yang dianggap oleh mereka sebagai sesuatu yang tidak lazim. Alih-alih fokus pada pembenahan dan transisi kekuasaan yang damai, Jokowi dianggap justru semakin memanfaatkan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi dan kelompok oligarki.
Menurut “Petisi 100”, Jokowi lebih mementingkan upaya melanggengkan kekuasaan bagi keluarganya, terutama untuk putranya, Gibran, yang dinilai direkayasa dalam proses pencalonannya sebagai wakil presiden, serta putra ketiganya, Kaesang, yang dicalonkan sebagai kepala daerah.
Selain itu, mereka mengkritik perpindahan Ibu Kota Negara (IKN) yang dipaksakan, bahkan sampai mengadakan peringatan HUT RI ke-79 di IKN. Kebijakan pemerintah juga dituduh sebagai upaya menyuap pihak-pihak tertentu dengan mengangkat proyek swasta seperti PIK-2 dan BSD menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN).
**Tekanan pada Partai Politik dan Dugaan KKN**
“Petisi 100” juga menyoroti dugaan tekanan terhadap partai politik, seperti PDIP dan Nasdem, serta upaya untuk mengobrak-abrik Partai Golkar. Petisi ini juga menuduh bahwa pemerintahan Jokowi menggunakan Kejaksaan Agung dan KPK sebagai alat politik untuk menekan lawan-lawan politiknya, sementara mereka yang dekat dengan Jokowi seolah-olah dilindungi dari proses hukum meskipun diduga terlibat dalam praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Mereka menilai bahwa dugaan KKN telah menjadi ciri khas rezim Jokowi, dengan dugaan penjarahan uang negara yang mencapai ribuan triliun rupiah tanpa rasa bersalah. Sistem peradilan yang seharusnya independen dianggap tumpul dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan orang dekat Jokowi, namun tajam terhadap mereka yang dianggap menghalangi kepentingan rezim.
**Utang Negara dan Sistem Pemilu**
Badan Pekerja Petisi 100 juga menyoroti utang pemerintah yang membengkak menjadi lebih dari Rp 8.800 triliun pada akhir masa jabatan Jokowi, jauh lebih besar dibandingkan dengan utang pada akhir masa jabatan SBY yang hanya Rp 2.608 triliun. Utang ini, menurut mereka, akan menjadi beban berat bagi rakyat Indonesia di masa depan.
Mereka juga mengkritik sistem Pemilu yang dianggap telah menghasilkan anggota legislatif yang tidak kritis dan berkualitas, serta memperkuat oligarki kekuasaan nepotis. Dalam pidato kenegaraan Jokowi pada 16 Agustus 2024, mereka menilai tidak ada pertanggungjawaban yang nyata, hanya seremonial belaka.
**Pernyataan Sikap “Petisi 100″**
Berdasarkan latar belakang tersebut, “Petisi 100” menyampaikan beberapa poin pernyataan sikap sebagai berikut:
1. Jokowi dan rezimnya dinilai telah gagal menunaikan amanat untuk memimpin negara dengan benar, jujur, profesional, dan bertanggung jawab, serta melanggar prinsip-prinsip moral Pancasila. Mereka mendesak agar Jokowi segera diberhentikan dari jabatannya.
2. Jokowi harus diproses dan diadili atas dugaan pelanggaran hukum dan praktik KKN yang dilakukan sendiri maupun bersama-sama. Mereka menuduh Jokowi melanggar sumpah jabatan, menginjak-injak konstitusi, dan mengkhianati negara dengan menyerahkan kendali kepada konglomerat dan negara asing, terutama Republik Rakyat China.
3. Sistem Pemilu harus diubah menjadi Sistem Distrik untuk menyederhanakan sistem kepartaian secara alamiah, sehingga menghasilkan anggota legislatif dan pemimpin yang kritis dan berkualitas.
4. TNI dan Polri diminta untuk lebih memihak rakyat daripada kepentingan penguasa atau konglomerat, serta melindungi masyarakat dari kezaliman rezim oligarki nepotis.
5. Seluruh elemen masyarakat diajak untuk peduli dan bergerak bersama memperbaiki bangsa dan negara menuju kehidupan politik yang lebih demokratis, bermoral, dan bertanggung jawab. Mereka menyatakan bahwa gerakan kekuatan rakyat semesta atau *people power* adalah keniscayaan.
Demikian pernyataan sikap “Petisi 100” yang disampaikan sebagai upaya untuk memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara, serta menegakkan kedaulatan rakyat. Tindak lanjut dari petisi ini akan dibahas lebih lanjut oleh Badan Pekerja Petisi 100 yang beranggotakan 20 orang. Hal ini disampaikan oleh salah satu anggota Badan Pekerja Petisi 100, Syafril Sjofyan, saat dikonfirmasi oleh *MoneyTalk* pada Selasa (20/08).
“Tindak lanjut akan dibahas oleh Badan Pekerja yang terdiri dari 20 orang,” ujar Syafril singkat. (c@kra)