Pemerintahan Prabowo Bisa Stroke Berkat Warisan Utang Raja Jawa
MoneyTalk, Jakarta – Pada hari Senin (02/09), MoneyTalk.id mengutip pernyataan Mardigu Wowiek dalam kanal YouTube “Bossmen Mardigu” yang menyebutkan bahwa pemerintahan Prabowo Subianto berpotensi menghadapi risiko serius, seperti “stroke,” akibat utang besar yang ditinggalkan pemerintahan sebelumnya. Menurut Mardigu, gaya kepemimpinan yang lebih mementingkan pencitraan dan pengeluaran besar tanpa produktivitas, membuat Indonesia kini menghadapi beban utang yang besar dan membahayakan kesehatan fiskal negara.
Dalam narasi videonya, Mardigu mengkritik perilaku para pemimpin yang “suka pamer dan membuat sesuatu yang grandios walaupun tidak produktif.” Ia mengungkapkan bahwa tindakan-tindakan seperti ini mencerminkan obsesi terhadap kekuasaan dan pengaruh, yang pada akhirnya mengakibatkan beban utang yang terus meningkat.
Mardigu menyoroti fakta bahwa Indonesia telah mewarisi utang luar biasa besar hanya dalam sembilan tahun terakhir. “Sampai Mei 2024, kita punya utang sebesar 8.300 triliun rupiah, dan saat jabatan Presiden Jokowi berakhir, utang tersebut diperkirakan akan mencapai 8.500 triliun rupiah,” ujarnya. Menurutnya, jatuh tempo pembayaran utang tersebut yang mencapai 3.750 triliun rupiah pada tahun 2025-2029 akan menjadi tantangan besar bagi pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto.
Mardigu mengkritik bahwa banyak program pemerintah yang menghabiskan anggaran fantastis dan membebani kemampuan fiskal atau APBN. Ia membandingkan Indonesia dengan negara seperti Singapura yang luasnya kecil tetapi memiliki prestasi besar. “Pada tahun 1967, pendapatan per kapita Singapura adalah 512 dolar, dan pada tahun 2022 meningkat menjadi 82.804 dolar,” jelas Mardigu. Sementara itu, pendapatan per kapita Indonesia hanya mencapai 1.500 dolar pada tahun yang sama.
Dia mengusulkan empat program prioritas untuk pemerintahan Prabowo yang baru, yaitu: penguatan sumber daya alam, peningkatan modal, transfer teknologi, dan penggunaan sumber daya alam sebagai kekuatan tawar. Program-program ini diharapkan bisa memberikan efek pengganda yang lebih besar pada perekonomian Indonesia. Salah satu contoh yang ia angkat adalah kebijakan Lee Kuan Yew di Singapura pada tahun 1970-an yang memfokuskan pada penguatan sumber daya manusia dan menjadikan Singapura sebagai pusat kapital intelektual dan manajemen dari seluruh dunia.
Mardigu juga memperingatkan agar pemerintahan ke depan tidak mengulangi kebijakan yang menurutnya “memboroskan” sumber daya tanpa hasil nyata, seperti yang dilakukan oleh para pejabat sebelumnya. “Hal ini membuktikan bahwa terlalu banyak politik dalam bernegara yang dipikirkan, dan tindakannya pun terlalu berfokus pada politik daripada solusi konkret untuk negara,” pungkasnya.
Mardigu menekankan bahwa pemerintahan baru harus mampu menempuh kebijakan-kebijakan alternatif yang lebih produktif dan berorientasi pada hasil untuk menghindari krisis fiskal di masa depan.(c@kra)