Hanura kritik MK sebagai Pembangkang Konstitusi
MoneyTalk, Jakarta – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 60 dan 70 mendapat dukungan dari sebagian masyarakat, tetapi juga menimbulkan keraguan dari beberapa kalangan yang mempertanyakan kredibilitas MK. Putusan ini dianggap melebihi kewenangan yang seharusnya, dengan tuduhan bahwa MK telah menciptakan pasal-pasal baru yang tidak sejalan dengan konstitusi. Hal ini menjadi perhatian serius Inas N. Zubir, kader dan politisi senior Partai Hanura, yang menyampaikan pandangannya dalam sebuah tulisan yang diterima oleh MoneyTalk.id pada Minggu, (25/08).
Inas menjelaskan bahwa pembangkangan konstitusi merujuk pada tindakan yang melanggar atau tidak mematuhi ketentuan yang diatur dalam konstitusi suatu negara. Menurutnya, pembangkangan konstitusi dapat dilakukan oleh berbagai lembaga negara, termasuk DPR, MK, MA, dan pemerintah. Tindakan semacam ini, menurut Inas, dapat mengancam stabilitas hukum dan merusak fondasi negara, karena konstitusi merupakan dokumen dasar yang menjamin hak-hak warga negara dan mengatur hubungan antara kekuasaan pemerintah dan rakyat.
Inas menegaskan bahwa landasan konstitusi Indonesia, yang termuat dalam Pasal 20 UUD 1945, dengan jelas menetapkan bahwa lembaga yang memiliki kewenangan untuk membentuk undang-undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Proses pembentukan undang-undang tersebut harus melalui beberapa tahapan.
Pertama,setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.
Kedua,Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama menjadi undang-undang.
Dan ketiga, Jika Presiden tidak mengesahkan rancangan undang-undang dalam waktu tiga puluh hari sejak disetujui bersama, maka rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
Inas juga menjelaskan bahwa undang-undang adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan Presiden, yang terdiri dari norma dan aturan yang mengatur perilaku masyarakat. Norma dalam undang-undang mencakup nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar, sedangkan aturan adalah ketentuan konkret yang harus dipatuhi oleh individu dan institusi.
Lebih lanjut, Inas mempertanyakan apakah MK memiliki kewenangan untuk membentuk undang-undang, bahkan hanya satu ayat atau satu pasal saja. Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf (a) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, MK memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945, yang berarti menilai apakah suatu undang-undang sesuai dengan ketentuan dan prinsip-prinsip konstitusi.
Jika undang-undang atau norma dalam undang-undang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, maka undang-undang atau norma tersebut dapat dibatalkan atau dinyatakan tidak berlaku oleh MK. Namun, Inas menekankan bahwa kewenangan MK terbatas pada pengujian undang-undang saja, sehingga MK tidak berwenang menciptakan norma baru yang setara dengan pembentukan undang-undang. Kewenangan untuk membentuk undang-undang sepenuhnya berada di tangan DPR.
Dalam kasus judicial review UU No. 10/2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, Inas menuduh MK telah melampaui kewenangannya dengan menciptakan pasal dan ayat baru dalam undang-undang tersebut. Tindakan ini dianggap melanggar UUD 1945 karena perubahan dan pembentukan undang-undang seharusnya berada di tangan DPR bersama pemerintah.
“Dengan demikian, jelas bahwa MK telah bertindak di luar batas wewenangnya dan membangkang terhadap konstitusi UUD 1945,” tutup Inas dalam pernyataannya. (c@kra)