Anies Terjungkal, Terjegal, atau Hokinya Luntur?

  • Bagikan

MoneyTalk, Jakarta – Situasi politik Indonesia kembali memanas jelang Pilkada 2024. Peta kekuatan politik mengalami pergeseran signifikan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melonggarkan syarat bagi partai politik dalam mengusung calon kepala daerah. Hal ini memicu terbentuknya koalisi besar di berbagai daerah yang akhirnya melahirkan calon-calon tunggal.

Di tengah dinamika tersebut, nama Anies Baswedan yang sebelumnya digadang-gadang sebagai calon kuat untuk Pilkada Jakarta, tiba-tiba tidak memiliki partai yang siap meminangnya. Fenomena ini memunculkan spekulasi apakah Anies terjungkal, terjegal, atau memang hokinya sedang luntur.

Spekulasi tentang Penjegalan

Yunarto Wijaya, Direktur Eksekutif Charta Politika, dalam acara “Kontroversi” di Metro TV pada Kamis (12/09), mengungkapkan bahwa penjegalan terhadap Anies Baswedan mungkin saja terjadi melalui proses tawar-menawar politik yang rumit.

“Ada tawar-menawar dan politik menyandera,” ungkapnya. “Ada pihak-pihak yang mungkin merasa tidak nyaman dengan kehadiran Anies di panggung Pilkada Jakarta.” Dalam konteks ini, ia merujuk pada kemungkinan adanya kesepakatan di balik layar yang membatasi partai-partai untuk mendukung Anies sebagai calon gubernur Jakarta.

Partai Nasdem, misalnya, yang sebelumnya mendukung Anies di Pilpres, pada detik terakhir menarik dukungannya. Situasi serupa terjadi dengan PKB yang masih berada di level DPW. Fenomena ini mengingatkan pada dinamika hubungan asmara yang berujung pada pertunangan batal.

Istilah yang digunakan oleh Yunarto untuk menggambarkan situasi ini cukup menyentuh: “Udah tunangan, tiba-tiba nggak jadi kawin.”

Ketidakhadiran Partai Pendukung

Kendala lain yang mungkin menjadi penghalang Anies adalah posisi PDI Perjuangan.

Meskipun sempat ada dorongan dari kalangan akar rumput dan beberapa elite di tingkat DPC, keputusan akhir untuk mendukung Anies tidak kunjung diberikan oleh Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri. Analisis Yunarto Wijaya menyebutkan bahwa Megawati memiliki pendekatan politik yang tidak semata-mata berdasarkan hasil survei atau data elektabilitas. “Bu Mega lebih percaya pada intuisinya dan faktor nilai yang dianggap selaras dengan partainya,” jelas Yunarto.

Menurutnya, faktor kedekatan Megawati dengan Ahok yang pernah berseteru dengan Anies di Pilkada DKI Jakarta 2017 menjadi salah satu alasan mengapa Megawati mungkin enggan memberikan dukungan kepada Anies.

Risiko Oligarki dalam Politik

Situasi ini membuka diskusi lebih luas tentang oligarki politik dan bagaimana partai-partai besar memainkan peran mereka dalam menentukan calon-calon yang akan maju di Pilkada.

Menurut Yunarto, kondisi di mana partai-partai besar memiliki kekuatan absolut untuk menentukan calon kepala daerah membuka peluang bagi tindakan penjegalan terhadap calon-calon yang memiliki popularitas di mata publik, seperti Anies. “Ada yang melihat bahwa partai-partai ini membentuk sebuah oligarki dan dengan mudahnya menendang orang-orang yang sebenarnya disukai oleh publik,” tambahnya.

Alternatif untuk Anies Baswedan

Fahri Hamzah, politisi yang dikenal sering bersuara kritis, menawarkan perspektif lain.

Ia melihat situasi ini sebagai sebuah tamparan bagi Anies Baswedan. Jika Anies merasa memiliki potensi besar dan paham bahwa aturan politik mengharuskan adanya dukungan partai, maka sebaiknya ia membangun partainya sendiri. “Mungkin ini saatnya Anies membangun partai sendiri,” kata Fahri.

Dalam situasi di mana dinamika politik sangat cair dan perhitungan kepentingan partai-partai besar bisa berubah sewaktu-waktu, membangun fondasi politik yang independen dapat menjadi langkah strategis.

Masa Depan Politik Anies

Pertanyaan tentang apakah Anies Baswedan terjungkal, terjegal, atau hokinya memang luntur, masih belum dapat dijawab dengan pasti. Dalam politik, permainan kekuasaan sering kali tidak terlihat oleh publik.

Namun, satu hal yang jelas adalah bahwa dinamika politik di Pilkada 2024 ini mencerminkan kompleksitas dan ketidakpastian yang akan terus menjadi bagian dari perjalanan politik Indonesia ke depan. Bagi Anies, masa depan politiknya mungkin membutuhkan strategi baru, baik dengan membangun koalisi yang lebih solid, ataupun mempertimbangkan untuk mendirikan partai politik sendiri. Di tengah segala kontroversi ini, kita tunggu bagaimana langkah Anies selanjutnya dalam peta politik nasional. (c@kra)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *