Status Hukum Ojek Online Sepatutnya Menjadi Hubungan Kerja Bukan Mitra
MoneyTalk, Jakarta – Agustinus Edy Kristianto, seorang pemerhati dan pendukung komunitas ojek online (ojol), mengungkapkan pandangannya terkait rencana aksi demo besar-besaran yang akan dilakukan para pengemudi ojol.
Dalam sebuah tulisan yang diterima oleh MoneyTalk.id, Edy dalam tulisannya pada (30/08) menyampaikan simpati dan dukungannya terhadap aksi ini yang menuntut status hukum ketenagakerjaan dan keadilan tarif.
Edy menggarisbawahi bahwa demo ini diperkirakan akan diikuti oleh sekitar 1.000 pengemudi ojol.
Namun, angka ini terbilang kecil, hanya 0,04% dari total 2,5 juta mitra pengemudi yang diklaim oleh GOTO dalam Prospektus per 30 September 2021. Menurutnya, angka tersebut menunjukkan bahwa dukungan untuk aksi ini mungkin tidak sebesar yang diperkirakan.
Edy menyebutkan bahwa tuntutan status hukum di ketenagakerjaan sebagai karyawan untuk mitra pengemudi ojol akan menjadi “neraka” bagi perusahaan seperti GOTO.
Ia menjelaskan bahwa dalam ekosistem bisnis GOTO, para pengemudi ojol sebenarnya dianggap sebagai pelanggan, sama seperti konsumen dan pedagang.
Jika para pengemudi ojol diklasifikasikan sebagai karyawan, maka perusahaan akan menghadapi tambahan biaya yang signifikan, termasuk upah minimum, tunjangan, jaminan sosial, dan lain-lain yang diatur oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Edy juga menyoroti alasan mengapa pendapatan pengemudi ojol terus menurun. Salah satu faktornya adalah promosi yang ditawarkan kepada konsumen.
Menurutnya, aplikasi membutuhkan akuisisi pengguna baru dan memastikan penggunaan berulang.
Namun, subsidi yang diberikan aplikator semakin berkurang karena alasan biaya, yang pada akhirnya juga menekan pendapatan para pengemudi ojol.
Dalam pandangannya, kemungkinan tuntutan para pengemudi ojol untuk mendapatkan legalitas ketenagakerjaan dan pendapatan yang lebih tinggi sangat kecil.
Logika bisnis perusahaan model seperti GOTO tidak memberikan ruang untuk itu, terutama mengingat perusahaan ini terus merugi sejak didirikan. Hingga Triwulan II 2024, akumulasi kerugian GOTO mencapai Rp211,65 triliun dengan kerugian periode berjalan Rp2,87 triliun.
Edy juga mengkritik peran pemerintah yang dianggap tidak efektif dalam menolong para pengemudi ojol.
Ia menyebutkan bahwa pemerintah melalui Telkomsel, anak usaha BUMN Telkom, telah menggelontorkan dana sebesar Rp6,4 triliun pada 2020-2021 untuk ‘menolong’ GOTO dengan membeli saham perusahaan tersebut.
Namun, harga saham yang anjlok menyebabkan kerugian besar bagi Telkomsel, sebesar 80,8% atau sekitar Rp5,1 triliun. Ia juga menyoroti dugaan konflik kepentingan dalam transaksi ini
Melihat ke depan, Edy pesimistis mengenai kesejahteraan para pengemudi ojol.
Dalam logika bisnis aplikasi, kesejahteraan pengemudi ojol bukanlah prioritas. Ia juga menyebutkan bahwa fokus bisnis GOTO ke depan adalah pada layanan keuangan, bukan menciptakan legalitas kerja bagi ojol yang adil dan setara.
Melalui tulisannya, Agustinus Edy Kristianto menegaskan bahwa nasib para pengemudi ojol masih sangat memprihatinkan.
Status hukum di ketenagakerjaan mereka tidak jelas, pendapatan mereka ditekan, dan dukungan yang diberikan oleh pemerintah justru dinilai salah sasaran.
“Pendek cerita, kasihan sekali nasib ojol,” tutup Edy dalam tulisannya yang diterbitkan di Facebook. (c@kra)